Monday, November 12, 2007

Alasan Pindah Kerja

“Eh, tau si A mau resign ? Dia kan bakal pindah ke perusahaan X,” kata teman saya di suatu pagi yang belum sibuk di hari kerja.

“Oh.. kapan cabutnya? Akhir bulan ini?” tanyaku sambil menyesap kopi encer yang kini harus kunikmati setelah berkali-kali maagku kambuh akibat addict kopi super kental.

“Idih, malah udah mengajukan surat resign say… Katanya gaji di perusahaan X besar lho,” balas temanku itu. Saya pun manggut-manggut. Kami, saya dan teman minum kopi di pagi hari, serta si A yang menjadi obyek pembicaraan, bekerja di perusahaan sama. Di tingkatan strata jabatan yang hampir sama meski beda divisi, maka tentu tanpa bertanya, atau tepatnya saya malas bertanya, saya mengerti definisi “besar” di akhir kalimat teman saya tersebut.

“Iya ya. Orang berhak mencari yang lebih baik,” sahutku. Teman saya menyahut tanda setuju hal itu.

Mungkin jika kamu dalam posisi saya, mendengar kabar tersebut, apa yang terbersit dalam otakmu? Macam-macam. Betapa beruntungnya si A dengan rezeki yang lebih “besar” itu. Tiba-tiba menghitung sudah berapa lama bekerja di kantor yang sama, dan merasa perlu mencari pekerjaan baru dengan alasan ternyata masih ada rumput tetangga yang lebih hijau. Atau, jadi teringat resolusi kerja yang kamu niatkan di awal tahun dan bertanya-tanya apakah sudah tercapai?

Mungkin saja “besar” bagi seseorang tidak identik dengan gaji. Tapi bisa saja misalkan keseimbangan pribadi antara kerja dengan pengembangan pribadi. Kalau mengutip tips karier di media massa atau media online, gaji dan fasilitas menjadi salah satu komponen penentu alasan kamu pindah kerja atau bertahan.

Semakin menggilanya kemacetan di Jakarta bisa juga menjadi alasan mengapa Anda memutuskan pindah kerja atau ganti kuadran profesi seperti ajaran Robert Kiyosaki. Seandainya kamu bangun 05.00 pagi untuk persiapan ke kantor, terus jarak tempuh rumah-kantor bisa memakan waktu 1,5-2 jam, kemudian jam pulang pun memakan waktu 2 jam bahkan lebih, rasanya berapa banyak waktu yang terbuang di jalan. Kalau sudah demikian, saya kadang berandai-andai perusahaan memperbolehkan pekerjanya untuk bekerja di rumah dan memanfaatkan kemajuan teknologi seperti Internet, fax dan telepon. Tentu saja biaya yang ditimbulkan perangkat ini menjadi komponen fasilitas yang dibayar oleh kantor :p

Apapun pilihan kerja, termasuk bertahan atau pindah, itu adalah bagian pilihan hidup. Setiap orang punya alasan menemukan dan menentukan pilihan-pilihannya.

Friday, November 02, 2007

Nasionalisme dan Produk Dalam Negeri

Suatu majalah internal pusat perbelanjaan dalam edisi 17 Agustusan mewawancarai beberapa konsumennya soal nasionalisme. Mereka ditanya bagaimana mempertahankan nasionalisme dan rata-rata menjawab dengan menggunakan produk dalam negeri.

Jika saya disuruh merealisasikan jawaban tersebut dalam sikap, tentu paling gampang adalah : memilih mengenakan daster. Iya kan. Daster batik yang memang asli dibuat di Yogyakarta, dikerjakan secara handmade oleh pengrajin batik ber-KTP D.I. Yogyakarta dengan memanfaatkan lilin malam. Sekalian saja, saya rajin mencuci batik tersebut dengan Lerak.

Tapi sekarang jadi balik bertanya, definisi produk dalam negeri itu seperti apa : merek lokal; dibuat di dalam negeri sendiri dan dihasilkan oleh SDM lokal; atau berarti menggunakan produk kerajinan UKM?

Padahal, sebut saja kita minum air mineral berlabel Aqua. Merek itu memang buatan lokal dan sumber bahan baku berasal dari mata air dalam negeri. Akan tetapi pemegang saham perusahaan kan Danone yang notabene perusahaan asing.

Semen memang berbahan baku gamping asli Sukabumi atau daerah di Indonesia lainnya. Namun apakah kita jadi tidak membangun rumah karena nama-nama pemodal asing seperti Holcim, HeidelbergCement, dan Cemex masuk di dalam jajaran pemegang saham perusahaan semen lokal?

Apa kamu, atas nama cinta dalam negeri, tidak mau memanfaatkan komunikasi via telepon selular gara-gara pemegang saham operator telekomunikasinya adalah negeri jiran dan pembangun jaringannya juga perusahaan asing? Padahal kamu tentu sudah merasakan hidup lebih mudah gara-gara yang namanya Handphone dan Internet.

Saya pribadi tentu tidak mau menukar kosmetik saya ke merek lokal demi cinta produk dalam negeri. Daripada muka saya jerawatan dan merah-merah gara-gara tidak cocok, lebih baik saya merogoh kocek untuk merek asing yang memang sesuai kulit saya.

Mungkin sebenarnya kompleks ya? Tidak sekadar slogan “Aku Cinta Produk Indonesia” yang rasanya itu sudah menjadi romantisme awal negara kemerdekaan. Dan kini kita hidup di dalam bumi yang mengenal istilah ‘kapitalis’, ‘liberalisme’, dan ‘pasar bebas’. Ketika mencomot barang belanjaan di gerai hipermarket tentu tidak (jarang) mempedulikan apakah itu dibuat oleh perusahaan PMA atau PMDN, apakah produsen taat bayar pajak. Yang penting cocok harga, cocok mutu, sesuai kebutuhan, lalu pindahkan ke keranjang belanja.

Tapi, bagaimana jika menjawab cinta tanah air dan nasionalisme melalui tidak melakukan illegal logging dan tidak membuang sampah sembarangan yang berujung pada banjir dan longsor.

Cara lain dengan meminimalkan pemakaian kantung plastik kresek dan siap sedia membawa tas tenteng dari bahan kain. Lebih memilih kemasan refill, dan mendaur ulang botol beling atau plastik untuk perangkat lain.

Tertib dalam mengantri dan tertib mematuhi perundang-undangan, maupun rambu lalu lintas. Memenuhi kewajiban membayar pajak dan juga agar pengemban uang pajak memanfaatkan dana tersebut dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat seperti slogannya.

Seandainya ada yang perhatian terhadap pembangunan ruang publik berupa taman, perpustakaan umum, scientific center dan gedung kesenian.

Apakah saya juga mesti berdamai dengan e-book gara-gara berjuta hektare pohon musti ditebang demi memenuhi kebutuhan kertas bahan baku buku, majalah, dan koran?