Habis membaca tulisan seorang freelancer. “Pusing bacanya! Ide yang bagus, akan tetapi pengerjaan yang dangkal, isi tulisan kurang tergali. Dangkal. ” ujarku mengomentari dalam hati. Tentu komentar tadi tidak kulontarkan ke freelancer tersebut. Aku memuji idenya yang mengajak pembaca merasakan denyut perubahan suatu daerah sebagai hasil pembangunan dari tahun ke tahun.
”Pertahankan gaya itu! Tapi... (nah, ini pernyataan biasa sebelum masuk ke hal inti) sebagai pembaca diriku sulit menemukan data atau angka-angka sebagaimana yang dibutuhkan ketika kita membaca suatu laporan,” ujarku.
Ia tak membalas kata-kataku.
Kemudian, diriku kembali ke pekerjaanku. Memandangi layar widescreen 14,3 inci dan menemukan diri masih tak ada ide untuk melanjutkan tulisan kejar deadline sebagai bagian pekerjaan kantor.
Agh! Saya jadi memaki diri sendiri. “Dangkal! Dangkal!” Aku merasa tulisanku tidak ada ’aura’ nya untuk dihadirkan kepada pembaca. Diri ini rasanya tak terbawa dalam baris kata-kata yang mengalir dan menjiwai isi tulisan.
Hehe..ironis ya? Bisa mengomentari pekerjaan orang lain, akan tetapi pusing untuk pekerjaan sendiri. Huh! Inilah resiko menulis ”Made by Order”, sementara jiwa dan perasaan belum tune-in dengan materi yang perlu dipaparkan. Mungkin itu pula perasaan si freelancer itu ketika mengerjakan tugas yang saya komentari barusan.
Ini yang istilahnya problem menulis tanpa ada jiwa yang menyatu dengan materi yang mau dipaparkan. Salut kepada para penulis, yang telah menuliskan karyanya dan berhasil menulis buah pikiran secara bebas. Berarti mereka itu kaum yang telah : ”Menulis Dengan Merdeka.”
1 comment:
uda baca artikelku, blom? aku kok merasa dangkal yak :|
*doh!*
Post a Comment