Tuesday, July 14, 2009
Bapak Reparasi Sepatu
Sepatu gladiator shoes saya lepas di bagian belakang, tepatnya di bagian penahan tali yang melingkari pergelangan kaki. Masih bisa dijahit, sementara secara keseluruhan tampilan sepatu masih layak pakai.
Mungkin sebagian orang sudah tahu kalau di Jakarta ada Stop 'n Go untuk mereparasi sepatu/tas atau Laba-Laba untuk membetulkan tas/kopor.
Tapi kedua nama tersebut untuk kelas atas, sehingga kurasa barang-barang tas atau sepatu yang kubeli terlalu mewah untuk dibetulkan ke sana.
Kebetulan tak jauh dari pasar Taman Puring, tepatnya di depan ruko terletak dekat belokan menuju Jalan Gandaria Tengah, berseberangan dengan RSIA Muhammadiyah Taman Puring, sering mangkal tukang reparasi sepatu.
Akhirnya di suatu Jumat pagi awal Juli lalu, saya bawa sepatu tersebut ke tukang tersebut. Kebetulan hari kerja di penghujung pekan memang tidak sepadat hari-hari sebelumnya, jadi saya bisa mampir ke sana sembari ke kantor.
Tanpa negosiasi lagi, kuterima permintaan dia untuk bayaran sebesar Rp 5 ribu untuk menjahit kain di belakang sepatu.
Sembari duduk di atas kotak kayu, saya pandangi tukang itu bekerja. Dia seorang bapak tua yang kutaksir berumur 50 tahun lebih. Kulitnya legam tanda terpanggang matahari. Lalu, yang menjadi perhatianku ketika lengan berotot, tanda sepertinya banyak menggunakan tangan untuk bekerja dengan tenaga fisik, sibuk menjahit. Sepuluh jemarinya tak henti gemetar seperti tremor.
Namun, jari-jari itu tak meleset dalam menusukkan jarum ke sepatu. Mulut saya jadi gatal bertanya, “Sudah berapa lama mangkal di sini, Pak?”
“Sudah lama. Sampai ga menghitung,” kata bapak itu nyengir sementara jari-jari (yang tak henti gemetar) terus menusuk kain lalu menarik benang. Mata tetap fokus ke sepatu yang sedang diperbaiki.
“Biasa mangkal sampai jam berapa Pak?”
“Biasa sampai jam 3 atau 4 sore,” katanya sembari diam sejenak. Lanjut berkata, ”Kalau jam 3-an sudah mulai beres-beres,” katanya.
Tak terlihat di lengannya ada arloji melilit. Mungkin dia menanyakan waktu pada bapak sekuriti di ruko yang tepat berdiri di belakang tempat dia mangkal. Bisa jadi ditandai setelah sholat Ashar segera berkemas bergegas pulang. Atau seperti layaknya orang-orang zaman dulu yang masih sempat menjadi masyarakat agraris, waktu ditunjukkan oleh tanda-tanda alam seperti jatuhnya bayangan tubuh ditimpa sinar matahari. Entahlah.
Saya diam, masih menyaksikan jari-jari yang gemetar itu menyelesaikan jahitannya.
Hanya saja jadi terlintas satu pikiran di dalam diri. Bapak setua ini, dengan kondisi fisik tak prima, masih tegar mencari uang. Kondisi fisik dengan jari-jari gemetar tak menyurutkan diri untuk berhenti dari pekerjaan yang intinya menggunakan ketrampilan jari tersebut.
Apakah Saya mampu bekerja setegar itu? Mau punya masa tua seperti apa?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment