Sore hari, tiba-tiba masuk SMS dari kamu.
Saya jadi ingin membagi cerita kebahagiaan denganmu.
Namun, tulisan di layar LCD berdimensi tak lebih lebar dari panjang jempol jariku, membuat saya menunda membicarakan soal rasa senangku.
Rasanya, bukan saat yang tepat menceritakan tentang angan yang membuncah di saat orang lain sedang merasa kehilangan. Kamu baru pulang melayat teman, seorang aktivis, sekaligus mantan rekan kerja yang meninggal dunia. Maaf... aku sendiri lupa apakah sudah menekan keypad menyatakan turut berduka cita. Tapi yang jelas aku menunda ceritaku. Entah mengapa, persoalan ’kematian’ menimbulkan inspirasi yang ingin kutuang dalam puisiku.
Padahal sebelumnya saya sempat membahas tentang ”bunuh diri” dalam chatting bersama Merry dan Ajeng di pagi hari. Ini bukan persoalan depresi. Lebih kepada kita mengakhiri sendiri ujung usia kita, dengan meminjam istilah ”lengser keprabon madeg pandita”. Men-cut off umur di saat kita pada titik puncak keindahan diri, masih merasa cantik/ganteng, badan masih langsing belum mekar gara-gara melahirkan, belum punya beban.
Akan tetapi pelaku bunuh diri tentu kalah nyali dengan rekan almarhum - teman dari teman saya tsbt - yang berjuang melawan kanker sambil teguh berjuang mempertahankan idealismenya...
Kasus bunuh diri –dalam pendapatku – jadi seperti seseorang yang takut menghadapi masa depan. Bayangkan ketika seseorang melontarkan ucapan, ”Ya ampun... bodoh betul mengakhiri hidup saat masih belia,” sembari memandang tubuh kaku yang mati bunuh diri.
Bunuh diri adalah langkah bodoh ketika dunia masih menawarkan banyak hal yang belum kita reguk dalam keindahan hidup ini! Dari super remeh, super bodoh maupun na’if, atau mewujudkan impian yang bagi sebagian orang terlihat sepele atau standar. Misalkan belum mendaki Gunung Bromo meski banyak orang menyatakan Bali lebih romantis sebagai tempat berbulan madu.
Belum menikmati diving di Bunaken versus berbikini super mini di pantai, menjejak Kashmir, dan belum beribadah Umroh.
Belum pula membuat ibu tersenyum bahagia karena diri ini tertib menjalankan ibadah agama.
Belum mencoba duduk di belakang kemudi mini cooper tua dan melaju di Jakarta raya. Atau belum menemukan ciuman yang membuat diri melayang di udara seperti ditulis dalam roman picisan; belum merasakan janin tumbuh berkembang dalam rahim hingga melahirkannya; belum menyaksikan anak-anak yang ceria bermain sembari memelukku seraya berkata ”Bunda” ; dan belum melihat siapa Presiden RI di 2009, dsb.... dst.
Jadi.. biarkan Ia yang memutuskan kapan kita kembali. Kita hanya manusia yang berusaha mengisi waktu di dunia ini dengan hal-hal berguna.
Mungkin aku hanya mampu ikut menyatakan sedih melalui kata-kata sederhana di bawah ini.
***
Kehilangan
Banyak cerita kita bagi
Dari ranting jatuh hingga langit runtuh
Tentang cara mengisi waktu sampai ujung umur
Lalu kita pun diam termangu,
”Kita belum bicara sehidup berdua,”
Entah siapa yang nyaring berlagu
Ideologi memberangus hati bertaut
***
Ketika Saatnya Tiba
Kata kamu : tak ada kata ”Siap”
Hidup hanya mengumpulkan bekal dan menabur remah
Seperti Hansel menebar roti menjejak arah
Lalu burung-burung bersorak menemukan kudapan
Atau kau menjadi Gretel mengunyah gubuk coklat
Dan bertemu penyihir kelaparan
Semua ada sebab dan akibat
Sekali mengudar benang umur tiada mampu digulung kembali
Semua berujung di rumah tempat bersarang
Malaikat pun mengintip dari belakang .....
PS : turut berduka cita, Lelaki Agustus-ku.......
Jakarta 6 Agustus 2008
No comments:
Post a Comment