Tuesday, February 26, 2008

Pagi

Ia melukis pagi
Bersama langit, mentari, bayu
hanya pikiran bebas merangkul
memilih biru atau kelabu.

(Jakarta, 22-1-08 di suatu pagi )

Beri Bulan Jika Rakyat Membutuhkan

Filsuf dan sastrawan Prancis, Jean-Paul Sartre bertandang ke Kuba setahun setelah Fidel Castro menggulingkan diktator Fulgencio Batista pada 1959. Perjalanan yang akhirnya dibukukan dalam Sartre on Cuba (terbit pada 1961) memuat dialog menarik antara Castro dengan filsuf eksistensialisme itu. Sartre bertanya apakah Castro akan memenuhi semua permintaan rakyat?
+ ”Ya, karena semua permintaan merefleksikan kebutuhan.”
- ”Bagaimana jika mereka meminta bulan?”

Fidel terdiam. Dia mengisap cerutunya dalam-dalam.
+ “Kalau itu mereka minta, berarti rakyat memang membutuhkannya.”

Haha.. menurut gw itu jawaban cerdas untuk pertanyaan abstrak.

(dikutip dari Majalah Mingguan Tempo, 2 Maret 2008, ”Bulan di Atas Kuba”)
Gambar dikutip dari :www.susanderges.com/full-moon-briars

Monday, February 25, 2008

Jagalah Ucapanmu

Eno, gua order untuk (nama kolom). Nanti materi kukirim yaa... bla bla.. ” kata seorang Account Executive (AE) cowok kepada saya. Biasanya materi yang umumnya berupa press release perlu saya baca & edit sebelum dimuat ke dalam rubrik yang memang saya tangani.

Ohya? Tapi kalau materi dikirim lewat email, cc-kan juga ke email yahoo-ku karena yang kantor ga bisa kubuka. Komputerku lagi rusak,” jawab saya.

Komputer lu rusak? Lu makan gaji buta dong...” kata cowo yang gayanya memang sok cool itu.

Monyet! Gaji buta?? Gw panas nih!

Iya memang. Saking giatnya gw kerja, komputer gw sampai mampus,” akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutku.

Kejadian tadi saya alami saat sedang ngelembur setiap malam untuk mengerjakan tulisan suplemen. Padahal selain itu masih bagi waktu dgn kerjaan lain, dan di saat tidak tepat komputerku di kantor rusak.

Nah, rasanya mendengar ucapan itu sangat tidak enak di kuping. Mungkin saja, dia murni bercanda, atau memang ucapan itu datang dari lubuk hati yang menyangka, ”Jadi penulis iklan enak ya.. Datang ke kantor duduk terus di depan komputer. Ga susah-susah me-lobbying klien dan presentasi supaya klien pasang iklan di tempat kita. Sudah gitu pakai acara bilang komputer rusak!”

Memangnya tulisan kayak bikin panci? Kita juga kayak Empu Gandring yg dapat order keris dari Ken Arok. "Semedi" dulu cari inspirasi supaya keinginan klien matching dengan tulisan kita, browsing data, dilanjutkan menulis, lalu membrief fotografer untuk cari foto yang cocok, lalu menongkrongi anak desain menyelesaikan layout iklan.

Dan hal tsbt bisa membuat para penulis lembur sampai malam. Gua ga pernah tahu lagi sinetron Asia (hehe..kl tidak salah Jak TV pernah memutar film-film model begini), sampai di kos cuma hai..hai... sama temen-temen kos yang kebetulan lagi nonton TV di ruang tengah, cuci muka, ganti baju lalu tidur.

Yah, inti dari kasus saya ini, sekadar mengingatkan diri maupun rekan-rekan : cobalah bercanda dengan cara elegan. Gaji dan desk job bukan hal menarik untuk menjadi bahan guyonan (meski kamu berniat nothing heart feeling dgn pernyataan tsbt). Kita tidak tahu apakah itu saat yang tepat. Apalagi, jika rekan yang diajak bercanda sehari-hari bukan teman dekat. Lebih baik bicaralah seperlunya dan too the point.

Sensor : maaf jika dalam tulisan di atas ada jenis primata yang saya sebutkan.

