Wednesday, March 01, 2017

Sepenggal Cerita Remeh bak Rempeyek

Sore itu tidak biasanya saya sudah tiba di hunian sebelum kelam menelan mentari. Dan mata tertuju pada warteg depan apartemen yang masih buka.

Warteg ini sebetulnya sebuah halaman depan rumah yang dimodifikasi berjualan makanan dan tempat orang bersantap. Di warteg ini ada satu penganan saya suka, yaitu rempeyek udang yang renyah dan besarnya seukuran tampah (noted:superlative statement sih…). Taburan udangnya pun melimpah. Tidak seperti umumnya warteg yang lebih banyak tepung ketimbang isian. Enak dan, tentu saja, cepat habis. Laku.


“Pak, pesan nasi putih satu, peyek udang dua,” ucap saya dengan artikulasi (dibuat) jelas. Setahuku Bapak itu memang agak tuli. Penampilan pun cukup renta. Jalannya sudah tertatih dan setiap gerakan menjadi slow motion. Dia menjaga warung sendiri malam itu. Biasanya ada istri, yang juga tentunya renta, menemani berjualan.

Yap, sebenarnya saya sih malas kalau berurusan sama Bapak ini, karena berkali-kali “drama”, tapi mau galak kok  jadi membayangkan seandainya Papa-ku punya warteg.... Saya rasa cara mengatasi kendala itu dengan berbicara dengan suara keras dan artikulasi yang jelas. 
   
Bapak tersebut mengambil sebuah kantung plastik bening dan mulai memindahkan isi sebuah mangkuk yang berisi racikan daging dan sayuran, memasukkannya  ke dalam kantung plastik yang dipegangnya di tangan kiri. Saya diam dan menyimak setiap langkah slow motion Bapak itu. Lama-kelamaan baru sadar kalau menu andalan  warung tersebut adalah sop iga sapi. Waduh, Bapak ini pasti mengira saya pesan sop.

Saya sontak bersuara, daripada seluruh isian mangkuk berpindah ke kantung plastik. “Pak, pesanan saya nasi dan peyek udang,” jelasku. Bapak yang biasanya nyolot tapi kali ini hanya berkata, “Oh saya kira sop. Maaf,” katanya sambil membalik badan menghadap rak kaca yang semula dipunggungi olehnya. Rak kaca bagai di resto Padang ini memang menyajikan tumpukan rempeyek udang yang memancing mata menghampiri warteg seperti kusampaikan di awal cerita.

“Maklum Bu, sudah umur 70 tahun,” celetuknya.

Bagi saya kejadian tadi tidak masalah. Saya asli tidak dalam kondisi cumulonimbus menggantung yang tersurat pada raut muka. Tidak juga menjadi bad mood meski baru mengalami kondisi harus menerabas jalanan macet brengsek dari wilayah Thamrin. Meskipun bangku ojek terasa hanya secuil luasan pantat, dan bang ojek pengen dikeplak gara-gara selipan-selipan nekat diantara mobil.  

Saya malah ketawa sambil melempar guyon, “Yah Pak, 70 tahun mah masih muda. Bapak saya saja sudah 80 tahun,” candaku.

Bapak tersebut balik berkilah, “Iya tapi Bapaknya Ibu kan beda kondisi ekonomi.”

Saya langsung terdiam. Saya langsung ingat Papa saya dan pernyataan saya murni apa adanya buat menghibur. Umumnya orang pasti punya satu gambaran massal tentang: “Tua dalam usia lebih dari ¾ abad” seperti Papa saya. 

Entahlah, saya benar-benar tak paham maksud Bapak tersebut dengan definisi “kondisi ekonomi”. Apa kondisi ekonomi akan mempengaruhi kemampuan maintenance something old item? dan situ memangnya sudah lihat rekening tabungan saya. Ketika pengunjung datang dari bangunan apartemen sementara dia di landed house itu dikatakan beda kondisi ekonomi, tentu Bapak tak tahu kadang manusia pencakar langit, punya kisah menggadaikan hidup dalam pay to bill.

Hidup terasa banal.  Tampilan kadang beda dengan isian. Setiap orang lahir dengan tujuan dan fungsi dalam hidup, meskipun kadang bagai keranjang sampah, ditaruh di pojokan atau buangan.

