Oprah Show merupakan tayangan televisi yang tak ingin saya lewatkan. Makanya, saya berusaha untuk memasang kanal TV di saluran tersebut setiap jam 10.00 wib di kantor. Apalagi pada jam tsbt biasanya ruangan kantor juga masih sepi. Walaupun teman-teman sudah ada di ruangan, mereka juga tidak terlalu peduli apa acara yang sedang ditayangkan di TV. Semua pada berkonsentrasi pada monitor komputer masing-masing dan suara dari kotak kaca itu cuma menjadi ”alunan merdu” teman bekerja.
Ok, cukup pengantarnya... Intinya, tayangan pada Kamis (12/6) kemarin bagi saya terasa touchy. Tentang seorang nenek beranak 4 yang sayang membuang barang-barang miliknya. Akhirnya, rumahnya laksana gudang, penuh tumpukan baju, perkakas dsb. Akhirnya, malah mengundang rayap yang menghancurkan kayu-kayu rumah, mengundang jamur, dan tikus-tikus di basement.
Suami dan anak-anaknya -demi kasih sayang- membiarkan istri atau ibu mereka untuk ’menikmati’ kondisi tsbt. Sebagai contoh, 12 tahun mereka tidak pernah makan bersama di ruang makan. Kenapa? Ya itu tadi! Ruang makan sudah tertimbun barang-barang.
Aduh! Aku bisa merasakan kesedihan sang ibu paruh baya ketika harus ”berpisah” dari barang-barangnya. Jika bagi sebagian penonton tangisan si nenek itu terasa berlebihan saat ia membuang barang-barangnya, maka bagi saya itu perasaan yang sama terjadi pada saya. Ketika bimbang dan berpikir, ”Eh, mungkin suatu hari aku butuhkan lagi?”
Merunut ke Belakang
Saya tidak sempat menyelesaikan tontonan, karena harus pergi daripada janji temu terlambat. Tapi yang jelas, problem semacam itu menimpa saya. Tidak separah itu. Tayangan kasus semacam itu di Oprah Show (OS) bukan yang pertama. Jadi ingat sekitar 3 tahun lalu, mbak Titi datang ke kos ku di tempat lama. Waktu itu saya nge-kos di kawasan Manggarai. Ia kaget melihat kamarku. Hmmm....memang semua tertata rapi, tapi setiap sudut kamar ku ada tumpukan barang. Entah itu majalah atau koran, deretan buku-buku fiksi bercampur dengan komik, tape deck, di bawah kolong tempat tidur juga kumasukkan tumpukan makalah/materi seminar ditambah kotak sepatu berisi pernak-pernik. Catatan : sepatu dan sandal ku ditaruh di luar. Belum lagi, laci plastik susun dua berfungsi sebagai meja rias dan di dalamnya kutaruh peralatan make-up.
Selang beberapa hari kemudian, Mbak Titi mengatakan saya seperti seseorang yang belum lama ini ditayangkan di OS. Dan itu termasuk penyakit, dan disebut Obsessive Compulsive Disorder (OCD). Agh, waktu itu saya tidak percaya. Obsesif? Obsesif terhadap sesuatu? Saya masih tidak percaya.
Hingga suatu hari, aku pergi ke toko buku. Sebuah buku tiba-tiba menarik perhatianku. Lupa judul bukunya (sudah kutaruh di Bogor), intinya bercerita tentang kisah nyata seorang perempuan yang telah melakukan operasi plastik di usia 21 tahun. Dan itu terjadi berulang kali karena ketidak puasan terhadap yang ada di diri. Kelainan/penyakit yang dialami oleh perempuan bermarga Donohue itu termasuk kategori OCD. Waktu kecil saya senang untuk menghitung segala sesuatu –itu juga katanya temasuk OCD. Ingin meletakkan barang semua secara teratur, menurut abjad, ... itu OCD (dan terjadi pada saya! Minimal pernah pada suatu masa saya alami hal tsbt).
Akan tetapi, kok kayaknya berlebihan ya? Mungkin orang itu memang psiko, ada sesuatu yang korslet, namun kalau saya sih memang namanya juga hanya punya ruang kuasa di satu kamar saja. Jelas semua barang harus digubruk di satu tempat. Entahlah.. yang jelas setelah itu, saya memang harus menyortir barang karena pindah kos. Dan salah satu pembenaran adalah bertahun-tahun jadi anak kos, tentu barang-barang kita semakin banyak seperti layaknya pindahan rumah skala mini. Setiap kos punya ketentuan beda dan mengakibatkan barang kebutuhan baru. Dan ini menjadi ’harta gono-gini’ setiap pindah kos.
Ketika saya pindah kos ke tempat sekarang, saya sendiri terpana ketika menghitung saya punya 3 sepatu kets, 5 sepatu fantofel, dan 2 sandal cantik. Ohya ini di luar sandal jepit yang lebih dari sepasang.