Tuesday, February 19, 2008

Alunan Jelang Kelam (Deadline)

Hari Selasa menjelang magrib di ruang penulis. Ruangan terasa senyap, hanya ada bunyi-bunyi yang sama datang dari beberapa sudut. Bunyi itu berasal dari ketukan jari yang lincah mengetik tombol-tombol simbol huruf di keyboard.

Ya ampun! saya kenapa terhibur mendengarnya? Rasanya diri ini sedang 'ada teman'. hehe.. Dari minggu lalu, dengan kondisi badan belum fit, saya hampir setiap malam begadang mengerjakan tulisan-tulisan yang menyita waktu. Puncaknya Selasa ini karena ada deadline tulisan wisata. Berhubung tulisan ini untuk edisi Majalah bahasa Inggris, maka prosesnya lebih panjang. Ada urusan kirim ke penerjemah segala. Dan malam Selasa ini saya harus membereskan semua tulisan yang harus di-translate.

Saat itu, ternyata hampir semua teman satu ruangan punya deadline masing-masing. Dan beberapa teman adalah yang 'repot' saya bebani dengan tugas penulisan dari saya. Yah, beginilah nasib Project Officer (P.O.)untuk tulisan wisata tsbt. Mampus juga kan untuk mengurusi semua tulisan? Bagi tugas lah sesuai waktu dan kemampuan masing-masing. Ga! Ga bangga jadi P.O. penulisan. Rasanya saya lebih senang mengurusi tulisan reguler saja.

Hehe.. tapi suara ketik-ketik keyboard di hampir semua sudut ruang, sangat mempesona gendang telinga saya. Seolah saya tiba-tiba tersadar, "busyet.. semua lagi pada konsentrasi kerja.." Dan timbul ide menulis puisi ini :


Alunan Jelang Kelam (Deadline)

Tuk...tuk tuk tuk tuk...
Tuk tuk tuk.... tuk tuk.. tuk tuk tuk tuk..
Alunan itu terdengar nyaring mengejar sore
Mendesir indah di gendang telinga

Jari-jari makin lincah menari
Keyboard pun bersenandung
’deadline.... deadline...deadline...’


(untuk teman-temanku yang senasib dikejar tenggat tayang. Ketukan jari di tombol2 keyboard itu terasa indah terdengar....)

Saturday, February 09, 2008

Terima Kasih Masih Diberi Umur

Gong Xi Fa Cai…. Happy New Year.

Dari mitos kuketahui bahwa masyarakat Cina mengganggap hujan di hari pertama tahun baru merupakan pertanda keberuntungan dan rezeki. Namun, pengalaman saya di hari pertama Tahun Tikus rasanya bukan menyenangkan.

Kamis lalu (7/2), saya melewatkan Tahun Baru Cina ke 2559, di angkasa. Dlaam penerbangan pulang dari Denpasar ke Jakarta.

Sebelum saya terbang, orang rumah sudah menelpon bahwa Jakarta sempat hujan lebat. Demikian pula dengan kondisi Bali di hari terakhir saya berada, sedang mendung dan sempat diguyur hujan. Apalagi pengalaman terjebak banjir Jumat sepekan sebelumnya dan ’perjuangan’ menempuh jalur ke bandara Soekarno-Hatta Jakarta yang tergenang air setinggi ban mobil masih melekat.

Penumpang Garuda Indonesia A330-300 pada malam itu tidak terlalu banyak. Menurut informasi pramugari, pesawat kami ini maskapai ekstra karena banyaknya penumpang yang terbang dari Jakarta ke Denpasar. Dan kondisi sebaliknya terjadi dari Denpasar-Jakarta. ”Sigh, pastilah banyak orang yang memanfaatkan hari libur Imlek dari Kamis itu untuk berlibur ke Pulau Dewata. Sementara saya justru pulang sehabis menunaikan tugas,” kata saya dalam hati.

Penerbangan jam 19.00 WITA on time. Dengan jarak tempuh sekitar 993 kilometer, pesawat berpintu 8 buah melintas di atas kota: Denpasar, Jember, Surabaya, Bandung sebelum sampai di Jakarta. Perjalanan semula terasa lancar. Seperti umumnya, setelah take-off hingga mencapai kestabilan mengangkasa, penumpang boleh melepaskan sabuk pengaman (seat belt). Setelah itu, pramugari mulai membagikan makanan. Saya jadi ingat bahwa hari itu ’spesial’ dari sajian yang dibagikan di pesawat Garuda. Sebuah plum manis yang disimpan dalam plastik dan diikat dalam pita emas, disajikan bersama kartu merah tertera ucapan ”Selamat merayakan Tahun Baru Imlek”.

