Wednesday, August 30, 2006

Copy Writer

Kali ini saya mau menceritakan diri sendiri

Setelah bekerja 4,5 tahun sebagai wartawan di media cetak ekonomi,saya pindah profesi.Menjadi penulis iklan atau diistilahkan sebagai ‘copy writer’. Tetapi bukan bekerja sebagai penulis iklan di perusahaan periklanan. Saya masih bekerja di lingkup perusahaan media dengan nama cukup ternama untuk majalah mingguan, koran dan website beritanya.


Tentu saja lingkup tulisan bukan di pembuatan display. Melainkan tulisan ‘soft’ bersifat advertorial (iklan dalam bentuk berita). Sekarang saya bukan berada di departemen redaksi, melainkan di bawah departemen pemasaran (marketing).


Kenapa pindah? Saya merasa bekerja di dunia periklanan menarik. Duh, klise banget kayak menjawab pertanyaan HRD saat wawancara kerja.Tapi memang begitu perasaan saya. Merasa menjadi wartawan sudah mentok dan tidak mungkin menjadi Rosiana Silalahi, Desi Anwar, Veronica Guerrin, Christiana Ammampour, SK Trimurti dsb. Sudah cukup keinginan saya menjadi Tintin, dan mungkin saat ini saya sedang mimpi menjadikan diri seperti Leo Burnett atau David Ogilvy.


Apa bedanya menjadi penulis berita dengan penulis iklan?


Persamaan adalah sama-sama menulis. Menjadi wartawan adalah kebebasan sejati. Kebebasan memilih angle (meski ada rambu-rambu penulisan sesuai jenis, visi dan misi media kita bekerja), kebebasan meliput dan tidak menuliskannya kalau memang tidak menarik untuk diberitakan. Malas memberitakannya kalau tidak ada unsur kebaruan ditambah narasumbernya brekele dan bikin ill-fell. Bisa juga mood lagi tidak bagus dan akhirnya berita itu basi tergantikan oleh berita lain yang lebih hangat.


Tetapi, menjadi copy writer adalah persoalan deadline yang tidak bisa ditawar. Masalah mood yang mesti dimunculkan meski di sisi lain otak kamu ingin window shopping di semanggi. Angle penulisan yang kompromistis dengan klien (kalau dalam status wartawan, klien= narasumber, dan kamu berhak banget untuk tidak disetir oleh narasumber).


Sebaliknya, tantangan menjadi copy writer adalah kebebasan mengeksplorasi ide-ide. Bagaimana membuat pembalut wanita menjadi topik menarik untuk dibaca. Menjadikan kamera DSLR produk perlu dibeli.


Kebebasan saya adalah permainan kata-kata yang membuat pembaca tergugah membaca dari awal sampai akhir.


Kerjasama tim akan terasa kental dalam membuat advertorial. Dimana saya harus bisa menentukan foto dan men-drive fotografer untuk memotret sesuai keinginan saya. Dan anak-anak desain di ruang produksi adalah partner kamu untuk menjadikan tulisan akhir tampil menarik secara keseluruhan.


Tanggung jawab lebih besar. Saat menjadi wartawan, pekerjaan saya selesai di titik menulis berita. Setelah itu terserah redaktur. Entah diedit dan potong sana-sini karena tulisan terlalu panjang (maaf, abisnya gua udah janji nonton bareng temen2 wartawan di TIM…).Biar itu menjadi tugas redaktur (kan gajinya lebih besar ketimbang reporter:>) Toh ada konsep piramida terbalik. Dimana tulisan terpenting berada di awal tulisan, dan semakin melebar sehingga bagian akhir boleh dibuang kalau halaman kekecilan.


Copy writer dalam profesi saya, adalah tanggung jawab rangkap. Menjadi reporter sekaligus redaktur. Menjawab keinginan saya untuk pengakuan posisi karena ketika rapat evaluasi penulisan,saya sudah duduk bersama level redaktur dari departemen redaksi.


Pilihan saya yang sekarang ini, sempat saya sesali. Benar lho….Mengutuk diri sendiri yang sok pindah kuadran dan meninggalkan anyaman kenyamanan yang sudah saya bangun dengan status wartawan.


Tidak ada lagi schedule perawatan tubuh dan body-ku mekar kembali. Tidak ada lagi penyelinapan ke mal, toko buku atau kafe kalau lagi jenuh dan usai mengikuti jumpa pers. Apalagi pergi ke bioskop Cineplex…duh, kapan terakhir gua mampir ke Setiabudi?


Stres pada awal kerja, benar! Bagaimana dalam hitungan 5 menit saya sudah punya ide di otak untuk tulisan pendukung artikel (angle, bentuk dan arah tulisan ditambah konsep foto yang dikehendaki) jika AE tiba-tiba datang membawa work order.Memikirkan masuk ke dunia kerja baru di lingkungan baru. Bagaimana setiap pagi perut saya mules membayangkan harus melewati pintuk masuk kantor. Mengubah ritme kehidupan berpengaruh pada timbulnya jerawat di mukaku. Namun profesi ini pula yang telah membuatku melalui 8 bulan di 2006. September ini saya dipercayakan memegang desk sendiri. Dan membuat diriku berpikir, “Ok little girl! Sudah cukup waktunya main-main. Kini saatnya serius menekuni kerja!”


Semoga saya bisa mengemban tanggung jawab yang dipercayakan. Jalani dan mungkin suatu hari saya punya mimpi lain…who knows?

Friday, August 25, 2006

Putri Indonesia, Putri Impian, Putri Hiburan, Putri Ibu Bapa...

Jum’at malam saya menonton hiburan Putri Indonesia di Indosiar

Jum’at malam saya menonton hiburan acara pemilihan Putri Indonesia 2006 di Indosiar. Iya menghibur karena saya menyaksikan sejumlah perempuan muda, cantik-cantik, bergaun indah dan senyum selalu terkembang.

Sudah tentu dong itu tontonan asyik di akhir pekan. Ketika kesibukan 5 hari kerja di kantor selesai & benar-benar tidak ada yang tersisa menjadi pekerjaan rumah. Tayangannya tidak bikin otak pusing dan kening berkerut.

Apalagi saya bisa sesekali tertawa. Contohnya, seorang juri yang terkenal sebagai pengusaha sukses sekaligus ibu yang berhasil, mengajukan pertanyaan berikut, “Seandainya kamu menjadi ibu, apa kata-kata singkat yang tepat untuk menasehati anak kamu yang bandel? Dibilangin susah bener?” Nah, saya langsung berpikir : nak jangan bandel / dengarkan pendapat orang dong sayang……

Tetapi si Putri menjawab bahwa ada 3 jawaban yaitu dengarkan apa masalahnya; (lupa jawaban dia yang no.2); dan yang ketiga beri nasehat win-win solution. (Dengan senyum terus tersungging. Dan saya jadi berpikir ‘wah pikiran gua ga match ya…’)

Atau, ketika ada pertanyaan apa langkah yang harus dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan lumpur Lapindo, saya seolah mendapat jawaban dari seorang pakar geologi. Katanya, yang pertama tutup lubang sumber lumpur dengan semen (wuah….), kemudian buat water treatment penampungan air, dan realokasi penduduk (maaf, bahasa yang benar bukan ‘relokasi’ ya?)…

Dan saya baru tahu, katanya, tujuan Putri Indonesia adalah Perdamaian. Tetapi tentu dia tidak turun ke daerah konflik di tanah air. Saat gambar lepas kegiatan-kegiatan sang Putri Indonesia yang bakal lengser ditampilkan, mengingatkan saya dengan foto-foto Lady Diana (Di) dalam kegiatan sosialnya yang saya lihat di Majalah Jakarta-Jakarta. Artifisial dan menyentuh. Foto Nadine bermain uler-uleran bersama anak kampung menimbulkan perasaan sama dengan melihat foto Lady Di menggendong anak korban ranjau darat.

Kita, manusia, memang senang melihat Putri. Dongeng-dongeng menceritakan putri berwajah dan berhati cantik, pasti dipinang pangeran ganteng dan kaya (pangeran kere tentu ditendang). Seolah kehidupan bahagia milik wanita cantik nan anggun. Melihat gemulai Putri Inggris dalam deretan kegiatan kemanusiaan, tentu lebih menyentuh hati ketimbang meyaksikan Putri Stephanie dari Monaco berpesta di klab.

Ketika kerajaan bukan zamannya lagi, kita menciptakan kontes putri, ratu, miss, dsb.

