Begini nih nasib Penulis Iklan : dapat brief ini itu. Bisa berasal dari klien dan/atau AE.
Menulis itu (pekerjaan) menyenangkan. Tapi.... jadi bingung dan ga mood kalau kriteria penulisannya ’bersyarat’. Ada wanti-wanti si ini harus dikutip, si itu ga mau digabungkan sama kompetitornya, eh si AZ juga harus ada...
Tantangannya : Bagaimana mengakomodir semua ’pesan sponsor’ dan memasukkannya secara halus ke dalam tulisan. Supaya pembaca tidak hanya membaca beberapa alinea lalu pindah halaman berikutnya, gara-gara artikel tidak punya info bermanfaat. Atau si pembaca langsung mencium ’aroma pesanan’.
Tantangan lain, bagaimana dengan sejumlah prasyarat plus ide besar tulisan masuk ke dalam jumlah halaman yang terbatas. Misalkan cuma disediakan untuk 1 halaman display majalah, atau kolom sekian mm x mm koran.
Dulu saya yakin berbakat jadi Penulis Iklan. Karena mampu secara gampang menautkan kata : membuat kalimat singkat yang enak dibaca, judul singkat dalam 4 kata dan ear-catching dsb. Dan, maaf, saya dulu bisa menemukan julukan tepat untuk guru garing zaman sekolah, bos yang dibenci bersama di kantor lama, atau memberi nama sandi untuk seorang trouble maker yang kelakuannya bikin il-feel anak-anak kos.
Ternyata itu peace of cakes karena didasari ”fun”. Iseng belaka. Otak ini langsung blank bila sudah dibuntuti pesan : angle tulisan, syarat penulisan, dan mengakomodir pasar.
Dalam kondisi begitu, saya berpikir mungkin enak ya jadi penulis lepas? Nulis novel saja, atau bikin skenario film : terserah gw mau nulis gaya horror kering nan standar (seputar wanita bergaun putih rambut terjurai mati dan arwahnya balas dendam, bangkit dari kubur, plus pasti ada adegan mandi-nya dari pemeran utama atau siapapun di dalamnya) ataupun komedi norak slapstick tinggal bumbui judul yang membangkitkan pikiran miring-miring... Buktinya ada tuh produser mau mensponsori pembuatan filmnya :p
Tapi siang tadi dapat curhat dari karib yang sedang menggarap tulisan non-fiksi untuk sebuah penerbitan. Dia lagi sebal dengan komentar editor buku yang menyuruh dia merombak gaya bahasa supaya lebih gaul. Dia malah bilang lebih enak jadi ghostwriter. Pekerjaan yang sebelumnya ia tekuni. Alasannya, belum kerja sudah dapat DP, trus setelah kelar, dapat duit lagi plus klien yang nurut.
Hehe.. saya hibur sahabat tersebut, itu konsekuensinya kalau mau jadi penulis beken. ”Supaya mengalami peristiwa book-signing. Haha..”
Sang editor mungkin punya penciuman lebih tajam apa yang disukai pasar terhadap sebuah buku. Topik & isi tulisan, gaya bahasa, atau hal yang ingin dibaca konsumen sehingga mereka mau merogoh kocek untuk membeli suatu buku.
Memang sekarang ini ’pasar’ memegang kendali. Seperti kukutip dari perkataan R, ”Mohon dimaklumi aza, kalo saat ini pasar mengendalikan segalanya. Rasanya sulit mengedepankan idealisme yang benar-benar murni.”
Hayo Eno! jalani semua itu. jika kamu hanya pandangi tumpukan kertas dan monitor laptop tanpa memulai, maka hasil kreatifitas itu tidak mengalir dari otak ke bentuk nyata.
Hmm.. kalau dipikirkan lagi, saya menikmati kerja sebagai Penulis Iklan. Terserah kadang merasa jadi bagian dari kapitalisme, tapi bisa tugas ke luar kota sembari melihat sudut Indonesia yang lain; dapat gaji yang bikin saya bisa belanja kebutuhan primer, sekunder hingga tersier; atau bisa membeli si Buttercup, Be’ib, Popo, dan Pinky Binky.(Semua itu hadir dengan konsekuensi?!).
(Gambar dikutip dari http://it.coe.uga.edu/~treeves/edit6900/images/writing.jpg)
1 comment:
hm, pinky binky? gue baru denger, kayanya :P
eno, gue setuju sama si R, "pasar mengendalikan semuanya".
Post a Comment