Hasil liputannya bisa dibaca disini.
Tapi kesempatan bertemu Romo Magnis melontarkan pertanyaan pribadi saya tentang kondisi sosial saat ini dimana masyarakat gampang sekali marah. Ada ‘gesekan’ sedikit sudah bisa menimbulkan demo atau anarki. Apakah ini merupakan cerminan sikap apatis, dan hal ini bisa dihilangkan jika meningkatkan pendidikan bangsa dan memperbesar lapangan kerja?
Beliau membenarkan teori ini, tapi perlu pula disadari bahwa kondisi hidup modern semakin membuat manusia bersaing, dimana yang kuat akan menang. Akibatnya ‘ketika perut lapar’ maka orang gampang merasa terancam, emosi tinggi, dan marah.
Perlu pemahaman dan pendekatan agar kondisi ini tidak mengarah pada ideologi baru yang sesat.
“Menurut saya masih terlalu banyak orang yang susah. Perlu berjuang setiap hari sehingga dengan demikian mereka dalam kehidupan pribadi juga belum bisa membuat rencana jangka panjang. Orang-orang seperti itu tidak banyak bisa memikirkan bangsa tetapi bisa bereaksi emosional,” kata Romo Magnis.
Romo Magnis mengakui seseorang yang memiliki profesi atau pekerjaan, akan bisa bersikap tenang, seimbang dan tidak marah-marah.
Suasana persaingan juga menyebabkan manusia sekarang terindividualisasi dimana hukum alam satu-satunya “persaingan” termasuk merasa terancam ketika hadir pendatang baru atau umat baru masuk. Kuncinya adalah kita harus memiliki pengetahuan dasar tentang perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat kecil. “Karena orang-orang dalam kelas ekonomi mantap, yaitu kelas menengah keatas, sebetulnya sudah merasa mantap dalam kondisi modern seperti sekarang ini. Tapi hal ini tidak berlaku bagi (masyarakat) dibawah,” ujarnya.
No comments:
Post a Comment