Meski terkesan sinisme di awal, tapi saya bukan anti Putri Indonesia. Saya tidak termasuk golongan anti Putri-nya Ibu Pertiwi dikirim berlaga di luar negeri dan menyaksikan Ia berbikini dengan alasan tidak sesuai budaya bangsa.

Toh, itu kemasan zaman dan modernisasi. Memadukan kerinduan kita akan sosok putri dengan ekonomi. Salon menjadi laku karena ratusan gadis remaja melakukan perawatan tubuh sebelum mengirimkan foto ke panitia juri. Studio foto pun kecipratan rezeki. Penjualan lipstick atau bedak merek tertentu jadi meningkat karena dalam persyaratan ikut serta harus menyertakan bungkus kemasan produk sponsor. Tayangan pemilihan di TV memancing slot iklan, dan ada target penonton sebagai calon pembeli produk yang diiklankan. Karena produk ‘ini’ dipakai sang Putri lho….

Saya juga tergoda untuk ambil kursus pengembangan diri di Lembaga Pendidikan Ibu Anu. Kenapa? Karena saya melihat bukti nyata para murid yang notabene para Putri dari 33 provinsi di Indonesia tampil penuh percaya diri, anggun dan bisa bersilat lidah menjawab berbagai pertanyaan sambil terussss tersenyum.

Saya tidak mau sibuk diskusi dalam pro kontra kontes-kontes semacam. Karena maaf, setiap hari saya punya kesibukan yang harus diisi. Alasan lainnya, seperti prinsip ekonomi di mana ada pasar karena ada permintaan, maka kontes terjadi kalau ada yang tertarik menjadi peserta. Dalam hidup sebagai perempuan, saya memegang konsep Beauty, Brain, Behaviour. Cuma memang diri saya tidak memenuhi kualifikasi yang disyaratkan untuk menjadi Putri Indonesia:p

Jadi, bagi para perempuan Indonesia di seluruh Indonesia, be your self! Karena setiap perempuan adalah Putri dan pantas punya kepercayaan dan kebanggaan diri. Menghargai diri sendiri berarti Anda telah menempatkan diri sebagai Putri. Teman saya menempatkan anak perempuan semata wayangnya sebagai Putri didalam hatinya, saya adalah Putri dari bapak ibu saya, Anda adalah Putri Impian sang kekasih, dll.



Wednesday, August 23, 2006

Niat Hari Ini

Niat Hari Ini

Mulai hari ini, Saya berniat untuk tidak lagi membiarkan tembakau membakar paru-paru saya. Berniat untuk mengurangi asupan kopi paling banyak secangkir sehari.


Mulai hari ini, Saya tidak lupa mengoleskan pelembab badan dan muka. Mengurangi coklat, cemilan dan makanan berlemak.

(Apalagi ya??)

Duh, ternyata Saya tidak cukup menyayangi tubuh Saya. Padahal, usia Saya semakin menanjak………

[Gara-gara hari ini menemani nyokap check-up di Rumah Sakit. Disana menyaksikan orang-orang tua yang sedang ke dokter, periksa darah di lab, dan menceritakan penyakit-penyakitnya].





Tuesday, August 22, 2006

Dunia Firdaus

Dunia Firdaus

Libur 5 hari di pertengahan Agustus kemarin membuat Saya kembali menyentuh dan membuka buku. Maklum, dengan alasan kesibukan kerja, Saya lebih cocok disebut hobi membeli ketimbang membaca buku. Untuk menyelesaikan 1 buku berbentuk novel mungkin Saya butuh waktu berbulan-bulan (bahkan ada buku yang sudah dibeli beberapa tahun sebelumnya, tapi sampai saat ini belum Saya baca!).


Dunia Firdaus

Pilihan saya membaca “Perempuan di Titik Nol” karya Nawal el-Saadawi. Ups, terlambat menjadi feminis? Ah, bukan. Saya membaca karya dokter perempuan asal Mesir itu sebagai penggemar sastra semata. Dan ini sentuhan pertama Saya dengan buah tulisan el-Saadawi yang memposisikan dirinya sebagai penulis & pengarang feminis.


Isi buku tentang wanita bernama Firdaus, seorang pelacur yang sedang menanti hukuman mati karena membunuh seorang germo (catat : jenis kelaminnya laki-laki). Ia justru menolak mengajukan grasi kepada presiden. Menurutnya, vonis ini justru merupakan satu-satunya jalan menuju kebebasan sejati.


