Friday, February 27, 2009

Asah Kemampuan dan Belajar Terus (Renungan Percaya Diri)


Rabu (25/2), saya datang ke acara peluncuran sebuah produk alat bantu dengar. Hadir 2 orang seniman pemberi testimoni, Bubi Chen pianis beraliran jazz mengakui butuh alat bantu dengar seiring kondisi tubuh yang menua.

Pemberi testimoni kedua, Idris Sardi -yang menarik- mengaku sudah mengalami kekurangan pendengaran sejak umur 9 tahun. How could seorang kopokan (bahasa Jawa ”kurang pendengaran” atau ”congek”) sementara bidang yang digeluti otomatis membutuhkan indra pendengaran yang peka?!

Ia mengaku mendapat didikan dari ayah yang keras. Seperti menirukan ucapan ayahnya, ”Musik itu kejam. Sumbang itu aib bagi pemusik. Makanya selalu belajar untuk tampil bagus,” kata pria kelahiran Jakarta 7 Juni 1938.

Saat latihan, ayahnya tak sungkan mendaratkan jeweran di telinga Idris kecil jika melakukan kesalahan. ”Saya jadi berupaya main sangat bersih karena takut,” ujarnya. Niat dan pantang menyerah. Kedua sifat ini dapat kita rasakan dari caranya menjalani bermain musik hingga menjadi maestro biola. Ia selalu berusaha tampil prima. ”Usia berjalan, waktu berjalan, dan semakin beken, maka kita makin dicari-cari kesalahan (dalam bermain),” katanya.

Kunci keberhasilan berkarir : Ia tak berhenti belajar dan mengasah kemampuan. Ia menceritakan setiap hari bangun jam 5.00 pagi untuk memainkan biola dalam nada-nada panjang. Alasannya pada jam-jam tersebut dia akan dapat mendengar nada dengan tepat.

Intinya, alat bantu dengar (atau segala bentuk alat) hanya media penunjang. Tapi hal utama adalah prilaku diri untuk selalu berusaha melakukan yang terbaik dalam pekerjaan kita. Selain itu, selalu belajar dan mengasah kemampuan.

Kekurangan diri itu hanya barrier yang pasti bisa diatasi jika mau. Selalu ada jalan untuk mengatasi.

Peristiwa yang saya alami ini seolah bagian dari pengelus kekalutan saya beberapa hari sebelumnya. Saat itu pekerjaan saya -sebuah proyek lumayan besar dibanding tugas-tugas sebelumnya- selesai. Dan, entahlah! Saya merasa malu/rendah diri dengan hasilnya. Merasa tak siap jika dikritik (seandainya ada....) atas hasil pekerjaan itu.

Padahal, saya sudah maksimal dan sesuai dengan tahapan yang harus diikuti. Soal hasil memang relatif. Kamu tentu tidak bisa memasukkan semua idealisme dan kreatifitas dalam sebuah karya. Sedangkan kritik adalah masukan untuk pekerjaan kamu berikutnya. Practice make it better. Do the best and may God lead me to the rest. Makasih untuk R atas pendapatnya di Selasa malam yang mengembalikan semangat. Dilanjutkan Rabu kemarin dengan sejumlah agenda kegiatan yang penuh aktivitas & memulihkan adrenalin ke titik positif.

Tuesday, February 24, 2009

Gladiator Shoes

Jujur, saya butuh beberapa kali penayangan di televisi untuk film Gladiator-nya Russel Crowe, hingga akhirnya saya bisa mengatakan selesai menonton dan mengatakan film itu memang bagus.

Ga selera (film) yang ’keras’ kali ya? Tapi tentu tidak menolak pula membaca berkali-kali ”Asterix dan Gladiator”. Termasuk jatuh cinta dan berusaha mencari sepatu gladiator alias gladiator shoes.

Saat ikut pemotretan di Centro Depstore – Mall of Indonesia (MOI) bulan Ramadan’08, mata saya sudah menemukan sepatu pujaan. Tapi saat itu saya ragu-ragu.
”Eh, Rio, gw beli sekarang ga ya?” waktu itu saya pergi sama fotografer bernama Rio. Biasa deh, Si Pembelanja Bimbang memerlukan saran kedua. Ia menjawab dengan ucapan yang pasti bakal disuarakan oleh orang lain yang mendapat pertanyaan demikian. ”Yaa.. terserah...”

Lalu saya menimbang-nimbang : Lho, sekarang kan saatnya bekerja. Lalu pemikiran lain adalah ”Gampang lah.. kan bisa cari dengan tenang di cabang depstore itu di Plaza Semanggi (Plangi). Malah bisa belanja dengan tenang.” Saya pun tak jadi membeli.

Saat saya mencari di Plangi (...dengan pertimbangan memang ini saatnya belanja...) malah tidak ketemu. Kalaupun ada, tidak sesuai selera :(

Nah ini kesalahan klise Pembelanja, termasuk si Eno yang merasa sudah berpengalaman shopping dari pasar tradisional hingga toko modern. Jika kamu tertarik pada suatu barang, maka hanya ada dua pilihan (apalagi jika uang di kantung cukup dan memang sudah suka) :

Pertama, belilah saat itu juga. (Kalau bisa sih, walapun memang ingin beli, masih keukeuh nawar harga ke pedagang....Kalau harga penawaran ditolak, kamu bisa cari-cari di tempat lain sembari memikirkan jadi/tidak untuk membeli. Tak ada salahnya kembali ke toko semula bukan? Dan kapan barang itu dipakai, urusan nanti saja lah).

Kedua, dengan alasan logis (misalkan belanjaan itu bakal memberatkan kopor kamu. Atau, saya selalu tergoda untuk membeli kain tradisional/khas, lalu ingatan akan setumpuk kain dari berbagai daerah yang hingga kini terbengkalai di lemari, membuat saya batal beli dan makin yakin pola membiarkan kain di tumpukan barang bakal terulang).

Bulan-bulan berlalu, sejak kejadian MOI saya belum punya Gladiator Shoes. Hingga minggu lalu, saat saya meliput Koleksi Musim Semi P.S., mata saya pun tertumbuk pada sepatu yang yang dikenakan sang peragawati. Saya pun berbisik pada penyelenggara acara, ”Ni, koleksi sepatunya dari mana sih?” Ia pun menjawab.. ”Koleksi Centro”.

Ooo.... Saya membayangkan diri yang nyaman jalan-jalan beralas kaki datar ditopang tali-tali seputar mata kaki. Hmmm.... rasanya saya harus kembali ”berburu” ke depstore yang dimaksud..

Ohya, saya sempat berjanji di awal tahun ini bakal ’menghabisi’ dulu sepatu-sepatu yang ada di rak sepatuku : kitten heels, flat shoes, sneaker, stilleto, pumping shoes..... A-ha! Benar kan, saya belum punya Gladiator Shoes...jadi boleh dong beli :p

Memang saya sudah melanggar janji itu di awal tahun ini. Saat ke Malaysia awal Februari, saya beli sepatu Vincci... murah meriah kok... sekaligus pembenaran harus membeli cat kuku saat di sana.

Viva Sepatu-Sepatu Cantik! Yang pasti, semoga kalau menemukan (dan mengenakan) gladiator shoes, saya tidak tampak seperti Obelix-nya teman Asterix.

Catatan : tulisan ini benar-benar tidak mewakili peritel tertentu lho...

(Foto : jepretan Eno pribadi)

Sunday, February 22, 2009

Busway Koridor ke-VIII

“No, busway mulai hari ini. Hmmm.. Lumayan. Kalau mau ke PIM dari kantor hehe….”

”Acik.. bisa lunch di PIM lebih mudah.. Nanti mari kita coba :)) ”

”Tapi kebayang Senin pasti macet... kan, jalurnya berkurang 1.”


Ini petikan pesan pendek antara saya bersama teman kantor melalui ponsel. Ia juga teman makan siang bareng atau sightseeing together seusai jam kerja. Sandek itu saya terima siang hari Sabtu (21/2/2009).

Yang kami bahas adalah busway koridor ke-VIII dengan jurusan Lebak Bulus - Harmoni. Pada Sabtu itu, Busway Koridor ke-VIII resmi beroperasi.

PIM atau Pondok Indah Mal sepertinya hanya selemparan jarak dengan kantor kami di kawasan Velbak. Tapi, rasanya lebih gampang kalau kami memilih Senayan City, Plaza Senayan atau Blok M Plaza. Kalau ke PIM berarti ’menikmati’ kemacetan di Arteri Pondok Indah, selain pilihan kendaraan umum yang tidak praktis. Harus menunggu Patas AC PPD 16, taxi, atau ojek. Nah, kendaraan motor roda dua komersial ini jadi pilihan saya jika mau berenang di PIM sore hari. Cabut jam 17.00 dari kantor, kejar bolak balik putaran di kolam berstandar olimpiade sebelum tempat itu tutup jam 20.00 WIB. Alasannya praktis sampai ke tempat tujuan. Tapi kalau untuk kecepatan? .. hmm.. hmm rasanya kata tersebut sudah tidak tepat karena jalur Arteri sudah bukan main padat dengan berbagai kendaraan, termasuk sepeda motor.

