Sore itu tidak biasanya saya sudah tiba di hunian sebelum
kelam menelan mentari. Dan mata tertuju pada warteg depan apartemen yang masih buka.
Warteg ini sebetulnya sebuah halaman depan rumah yang dimodifikasi berjualan makanan dan tempat orang bersantap. Di warteg ini ada satu penganan saya suka, yaitu rempeyek udang yang renyah dan besarnya seukuran tampah (noted:superlative statement sih…). Taburan udangnya pun melimpah. Tidak seperti
umumnya warteg yang lebih banyak tepung ketimbang isian. Enak dan, tentu saja,
cepat habis. Laku.
“Pak, pesan nasi putih satu, peyek udang dua,” ucap saya
dengan artikulasi (dibuat) jelas. Setahuku Bapak itu memang agak tuli. Penampilan
pun cukup renta. Jalannya sudah tertatih dan setiap gerakan menjadi
slow motion. Dia menjaga warung sendiri
malam itu. Biasanya ada istri, yang juga tentunya renta, menemani berjualan.
Yap, sebenarnya saya sih malas kalau berurusan sama Bapak
ini, karena berkali-kali “drama”, tapi mau galak kok jadi membayangkan seandainya Papa-ku punya warteg.... Saya rasa cara mengatasi kendala itu dengan berbicara dengan suara keras dan artikulasi yang jelas.
Bapak tersebut mengambil sebuah kantung plastik bening dan mulai memindahkan isi sebuah mangkuk yang berisi racikan daging dan sayuran, memasukkannya ke dalam kantung plastik yang dipegangnya di tangan
kiri. Saya diam dan menyimak setiap langkah slow motion Bapak itu.
Lama-kelamaan baru sadar kalau menu andalan warung tersebut adalah sop iga sapi. Waduh,
Bapak ini pasti mengira saya pesan sop.
Saya sontak bersuara, daripada seluruh isian mangkuk berpindah ke
kantung plastik. “Pak, pesanan saya nasi dan peyek udang,” jelasku. Bapak yang biasanya nyolot tapi kali ini hanya berkata, “Oh saya kira sop. Maaf,”
katanya sambil membalik badan menghadap rak kaca yang semula dipunggungi
olehnya. Rak kaca bagai di resto Padang ini memang menyajikan tumpukan rempeyek udang yang memancing mata menghampiri warteg seperti kusampaikan di awal cerita.
“Maklum Bu, sudah umur 70 tahun,” celetuknya.
Bagi saya kejadian tadi tidak masalah. Saya asli tidak dalam
kondisi cumulonimbus menggantung yang tersurat pada raut muka. Tidak juga menjadi
bad mood meski baru mengalami kondisi harus menerabas jalanan macet brengsek
dari wilayah Thamrin. Meskipun bangku ojek terasa hanya secuil luasan pantat, dan
bang ojek pengen dikeplak gara-gara selipan-selipan nekat diantara mobil.
Saya malah ketawa sambil melempar guyon, “Yah Pak, 70 tahun mah
masih muda. Bapak saya saja sudah 80 tahun,” candaku.
Bapak tersebut balik berkilah, “Iya tapi Bapaknya Ibu kan beda kondisi ekonomi.”
Saya langsung terdiam. Saya langsung ingat Papa saya dan pernyataan saya murni apa adanya buat menghibur. Umumnya orang pasti punya satu
gambaran massal tentang: “Tua dalam usia lebih dari ¾ abad” seperti Papa saya.
Entahlah, saya benar-benar tak paham maksud Bapak tersebut dengan
definisi “kondisi ekonomi”. Apa kondisi ekonomi akan mempengaruhi kemampuan maintenance something old item? dan situ memangnya sudah lihat rekening tabungan saya. Ketika pengunjung datang dari bangunan
apartemen sementara dia di landed house
itu dikatakan beda kondisi ekonomi, tentu Bapak tak tahu kadang manusia
pencakar langit, punya kisah menggadaikan hidup dalam pay to bill.
Hidup terasa banal. Tampilan kadang beda dengan isian. Setiap
orang lahir dengan tujuan dan fungsi dalam hidup, meskipun kadang bagai keranjang
sampah, ditaruh di pojokan atau buangan.
Malam sudah mewarnai langit ketika saya melangkahkan kaki
meninggalkan warteg bersama sekantung rempeyek udang. Saya masih bisa tersenyum
dan membalas sapa bapak-bapak security yang saya lalui menuju unit apartemen. Sepertinya “mood awan kumulonimbus” memang tak mampir. Pada akhirnya saya berpikir, “Yang baper Bapak
itu atau perasaan saya serapuh rempeyek? Karena benak ini terketuk-ketuk hingga mampu menulis blog sepanjang ini.”
Pada paruh sisa malam, saya pun menyantap peyek sampai remah terakhir. Sambil menuntaskan tulisan remeh nan ringan. Terima kasih bagi teman-teman yang membaca tulisan ini dari
awal hingga habis.