Firdaus adalah perempuan yang sedari kecil tidak menerima perlakuan baik dari kaum lelaki. Pelecehan, perkawinan paksa supaya tidak jadi tanggungan sang Paman, dan setiap perlindungan harus dibayar dengan layanan tempat tidur. Belum lagi kekecewaan yang dialami saat jatuh cinta. Sang pujaan hati justru memilih menikah dengan putri direktur tempatnya bekerja. Yap, Firdaus kalah telak karena Ia cuma punya badan. Tidak harta, tidak nama orangtua untuk mengatrol jabatan si pria.


Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur bebas daripada seorang istri yang diperbudak,” kata Firdaus. Tapi, mungkin Ia lupa berpikir kalau menjadi “Pelacur” ia tetap di bawah kuasa kaum pria. Dunia yang diciptakan kaum Adam dari adonan libido dan uang.


Hanya saja, mungkin menjalani profesi itu dianggap Firdaus yang terbaik bagi dirinya dari berbagai rangkaian kejadian yang dialami dalam hidupnya. Katakanlah Firdaus adalah contoh perempuan yang tidak punya kesempatan mengenyam pendidikan tinggi sehingga tidak bisa menjajal pekerjaan yang membutuhkan ijazah sekolah. Atau, dia pun tidak punya keterampilan yang bisa ditawarkan untuk menghasilkan uang. Kecuali jualan fisik…


Bukan disengaja, pada liburan yang sama, Saya juga menonton film “Human Trafficking.” Yap ide cerita tentang kasus penjualan perempuan. Mereka ditipu, diculik, dan diintimidasi untuk menjadi pemuas kaum pria! Bukan karena kesadaran diri sendiri. Nadia mengikuti lomba model dengan tawaran go internasional. Ternyata, ketika sampai di negeri Paman Sam, dijadikan pelacur dan pemeran video bokep. Helena yang bekerja siang malam demi anak dan ibunya, diiming-imingi cinta tapi kemudian disekap dan dipaksa untuk menjadi perek. Bahkan, seorang anak dibawah 17 tahun diculik untuk dijadikan pemuas bapak tua gembrot. Yaks!


Aduh, mengapa ada pria-pria yang tidak pakai akal seperti itu? Menipu remaja miskin dan menjadi kaya dari tangisan perempuan dan rusaknya masa depan seseorang? Atau, adakah pria pengguna yang akan melakukan wawancara terlebih dahulu sebelum ‘memakai’ sang perempuan? Apakah “Pemakai” sebelum “Memakai” bertanya mengapa dan bagaimana awalnya perempuan itu menjadi pelacur?


Saat liburan pula, Saya menonton berita dalam negeri, beberapa cewek ABG berhasil melepaskan diri dari sindikat penjual wanita berkedok tawaran kerja.


Kemiskinan adalah alasan terjadinya pelacuran. Rendahnya tingkat pendidikan dan pengangguran menjadi alasan seorang perempuan menjadi pelacur menjual badan. Tapi apa latar belakang ‘human trafficking’? Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya atau homo homini lupus?


Mungkin kepada pelaku penjualan harus ditanyakan, apakah ia keluar dari rahim perempuan? (Dalam tulisan ini saya lebih suka menyebut kata ‘perempuan’ ketimbang sinonim lainnya karena asal katanya adalah ‘empu’ yang mengandung pengertian penuh kehormatan dan kesaktian.)


Melacurkan otak = memberikan ide untuk kemajuan perusahaan tempat bekerja dan mendapat gaji setiap bulan; melacurkan tangan = punya usaha kerajinan dan menjadikannya benda menarik berdaya jual; adalah contoh-contoh ‘pelacuran’ dalam segi positif, tapi please bagaimana menghentikan pelacuran dalam konotasi asusila?


Dan malam ini, sebelum terlelap, saya menjadi mengucapkan syukur kepadaNya atas perlindunganNya. Jadi menghargai wajah standar saya tapi masih punya otak yang bisa dioperasikan, bisa melahirkan ide-ide dan dibayar untuk itu. Serta, bersyukur memiliki keluarga dan teman-teman yang menyayangi saya.