Saya jadi ingat sekitar 8 tahun lalu, untuk mengejar dari liputan satu ke tempat liputan berikut, saya suka menumpang teman sesama wartawan atau fotografer bersepeda motor. Asalkan tujuan sama atau memang searah ke lokasi tujuan. Dulu, sepeda motor identik kecepatan sampai tujuan, selain irit ongkos. Tapi kalau sekarang?? Motor juga kenal macet.

Mungkin orang bekerja di Jakarta kaya-kaya ya? Setiap tahun, terjadi peningkatan jumlah mobil dan motor. Saya capai mencari data Dinas DLLAJ, Perhubungan atau siapapun yang berkompeten. Gaikindo menyebutkan pertumbuhan penjualan mobil. Secara kasat mata, mobil dan motor semakin banyak memadati jalan. Apalagi jalur Arteri itu jalur menuju berbagai rumah mulai dari Pondok Pinang, Tanah Kusir, Bintaro, atau menuju Ciputat.

Saya bila berangkat dari Bogor bersama bis akan sampai di Lebak Bulus via Tol Jagorawi, berarti menikmati kemacetan di TB Simatupang. Lalu berlanjut di titik-titik kemacetan seperti putaran JIS, Arteri PI, dan perempatan lampu merah antara Jalur Permata Hijau dan Bumi. Hiks, saya bisa membayangkan kemacetan apa yang menanti Senin pagi besok (23/2/2009). Apalagi dengan jalur PI berkurang satu jalur bagi Busway yang seperti di berita sebutkan, berangkat setiap 15 menit-25 menit.

Kata Pak Fauzi Bowo –Gubernur DKI Jakarta- saat menenangkan warga PI, khusus jalur busway Pondok Indah boleh dilewati kendaraan roda empat pula jika memang tidak sedang ada busway. Agh, Bapak, coba lihat tuh kejadian di busway jalur Terminal Kalideres. Sudah jadi pemandangan biasa saat saya menuju Mal Taman Anggrek atau Mal Ciputra, berbagai mobil atau motor melaju di ’jalur merah’ (jalur khusus busway) yang ada di sisi kanan. Dan menambah kemacetan? Sekaligus mengakibatkan busway bukan kendaraan tepat waktu.

Belum lagi menikmati jadi ikan dendeng saat menanti busway di dalam koridor terminal....

Sisi positif, semoga memang menjadi alternatif transportasi serta semakin melancarkan mobilitas warga Jakarta. Termasuk, saya bersama kegiatan belanja, berenang dan pulang kampung!

Friday, February 13, 2009

Valentine

Remember when Valentine were a box of chocolate and the cute little teddy bear.
The gift that banned with pink ribbon and a rose flower.

Remember when “My Valentine” from Jim Brickman and Martina McBride as the must song, while bunch of poem dedicated to the special person.

And now we are grown up, and still believe for loving and care. But we don’t need any celebration such as “Valentine Day”.




Left is Ruerue, the classic type of teddy bear wearing Allure batiks, and he has the new partner called "Pinky-Binky" the cute pink teddy bear with heart mark in left foot. I bought that in Cocoa Boutique-Kuala Lumpur... sometimes U must appreciated and loving yourself with a cute little gift. (Taken a picture with BB 9000).

Thursday, February 12, 2009

Menulis Kok Disetir???

Begini nih nasib Penulis Iklan : dapat brief ini itu. Bisa berasal dari klien dan/atau AE.

Menulis itu (pekerjaan) menyenangkan. Tapi.... jadi bingung dan ga mood kalau kriteria penulisannya ’bersyarat’. Ada wanti-wanti si ini harus dikutip, si itu ga mau digabungkan sama kompetitornya, eh si AZ juga harus ada...


Tantangannya : Bagaimana mengakomodir semua ’pesan sponsor’ dan memasukkannya secara halus ke dalam tulisan. Supaya pembaca tidak hanya membaca beberapa alinea lalu pindah halaman berikutnya, gara-gara artikel tidak punya info bermanfaat. Atau si pembaca langsung mencium ’aroma pesanan’.

Tantangan lain, bagaimana dengan sejumlah prasyarat plus ide besar tulisan masuk ke dalam jumlah halaman yang terbatas. Misalkan cuma disediakan untuk 1 halaman display majalah, atau kolom sekian mm x mm koran.

