Akmal mengintip dari balik tubuh Teteh. Mata nan bundar berusaha ingin tahu tentang siapa yang ada di depannya.
Lalu berturut-turut datang Rizka dan Kemal. Kepala pelontos Rizka membuat mata memandang mengira dirinya anak laki-laki. Minus anting-anting pula sebagai penanda anak perempuan. Hanya jika kita memandang raut wajahnya yang manis serta baju pink yang membalutnya siang itu menandakan dia perempuan.
“Kemarin ada benjolan seperti bisul di kepala. Jadi rambutnya kami potong supaya (bisulnya) gampang diobati,” kata Teteh.
Rizka dan Akmal pun beraksi di depan kami yang duduk di ruang tamu. Mereka mondar-mandir membawa tas sekolah ber-troli, kemudian kejar-kejaran bersama bocah tetangga yang datang menimbrung.
Teriakan mereka pun memecah konsentrasi saat bercakap-cakap, meski tak menyulut kemarahan. Senyum dan sapaan sesekali kuarahkan pada mereka. Rizka pun bereaksi tertawa dan mau mendekat. Hanya Akmal memilih melihat dari jauh, namun kami sadar dia mencari perhatian kami.
Akmal dan Rizka adalah anak penghuni suatu Panti Asuhan Yatim Piatu berada di Bogor. Meski tidak tinggal dan hanya kebetulan bermukim di sekitar panti, kisah Kemal pun tak kalah mengharukan. Ibunya meninggal tertabrak kereta api, dan sang ayah justru menikah lagi dengan wanita lain. Ibu tirinya kejam, senang memaki dan marah-marah, sehingga Kemal pun akhirnya diurus oleh sang kakek nenek di Bogor.
“Kemal sudah pintar mengaji tapi tak mau sekolah,” kata Teteh tentang si ikal berumur 4 tahun. Agh, mungkin tak ada orang yang mau menganyomi membujuk Kemal ke sekolah?
Siang itu saya ‘hanya’ mampir. Bocah-bocah lain penghuni panti yang total mencapai 15 anak sedang pergi memetik rambutan di kebun sekolah yang satu yayasan dengan panti itu.
Cari perhatian! Itu pendapat saya tentang mereka. Saya membayangkan diri ini hanya salah satu sosok yang datang dan pergi. Sama seperti puluhan tamu lain yang tertera di Buku Tamu, menghantarkan sesuatu dan berlalu.
Hari itu saya diketukkan sesuatu : Indahnya Berbagi dan Mengasihi.
No comments:
Post a Comment