Tuesday, April 26, 2016

Cinta dan Blink Blink in the Eye


Entah berapa lama blog ini terbengkalai. Masih sempat mengunggah satu per satu artikel tapi dengan jeda yang jauh. Kalau membaca kembali artikel-artikel yang saya posting, saya mengakui blog ini bak benih yang berkembang menjadi pohon. Blog ini menjadi saksi sejak bibit disemai di ladang biner hingga dia bertumbuh terus menerus menantang matahari, hujan badai, dan tegar merekah menambah bilah cerita sejalan rintik kisah yang disiram olehNya.

Dari lajang radikal nan tersamar di balik puisi dan larik puitis, ketika saya jatuh cinta dengan pria yang kusematkan nama: Bintang Jatuh, Pria beraroma tembakau, si bibir silet, hingga akhirnya menyimpan nama itu di nadi dan dikemas di dalam sudut hati.

"Cinta" ternyata sumber inspirasi terbesar kemampuanku menggurat syair puisi. Dan puisi-puisi mengalir menjadi kebanyakan artikel di blog ini. Namun meskipun dia masih ada, dan dia kini menjelma menjadi binar mata, glowing in my skin, dan saat saya tanpa sadar menyunggingkan senyum saat bersitatap, atau sekadar mengingat untuk menyapa Dia nama yang kuingat di pagi hari saat saya terbangun. Mungkin usia membuat saya berdamai dengan perbedaan, meredam mood-swing, dan memperkecil semua masalah yang memang ga benar-benar masalah.

Blink Blink in the Eye vs Kentang Goreng French Fries 

"Kenapa baikan?"
"Sepertinya saya menjadi sosok yang lebih baik sejak bersama dia."
"Hatimu gimana? Tapi, kamu harus tanya, hatimu maunya apa."

[Silent. Sesi pertemuan dengan sobat berpikir penuh logika terasa jadi salah kisah.]

"Kamu sebenernya dah males juga. Kenapa diteruskan?"

[silent]

[krauk....krauk... suara gigi bersentuhan dengan french fries yang dingin dan mengeras]

[tiba-tiba menganalogikan hati ini seperti kentang goreng fast food yang crunchy saat baru tersaji, namun ketika dibiarkan di nampan menjadi dingin kempos pengen dilepeh. Hati ini lalu bertanya, hal apa yang membuat kita mau baikan dengan pasangan setelah badai...   ]

Gambar dikutip dari: www.isharequote.com


Saturday, February 13, 2016

Hujan

Hujan selalu membawa lamunan.
Ketika di dalam taksi, menikmati kemacetan jalan raya di Jumat malam jam 20.00 wib lebih. Iya. Nikmati saja daripada kesal hanya membawa sesak dada.

"Masih di kantor kamu?"
Whatsapp ini pertanyaan senada hampir setiap malam. Kecuali di akhir pekan.

Mungkin ini nasib kisah kasih orang dewasa di belantara Jakarta. Bukan lagi tentang tanya lagi dimana kah, sudah makan kah, bukan pula tentang betapa 'what the hell' hari ini.

Kesibukan kerja. Kemacetan Jakarta.  Tidak ada curhat tentang kerja yang rempong. Karena daripada ngomong dan berbagi omelan, mending diatasi.

Waktu yang singkat bagi kami terlalu sayang untuk digilas emosi gara-gara masalah ga penting. Masalah itu ga selesai dengan curhat, tapi dengan aksi dan hati yang lapang.

Kerjakan dan temukan solusi. Dia juga turut membantu mengubah sifat kewanitaanku yang tukang gerutu dan berceloteh lepas.

Sebenarnya Saya mau cerita apa?
Tidak ada.

Hanya sekadar menikmati sisa hujan, kemacetan jalan raya.
Hanya sepenggal kisah kecil menunjukkan diri ini berubah. Termasuk dalam cara menikmati hujan.
Hujan telah berkali-kali menjadi sumber inspirasi menulis. Hujan bak derai tangis langit yang hendak melarungkan debu dan kotoran ke antah berantah. Namun derai air dari langit sangat spesial untuk menjadi pembangkit cerita.

Jakarta, Jumat 12 Februari 2016


Monday, February 08, 2016

Watch Your Mouth, Dude!

Malam-malam pesan kue di sebuah toko kue yang sudah berusia matang.
Tibalah giliran bayar. Rencana bayar lunas. Metode pembayaran tunai.
Kasir menggesek kartu debit BCA. Status: Decline.
Kasir nyeletuk, "Ga cukup."
Jreng! Ucapan yang enteng. Two simple words. Tapi bagi obyek pemilik kartu, saya, serasa angin diiringi hujan yang mengguyur Jakarta di awal pekan Februari menyiram badan saya seketika itu.

Muka saya langsung gigi taring. Sayangnya demi komitmen: usia baru, tahun baru, resolusi mulut harus dicuci bersih tanpa bicara nyinyir dan kasar.

Saya pun berkata, "Mbak, saya yakin lho saldo saya cukup untuk membayar lunas."
Ibu Supervisor mulai menangkap gelagat customer mulai gahar. Ia mendekat ke posisi kasir.
Selanjutnya uji coba lagi masih tetap gagal. Decline. Si kasir ngomong, "Tuh kan ga bisa mbak," terus dia ke Supervisor seraya berkata, "Tapi ibu/mbak ini yakin uangnya cukup!"

Ngok!

"Oke mbak, bayar pas pengambilan. Saya utang ya!"

Bagi saya status "Decline" terjadi kalau saya: lagi-lagi salah memasukkan pin. Kartu diblokir *Ini sudah pengalaman pribadi lebih dari satu atau dua kali. Bahkan seandainya bank punya promo get stamp untuk masalah kesalahan pin dsb kayak di suatu convenience store, saya sudah berhasil bawa pulang piring, mug dll*

Apalagi saya sempat melihat koneksi dua mesin EDC di meja kasir tidak stabil karena pengaruh cuaca Jakarta malam ini memang tidak kondusif. Teman-teman yang paham perbankan juga pasti dengan senang hati menjelaskan supaya berbagai latar belakang penyebab status Decline makin komprehensif dan melengkapi pemahaman saya :)

Moral of story: tidak gampang menjadi pribadi MELAYANI jika Anda jadi pekerja di dunia jasa atau apapun industri yang Anda geluti. Mulutmu harimau mu. Teman kita memaklumi cara dan gaya kita berucap. Tapi imbas ucapan enteng berbeda di telinga customer.

Dari kuping lalu dicerna emosi dan otak, berujung pada bad experience. Akibatnya bisa jadi customer dengan senang hati menuliskan pengalamannya ke dalam blog, seperti saya. Bahkan membubuhkan judul "Dipermalukan Kasir" di artikel. Mulut pun dengan senang berceloteh menceritakan pengalaman ini menjadi mouth-to-mouth.

Apa nama toko kue-nya? Ahh.. Dewi Retno Siregar kan mau menjadi pribadi positif. Mau jadi orang yang mampu mengunci mulut agar tak enteng bicara. Psst, nanti suatu hari teman-teman juga tahu *wink*

Noted: "Dude" dibaca "Dud" adalah panggilan sayang saya dari keluarga. Jadi tulisan ini menjadi bagian refleksi diri.