Sabtu kemarin, saya menemani ibu ke acara keluarga. Dari menjemput opung di kawasan Pondok Cabe, kami meluncur ke Menteng. Kita mesti mewaspadai rute-rute macet di akhir pekan, yaitu mal. Tentu saja, dalam hal ini berarti : Pondok Indah Mal, Senayan City dan Plaza Senayan.
Supir kami memotong dari Pondok Pinang, lewati Permata Hijau, Bumi, dan tembus Sudirman melalui jalan Sisingamangaraja. Saat berhenti di lampu merah Sudirman, mata saya tertumbuk pada penjaja koran. Tepatnya ke produk yang tengah mereka jajakan di tangan. Tiga majalah mereka genggam dalam satu tangan, bertumpuk susun memanjang ke bawah. Dan ketiga majalah tersebut menampilkan cover wanita dalam pose aduhai....
Diantara majalah yang mereka genggam, yang saya ingat cuma satu. Yaitu, Playboy. Satu majalah lainnya diwakili simbol berupa lingkaran bulat dengan segaris lurus membentuk panah ke atas (simbol ’lelaki’ dalam biologi), dan satu lagi tidak familiar sama sekali. Mungkin juga karena belum pernah melihat majalahnya. Apalagi penjaja majalah tidak tertarik berlama-lama untuk menawarkan dagangan mereka kepada saya yang perempuan. Tentu saja, dagangan mereka menyasar pria.
Cuma saya jadi teringat lagi beberapa hari sebelumnya, saya juga melihat majalah bercover seronok di suatu gerai majalah di pusat perbelanjaan. Headline dalam cover majalah itu juga menjurus ke ’itu’. Saat itu, saya berpikir, ”Lho kok muncul kembali media model begini.” Seingat saya, setelah heboh majalah Playboy Indonesia, dan RUU Pornografi dan Pornoaksi (yang saya ga ingat kelanjutan dari RUU tsbt), majalah dan tabloid yang berbau pornografi dilarang beredar.
Nah lho, kok sekarang muncul lagi? Memang paska Yunus Yosfiah, menteri penerangan di paska reformasi 1998, mencabut pemberlakuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) mempermudah lahirnya surat kabar, majalah, berita radio, televisi dan situs berita online. Meski ada dampak positif berupa kebebasan pers, tapi dampak lain yah.... majalah dengan cover vulgar (termasuk isi yang menjurus) seperti itu juga marak. Secara kasat mata, kita bisa membedakan, jika berbentuk tabloid, cetakan dalam kualitas seadanya termasuk bahan kertas yang murah. Selain itu, pose para model tampil seronok asal terbuka. Misalkan model menunduk menampilkan belahan dada yang ”blewah” alias montok, atau bagian depan ditutup dengan sehelai handuk atau kain (yang membuat imaji pembaca, model tidak mengenakan sehelai benang pun di belakang handuk itu), atau tali beha dipelorotkan. Sementara untuk yang majalah, selain bahan kertas yang lebih tebal dan mahal sehingga hasil cetak juga luks; biasanya juga berkonsep didukung pengambilan foto yang lebih artistik dan desain grafis oke.
Akan tetapi, fokus media dalam bentuk tabloid atau majalah tersebut sama. ”Memuaskan dahaga mata (khususnya kaum pria).” Isi tulisan juga seputar lifestyle yang yah... begitulah. Saya singkat saja media seperti itu sebagai ”majalah syuur.”
Nah, waktu itu majalah syuur sempat ditertibkan dan dilarang. Sempat pula terjadi penggebrekan kantor redaksi majalah khusus pria oleh suatu ormas agama. Ohya, mungkin karena sekarang ormas itu ditertibkan aparat keamanan, investor media berani lagi untuk menerbitkan majalah syuur. Sejauh ini, saya belum menemukan media syuur dalam bentuk tabloid. Akan tetapi, saya jadi bertanya, bagaimana nasib aturan pelarangan penerbitan majalah syuur?
Saya pribadi bukan pendukung pembredelan majalah syuur. Biarkan orang yang punya selera demikian pergi membeli. Asalkan majalah seperti ini punya aturan atau pembatasan dalam tempat berjualan.
Saya TIDAK SETUJU jika para loper koran bebas menjual majalah syuur di lampu merah. Aduh, seandainya saya ibu yang tengah membawa anak kecil, saya pastilah risih atau berdebar-debar menanti pertanyaan anak saya. Atau apakah harus menutup mata anak saya? Berarti semua mata juga punya kebebasan memandangi ’dada-dada menantang’ dan bagaimana jika pengemudi di belakang setir tidak konsentrasi dan mengakibatkan tabrakan?
Sebagai perempuan, secara pribadi saya risih. Saya yang punya ”onderdil sama” dengan yang dipajang di cover majalah tersebut, merasa saya tengah ”ditelanjangi” atau ”tampil telanjang” di mata supir saya yang satu mobil. Nah, bagaimana pula perasaan para wanita yang ada di dalam taksi, bis umum, atau pejalan kaki di pinggir jalan raya?
Selayaknya media seperti itu diberi pembatasan hanya dijual di lapak atau agency koran. Dan tidak seenaknya dijual di tepi lampu merah. Selain itu, ada aturan jelas mengenai umur pembeli, misalkan harus yang sudah berumur 18 tahun ke atas, yang boleh membeli media tersebut.
Pelarangan bukan hal efektif apalagi di saat batasan-batasan makin lebur di tengah globalisasi dan internet. Tapi apakah pemerintah tidak mau berpikir untuk memberi batasan dalam hal lokasi penjualan media syuur? Jika tayangan televisi dan bioskop saja sudah punya lembaga sensor untuk batasan boleh dan tidak untuk sesuatu yang ditampilkan. Televisi dan bioskop saja masih dibatasi dengan ketersediaan akses listrik, kemampuan finansial untuk membeli si kotak kaca atau tiket bioskop. Sementara media cetak bisa ditaruh di mana saja.
Hmm, semoga tulisan saya ini dibaca oleh para pihak yang memiliki kepentingan dalam mengambil sikap tegas.
(Gambar dikutip dari : www.uniquetranslations.dk)
No comments:
Post a Comment