Beberapa waktu lalu, saya menginap di rumah teman di daerah Ciputat. Minta bantuan dia yang lebih jago komputer untuk belajar program modifikasi gambar dan mengutak-atik blog.
Buat saya yang terbiasa jarak dekat –dari rumah kos dan kantor, pulang pergi cukup jalan kaki sekitar 10 menit- suatu pengalaman baru rute Lebak Bulus-Ciputat. Bergegas dalam gigi 3, bangun pagi sebelum mentari menyembul dari balik awan menuju kantor (terlambat sedikit, sudah kena macet), dan pulang ’menikmati’ lagi kehebohan mencari transportasi umum yang mengantarkan kita kembali ke rumah. Yah, beginilah kaum urban belantara metropolitan. Kawasan perumahan di sisi pinggir Jakarta, sementara denyut perekonomian (dan perkantoran) ada di tengah ibukota.
Saya merasakan jadi kaum urban dengan menyaksikan hal-hal baru. Pemandangan di angkot : orang tidur; kumpulan ibu-ibu yang punya energi untuk bergosip ria di dalam angkutan umum; wajah-wajah kelelahan; wanita pekerja di tengah keletihan masih harus memperhatikan posisi duduk supaya paha tak tersingkap dari balik rok span yang sudah minimalis; dering handphone dari berbagai sudut. Dan entah kenapa, bisa menimbulkan ide untuk mencoretkan puisi.
Angkot (Puisi Transport 2)
Terkantuk-kantuk,
Terantuk-antuk,
Badan bergoyang mengikuti irama roda empat,
Mata terpejam membayar sisa malam,
Berkejaran dengan mentari merayap,
Badan dan badan makin merapat,
Ruang pengap memanggang panas dan peluh,
Aroma parfum pun hancur,
Terlindas keringat mengucur.
Selamat pagi Jakarta!
Kusapa kamu dengan debu angkot.
(catatan : kenangan awal pekan berangkat naik angkot dari Ciputat ke Jakarta)
No comments:
Post a Comment