Sejak setahun lalu saya akrab dengan toko bahan
bangunan, dan keakraban ini mengalihkan dunia mall dari hidupku.
Di satu sisi, terima kasih kepada cara Mama-ku untuk
membuat fokus hidup yang berbeda dengan sebelumnya. Mamaku gerah dengan
aktivitasku yang sepertinya cuma seputar kerja kantor dari Senin hingga Jumat,
dan “absen” di Pondok Indah Mall di akhir pekan.
Berbagai alasan saya pergi ke mall. Mulai dari membeli kebutuhan
hingga keinginan. Termasuk sekadar makan siang atau belanja sekotak havermut
daripada ngendon di kos. Ternyata
Mama juga berpikir jika putrinya hanya sibuk hangout dengan teman berarti membuang uang hasil pencaharian yang
padahal dikomentari sendiri oleh putrinya seperti banting tulang as literally.
Dengan mengajak saya ke Panti Asuhan, Mama membuka mataku
bahwa dua lembaran ratusan ribu bukan hanya pengisi dompet yang dalam waktu
sebentar bisa berpindah ke kafe, tempat makan atau bioskop. Akan tetapi menjadi
sekarung beras yang menjadi kebutuhan makan anak-anak panti asuhan. Sekaligus
menerima bonus pandangan mata berbinar ucap terima kasih dari mata bak malaikat
cilik.
Kemudian Mama juga mengubah sekaligus memberi warna baru
dalam kehidupanku, sejak ‘memaksa’ saya membeli rumah pada akhir 2010.
Sudah pasti memutuskan membeli rumah berdampak besar
dibandingkan membeli sehelai baju. Beli rumah ternyata membawa konsekuensi
lanjutan seperti perlu biaya pengurusan surat-surat di Notaris, Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), dan renovasi.
Dua lembar uang ratusan ribu ternyata bisa membawa pulang
keramik kamar mandi, dan menghasilkan kamar mandi bergaya black-white yang walaupun weard
bagi Mama-ku, tapi membawa kenikmatan tersendiri di mata ini saat
memandanginya. Atau ketika memilih warna lantai, ubin rumah, plesteran cat
tembok terasa mengasyikkan ketika menyadari itu membuat nothing menjadi something
bagai menikmati foto-foto di rubrik Interior majalah.
Konsekuensi lain baru saya sadari ketika suatu hari ke department store sebuah plaza di tengah
kota Jakarta. Mata saya sepertinya terbelalak menyaksikan cahaya lampu yang
menghujam ke tas, sepatu dan areal kosmetik. Sepertinya semua barang di display toko terlihat “bersinar”.
Hahaha .. ternyata Neng Eno sudah lama tidak ke mall. Baru
sadar bahwa saya belakangan ini lebih banyak ke toko bahan bangunan, mengendus pengap
non-AC sambil mengamati pilihan keramik dan membedakan istilah Marmer
Tulungagung versus Marmer Sulawesi.
Lalu mengenal istilah batako, bata, dak, kaso, dan mencoba memahami proses renovasi rumah satu langkah demi langkah
berikutnya.
Membeli
rumah memang perjuangan sangat... amat .... besar. Ada gaya hidup yang harus dikorbankan atau tepatnya diubah, dan fokus pada tujuan. Tapi seperti proses pembuatan bangunan yang bertahap dari dasar hingga
atap, menjalani tahapan penuh perjuangan (terutama dari sisi keuangan) tersebut
ternyata sangat menantang sekaligus menyenangkan. J
No comments:
Post a Comment