Namun sekitar 25 menit sebelum kami tiba di Bandara internasional Soekarno-Hatta Cengkareng, pesawat bernomor GA 441 mengalami turbulensi. Penumpang musti memasang sabuk pengaman. Dan tak lama kemudian kami yang duduk terasa berguncang, bahkan dua kali kami melompat dari tempat duduk. Hanya tali pengencang seat belt yang menahan kami agar tetap dalam posisi aman.

Kaget? Yap. Jantung terasa berdebar-debar. Dan denyutan tersebut baru hilang setelah pesawat mendarat mulus di landasan. Seusai momen terkaget yang mendebarkan itu, ”Asuransi” menjadi satu kata melintas dalam benak saya.

Kemudian, saya memandang sekeliling. Tiba-tiba saya ‘meratapi’ kesendirian saya. Duduk di pojok jendela deretan bangku A, bersebelahan dengan sayap pesawat tanpa penumpang di sebelah saya. Saya memandang sebelah kanan. Seorang bapak keturunan asing (sepertinya Jepang) duduk terpekur sendirian. Bapak itu sepertinya dalam perjalanan bisnis dilihat dari sisi penampilan dan tas laptopnya. Sementara di ujungnya pasangan muda –sepertinya pengantin baru- tampak saling merangkul. Sang pria memeluk erat pasangan wanitanya yang duduk di dekat jendela yang sepertinya ketakutan.

Bangku deret tiga penumpang di sebelah belakang, sepasang wisatawan Cina setengah baya saling berpegangan tangan.

Saya tiba-tiba merasa na’if. Kenapa hal pertama yang saya ingat adalah ”asuransi”. Saya memang telah dibekali asuransi dari kantor, belum lama ini juga melengkapi diri dengan asuransi pribadi yang melindungi diri dari kecelakaan di kendaraan umum. (Sebagai orang yang sering ditugaskan pergi-pergi, saya memutuskan perlu mengambil asuransi itu). Dan tersadar saya tidak punya pasangan, baik kekasih maupun suami, yang bakal meratapi atau kehilangan saya.

Saya merasa jika saya sampai pada ujung umur, tidak ada orang yang kehilangan. Dalam arti tiada ’anak yang kehilangan ibu’ , maupun ’pria kehilangan pasangan’. Tanpa beban. Mata saya menumbuk kursi di depan yang diduduki pasangan suami istri paruh baya. Mungkin mereka saat itu sedang saling menggenggam tangan dan menerawang memikirkan anak atau cucu mereka yang tengah menunggu di rumah.

Aigh... kenapa saya lupa pada kedua orangtua saya? Kenapa saya lupa saya punya banyak teman-teman yang kemungkinan besar juga meratapi ’kepergian’ku. Saya merasa ingin ketemu bapak dan ibu, serta para ’cuplis’ di rumah Bogor. Di rumah ortu, ada dua keponakan tinggal, masing-masing berusia 6 tahun dan 13 tahun dengan kenakalan yang bikin kangen. Air mulai menitik di kedua bola mata. Saya langsung memutuskan harus pulang ke rumah Bogor, bukan ke kos seperti rencana semula.

Saya segera mengucapkan doa, melantunkan berbagai ayat yang melekat dalam otak, di dalam hati. Saya berterima kasih kepada Tuhan bahwa saya masih diberi umur. Saat mata menumbuk pada kilau cahaya lampu –kota Jakarta- saya merasa bahagia. Betapa saya cinta kota metropolitan tempat saya mencari nafkah yang sebentar lagi akan kujejakkan kaki.

Thanks God! Saya berjanji tidak mau menikmati wahana permainan yang sengaja mencari debar jantung di Dunia Fantasi (Dufan) untuk sementara waktu. Untuk beberapa waktu saya tidak bakal mencari-cari permainan yang memacu adrenalin. Ternyata ketika kita berada dalam kondisi seperti bermain roller coaster namun dalam kondisi ’pacuan adrenalin sebenarnya,’ antara hidup dan mati, itu bukan hal lucu.

Terima kasih Tuhan. Engkau masih memberi saya kesempatan mengisi hidup ini, semoga dengan hal-hal berguna dan amal kebaikan. Amin.