Tas? Uff, lebih banyak lagi. Oke, kopor andalan untuk perjalanan dinas memang satu. Tapi tas dari ukuran maxi, hingga tas yang cuma cukup untuk menyimpan tisu saku pun ada. Akan tetapi, baik sepatu maupun tas andalan ke kantor maupun jalan-jalan, tetap yang itu-itu saja!
Waktu itu teman ku yang membantuku pindahan sampai menyuruh saya berjanji untuk ’menghabiskan’ dulu sepatu yang ada. Tidak boleh beli-beli yang baru dulu! Demikian pula dengan tas.
Saya harus menatar diri tidak pernah lagi membeli aksesori (uff.. saya maniak anting-anting.. lho kok, tapi gelang manik-manik pun juga banyak kok...) karena yang ada sudah cukup untuk menjadi miss matching selama 365 hari. Eh bukan jumlah aksesoriku ratusan seperti itu, tapi pokoknya item lebih dari cukup untuk mendukung padu padan dengan busana yang kupunya.
Eits! Jangan sangka kamarku jorok dan meja kantorku berantakan. Tidak. Aku cukup menata semuanya. Cuma, ya itu! Ada barang di setiap sudut... Sudah lama ingin menyortir bahan-bahan artikel di meja, tapi selalu tertunda (atau kutunda?). Hanya saja, rasanya jika saya bertanya pada rekan wartawan media cetak, bukankah memang demikian adanya? Dalam arti, berbagai tumpukan bahan termasuk makalah seminar, company profile, atau buku laporan memang tersimpan rapi. Ini memudahkan kita ketika hendak menuliskan sesuatu dengan mengolah bahan tulisan yang kita punya untuk memperkaya artikel.
Kata terapis yang membantu penyembuhan si nenek di acara OS, jika ada surat yang lebih dari 2 hari tidak berguna, maka musnahkan! Nah, di mejaku rasanya ada yang sudah berusia 2 tahun lebih.
Semalam, di kamar, aku menyortir bon-bon kartu kredit dan slip transaksi pembayaran. Menemukan buku tabungan yang telah penuh terisi dan tak terpakai, dan sampai saat ini belum kubuang. Berbagai kuitansi dan slip pembelian, termasuk juga copy resep dari dokter yang umurnya lebih dari 3 tahun lalu. Tentu mereka tidak bakal mencari ’pelanggan loyal’ melalui lamanya menyimpan kuitansi :)
Belajar ”Membuang”
Mungkin bagi orang lain, membuang barang adalah hal mudah. Tapi ternyata bagi saya tidak. Kalau dirunut, waktu kecil –sebagai bungsu dari kakak-kakak yang jauh lebih besar- saya terbiasa main sendiri, punya ruangan yang sepertinya berubah menjadi daerah teritori milik pribadi tanpa diganggu orang lain. Di ruangan yang semula di set menjadi dapur kering, akan tetapi tidak pernah digunakan karena orang tuaku bertugas di luar kota dan saya tinggal di rumah tersebut bersama nenek, saya otomatis menguasai ruangan itu lengkap dengan lemari seukuran tempat baju berukuran tinggi untuk menyimpan segala mainan. Hehe..saya masih ingat, saya waktu itu dijuluki si ’goni gotot’ alias penyimpan segala barang oleh nenek dan kakak-kakak. Entah julukan dari mana asal kata itu, mungkin istilah dari Medan/Deli karena nenek saya berasal dari sana?
Hingga akhirnya aku sempat merasakan punya kamar tidur lengkap kamar mandi sendiri. Selalu ada ruang untuk menyimpan barang.. mungkin itu yang terjadi pada diri ini. Sehingga saya selalu memutuskan ’simpan’ dan menunda untuk memutuskan ’layak/buang’.
Saya tidak setara seperti si nenek yang perlu melakukan ’garage sale’ dan menjual setiap barang nya US$1 (atau US$10) dan menghasilkan US$13.000 dari cuci gudangnya. Hanya perlu lebih ’tega’ untuk membuang barang. Meski secara perlahan dan membiasakan diri “keep it” or “damp it”.
(Berani mengakui, berarti mencoba untuk memperbaiki diri)
4 comments:
caranya pertama: cukup punya 1 credit card. banyak credit card berpotensi bikin kita belanja barang (yang akhirnya cuma jadi sampah) karena napsu :))
btw, boleh aku bantu eno nampung sampah-sampahnya? kalo mau, aku mulai dari tas yang tempo hari kupinjem buat bawa barang belanjaan dari PIM yak. buatku aja, lumayan kalo besok-besok mau belanja lagi. hahaha...
ralattttt! nggak berarti aku bilang tasmu sampah loh! maksutkuuuu: tas eno berguna banget buat bawa belanjaaaannnn >hugs-buat-eno<
ajeng naksir tas belanjaku ya? ;)
wah tapi tas itu biasa untuk aerobik euiy.... kamu ga pengen liat temenmu ini langsing? hehe..hehe..hehe.. (hanya Ajeng yg ngerti 'hehe' ini)
Post a Comment