Dulu saya yakin berbakat jadi Penulis Iklan. Karena mampu secara gampang menautkan kata : membuat kalimat singkat yang enak dibaca, judul singkat dalam 4 kata dan ear-catching dsb. Dan, maaf, saya dulu bisa menemukan julukan tepat untuk guru garing zaman sekolah, bos yang dibenci bersama di kantor lama, atau memberi nama sandi untuk seorang trouble maker yang kelakuannya bikin il-feel anak-anak kos.

Ternyata itu peace of cakes karena didasari ”fun”. Iseng belaka. Otak ini langsung blank bila sudah dibuntuti pesan : angle tulisan, syarat penulisan, dan mengakomodir pasar.

Dalam kondisi begitu, saya berpikir mungkin enak ya jadi penulis lepas? Nulis novel saja, atau bikin skenario film : terserah gw mau nulis gaya horror kering nan standar (seputar wanita bergaun putih rambut terjurai mati dan arwahnya balas dendam, bangkit dari kubur, plus pasti ada adegan mandi-nya dari pemeran utama atau siapapun di dalamnya) ataupun komedi norak slapstick tinggal bumbui judul yang membangkitkan pikiran miring-miring... Buktinya ada tuh produser mau mensponsori pembuatan filmnya :p

Tapi siang tadi dapat curhat dari karib yang sedang menggarap tulisan non-fiksi untuk sebuah penerbitan. Dia lagi sebal dengan komentar editor buku yang menyuruh dia merombak gaya bahasa supaya lebih gaul. Dia malah bilang lebih enak jadi ghostwriter. Pekerjaan yang sebelumnya ia tekuni. Alasannya, belum kerja sudah dapat DP, trus setelah kelar, dapat duit lagi plus klien yang nurut.

Hehe.. saya hibur sahabat tersebut, itu konsekuensinya kalau mau jadi penulis beken. ”Supaya mengalami peristiwa book-signing. Haha..”

Sang editor mungkin punya penciuman lebih tajam apa yang disukai pasar terhadap sebuah buku. Topik & isi tulisan, gaya bahasa, atau hal yang ingin dibaca konsumen sehingga mereka mau merogoh kocek untuk membeli suatu buku.

Memang sekarang ini ’pasar’ memegang kendali. Seperti kukutip dari perkataan R, ”Mohon dimaklumi aza, kalo saat ini pasar mengendalikan segalanya. Rasanya sulit mengedepankan idealisme yang benar-benar murni.”

Hayo Eno! jalani semua itu. jika kamu hanya pandangi tumpukan kertas dan monitor laptop tanpa memulai, maka hasil kreatifitas itu tidak mengalir dari otak ke bentuk nyata.

Hmm.. kalau dipikirkan lagi, saya menikmati kerja sebagai Penulis Iklan. Terserah kadang merasa jadi bagian dari kapitalisme, tapi bisa tugas ke luar kota sembari melihat sudut Indonesia yang lain; dapat gaji yang bikin saya bisa belanja kebutuhan primer, sekunder hingga tersier; atau bisa membeli si Buttercup, Be’ib, Popo, dan Pinky Binky.(Semua itu hadir dengan konsekuensi?!).

(Gambar dikutip dari http://it.coe.uga.edu/~treeves/edit6900/images/writing.jpg)

Memulai Hari dengan ”Your Love”

Pagi hari sebelum memulai pekerjaan, saya melongok kumpulan lagu yang tersimpan dalam MP3. Jarang ku-update sih, tapi sudah terdiri dari lagu-lagu membuatku betah melalui hari sembari menulis.

Hari ini saya merasa senang memulai hari bersama”Your Love” dari Gita Gutawa. Bahkan kuputar berulang kali. Di lagu ini, Gita Gutawa duet bareng Delon, di sini kualitas vokal keduanya teruji deh. Khususnya, Delon membuktikan dia ga cuma modal tampang saja waktu menang Idol.

Nih, gw postingkan lirik lagunya.. saya suka terutama di kalimat yang saya bold-kan ya... haha..mungkin mendekati Valentine, suasana hati me-merah jambu......


Your Love
Gita Gutawa ~ feat Delon

every time i close my eyes
and say my prayer at night
i thank God each day for your love
that gives me wings to fly up high
to reach my dreamin for the sky
you always said

your head up high
smile on your face and wish
that you will always be loved
the stars will lead you every step you take
don’t you ever be afraid
believe in you
and I’ll be there to guide you wherever you may go
thank you for your love, forever

when I am down and the things go wrong
the world against me too
I close my eyes and think of you
and knew what you would say now


your head up high
smile on your face and wish
that you will always be loved
the stars will lead you every step you take
don’t you ever be afraid
believe in you
and I’ll be there to guide you wherever you may go away
giving me my wings to fly high