Malam sudah mewarnai langit ketika saya melangkahkan kaki meninggalkan warteg bersama sekantung rempeyek udang. Saya masih bisa tersenyum dan membalas sapa bapak-bapak security yang saya lalui menuju unit apartemen. Sepertinya “mood awan kumulonimbus” memang tak mampir.  Pada akhirnya saya berpikir, “Yang baper Bapak itu atau perasaan saya serapuh rempeyek? Karena benak ini  terketuk-ketuk hingga mampu menulis blog sepanjang ini.” 

Pada paruh sisa malam, saya pun menyantap peyek sampai remah terakhir. Sambil menuntaskan tulisan remeh nan ringan. Terima kasih bagi teman-teman yang membaca tulisan ini dari awal hingga habis.    

Tuesday, February 07, 2017

Hidup untuk Hari Ini & Lupakan Masa Lalu


Setiba di kantor pada Senin pagi ini, pencarianku tertuju pada secarik kertas kecil di atas meja kantor. Entah kenapa sepanjang akhir pekan pikiranku melayang pada lembaran kertas yang tak lebih dari 1 x 5 sentimeter itu.

Sebuah lembaran dari fortune cookies, sebuah kue yang selayaknya tipis dan renyah, dengan isian sepotong kertas berisi kata-kata yang berisi petuah atau ramalan. Kata-kata itu lebih kurang seperti ini, "Live for today. Learn from yesterday and hope for tomorrow".

Kalimat bijak yang bisa dikutip dari 101 Quotes lalu dicetak untuk pesanan massal meriuhkan New Year. Lalu gunakan probabilitas ketika tangan dimasukkan ke dalam kantung plastik besar, cap, cip, cup sambil membatin, "Semoga ramalan fortune cookies ini tak memperkeruh awan mendung yang selalu bergelayut dalam paruh tahun."

Lalu... Damn! Saat pertama kali membaca lembaran kertas sambil mengunyah kue yang sudah setengah masuk angin itu tidak ada yang istimewa.

Skeptis? Cendrung sinis? Yes, that's me!

Tapi entah kenapa silly though senantiasa membawa saya kembali ke tulisan itu. Entah cerita film tentang relativitas ramalan lembar fortune cookies dengan kejadian yang dialami, ada hal pelecut diri menampar muka sendiri, hingga berpuluh minggu  telah dilalui untuk pada satu hari di tengah duduk termenung sendiri di rumah, diantara tumpukan memorabilia bagian dari masa lalu, meneriakkan pengakuan, "Ada yang salah dengan diri ini!"

Hidup tidak selalu indah, tapi selalu percaya kalau awan mendung pun punya garis perak, bahkan senyum lengkung pelangi akan menanti setelah hujan badai.  Kita mampu membalikkan cerita jadi kisah semanis gulali. Setiap orang punya rahasia. Tapi bak buku terbuka ketika setiap orang yang menatap kita bakal mendesah, "Ada yang tidak beres nih!"

Jika setiap manusia punya lembar Laporan Kinerja periodik, maka rapor Semester II-2016 tidak indah. Kinerja tercapai tapi dengan tertatih. Nilai tinggi hanya di angka, tapi silakan mematut diri, meskipun akan menghabiskan energi karena cermin pun entah dimana (karena entah berapa lama cermin disingkirkan).

Saya tertawa tapi saya bohong. 
Saya ada diantara keramaian, tapi jiwa ada di ruang sunyi.  
Saya tidak semangat. Bahkan make up bukan sahabat penutup luka.  

Masa lalu kadang hanya jadi cerita dulu. Saya atau manusia manapun  tidak bisa mengubah suratan Tuhan.

Takdir adalah teman pengalaman.

Seperti lembaran fortune cookie di meja saya yang sudah dibuang petugas Cleaning Service kantor, lembaran itu itu seperti masa lalu yang perlu dibuang, karena dia tak lebih secarik kertas yang sudah berminggu-minggu di meja kerja.

Hanya kalimat bijak yang sedang kurapal menjadi mantra: 
Hidup untuk Hari Ini. Lupakan Masa Lalu. Kumpulkan cerita di saat ini menjadi helai benang untuk memintal masa depan. 

Dan sebaris puisi kukutip menutup renungan malam:

“Death and Light are everywhere, always, and they begin, end, strive, attend, into and upon the Dream of the Nameless that is the world, burning words within Samsara, perhaps to create a thing of beauty.” - Roger Zelazny 

Oh ya, kadang lagu lama adalah  #moodbooster , karena syair yang melantun adalah teman menyusun puing-puing diri: