Monday, December 29, 2008

Resolusi 2009

Simpan saja daftar panjang Resolusi 2009 dalam diari pribadi. Sedikit narsis, sedikit celotehan yang mungkin juga menginspirasi orang lain, atau silahkan lewatkan saja- tulisan di bawah ini sebagai resolusi Si Eno di Tahun 2009 Masehi/1430 Hijriyah dalam gaya wawancara. (Meski tidak mengungkapkan semuanya,... )


Apa kabar, Eno. Sedang sibuk apa sekarang nih?
Baik. Saat ini Eno masih dengan pekerjaan lama. Rasanya tahun depan juga masih fokus di bidang (pekerjaan) yang sama.

Apa arti Resolusi bagi Eno?
Satu atau banyak hal yang ingin direalisasikan dalam hitungan satu tahun.

Resolusi atau rencana yang ingin dilakukan di 2009?
Fokus pada kerja dan kemampuan diri. Misalkan tidak sekadar motret-motret, tapi juga memahami teknik mengolah foto seperti Photoshop. Ingin membukukan kumpulan puisi saya.

Ohya, kamu suka fotografi. Masih mau serius menekuni?
Ya. Tapi setahun belakangan ini tidak meluangkan waktu khusus untuk hunting foto seperti tahun sebelumnya.

Mungkin karena motivatornya sudah tidak ada?
(Terdiam beberapa saat). Karya fotoku yang dipajang di mall memotivasi bahwa saya punya kemampuan di bidang itu. Komentar, kritik maupun pujian bisa menjadi cambuk perbaikan hasil. Namun gimana ya?? Memang tahun ini aktivitas atau pekerjaan sudah memakan waktu, sehingga weekend inginnya istirahat di rumah saja.

Apa yang sudah kamu capai di tahun ini?
Hmm... rasanya keberhasilanku di tahun ini, tidak sefantastis tahun 2006. Tahun ini lebih let it flow dalam menjalani hidup yang sudah ada. Usaha yang saya rintis bersama teman-teman belum sukses. Mungkin belum rezeki, atau kurang fokus. Tapi saya rasa kami bakal punya peluang lain. Asalkan ada komitmen bersama untuk maju. Yang jelas, semua jadi pengalaman sebagai bagian dari pembelajaran.

Namun lebih jauh, saya mencapai apa yang bukan sekadar membuat daftar lalu membubuhkan tanda check ketika target sudah terealisasi. Saya merasa lebih menerima diri, bersyukur.

Ada lagi?
Blog pribadi lumayan rajin diupdate, rencana membuat blog resensi buku dan film sudah terealisasi, masih ada undangan menjadi pembicara pelatihan penulisan, lebih bersosialisasi dengan keluarga besar, serta berusaha keluar dari lingkungan yang sama (sembari tangan menirukan tanda petik). Saya berusaha mengasah kemampuan nulis puisi, bergabung dengan komunitasnya termasuk ke acara copy darat.

Lainnya?
Secara garis besar, tahun ini kehidupan saya seperti roller coaster atau kurva positif yang mencapai puncak hingga pertengahan tahun. Penuh dinamika dan kesibukan. Lalu, menurun jadi garis datar sampai akhir tahun.

Anehnya, jika dulu saya sering resah, ngotot harus dapat, kini saya bisa memandang suatu sandungan sebagai cermin diri. Lebih dekat kepadaNya, minta maaf jika diri ini pernah menjadi makhluk Tuhan yang sombong atau egois terhadap orang lain. Jika kamu sadari, dalam hidup ini begitu banyak orang yang memperhatikan dan mencintai kamu, sementara kamu justru menyakiti mereka.

Selain itu, saya juga belajar bahwa orang luar –dalam arti, keluarga atau sahabat- bisa memandang satu hal secara obyektif daripada kamu sendiri. Saya kini memahami arti, ”bloody is thicker than any other circumstance” dan “that’s what friends are for”.


Ada pembelajaran lain di tahun ini?
Setiap waktu, setiap perjalanan dalam kehidupan pasti ada pembelajaran. Ada tapi mau kusimpan untuk sendiri ya.

Tiga kata yang menggambarkan Anda?
Kok hanya tiga kata ya? Kurang tuh hehe..... Oke, saya coba padatkan : keukeuh kalau punya mau, sekaligus moody, dan tepat waktu. Atau padanan lain adalah si cerewet, emosional, baik hati.

Ada yang mau diperbaiki di tahun depan?
Di tahun ini masih sering bawa pulang kerja kantor ke rumah. Kadang hal itu padahal bisa dihindari kalau saja tidak menunda menyelesaikannya.

Something you dream about?
Old mini cooper.

Jadi, tahun 2009 ingin beli mobil itu?
Hahaha....... Ga lah. Belum mampu....

(Gambar mobil dikutip dari : www.4tutto.com)

Monsoon – Simpanse Pemberi Inspirasi


Saya punya penghias meja kerja yang baru. Namanya Monsoon. Sebuah pajangan plastik berbentuk simpanse, warnanya coklat, tangan kanan memegang lutut, sementara tangan kiri diarahkan ke atas dengan jari telunjuk teracung ke langit. Jika diguncangkan terdengar kata, ”Aha!” keluar dari lubang speaker terletak di punggung belakangnya.

Sembari memandang layar monitor komputer, bengong cari inspirasi, mata saya bisa melirik ke Monsoon. Ia menemani saya di sebelah kanan meja. Tampang ja’il figur film kartun Madagascar-2 itu seolah mengulik otakku menemukan ide tulisan. Entah ide bermutu ataupun antah berantah.

Saya memperoleh Monsoon dari keponakan. Monsoon adalah salah satu dari 7 karakter yang saat ini dijual McDonald dalam paket Kids Meal. Restoran cepat saji yang sering disingkat McD ini sedang menawarkan paket makanan berhadiah karakter-karakter film Madagascar-2 yang sedang ditayangkan di bioskop saat ini. Ada Alex, Melman, Gloria, dan lainnya.

Meskipun saya penggemar film kartun, selain menahan diri agar timbangan tidak melonjak selama liburan, saya masih menerapkan hitung-hitungan matematika untuk beli. Akan tetapi, yang namanya anak kecil justru menjadikan makanan berbonus mainan sebagai kriteria memilih tempat makan. Apalagi tante yang baik ini kerapkali bertugas menjadi teman selama keponakan berlibur di rumah Opung-nya di Bogor. Dari total liburan 5 hari, saya 2 kali (dalam 2 hari) menemani dua keponakan saya makan di McD.

Setelah di rumah seusai acara jalan plus makan, barulah saya perhatikan karakter Monsoon, si simpanse bengal pilihan Ammar. Sebelumnya keponakan laki-laki saya ini memilih tokoh pinguin.

Jika di film, simpanse berlagak manusia itu (memulai hari dengan minum kopi, sarapan donat sembari baca koran) lucu tapi tidak mencuri hatiku dibandingkan gaya konyol Alex (singa) atau mafioso pinguin. Akan tetapi, dalam bentuk pajangan plastik setinggi lebih kurang 8 centimeter dan mengeluarkan suara ”Aha!” dan bla..bla.. di belakang kata itu, membuat saya gemas. Saya pegang sembari membolak baliknya, lalu berkomentar, ”Mar, lucu nih. Ti’Wi senang si simpanse ini,” kataku kepada Ammar, keponakanku berumur 6 tahun sembari memegang figur Monsoon. Ti’Wi adalah panggilan sayang dari para keponakan, sebagai kependekan dari sebutan ”Tante Wiwi”. Di rumah saya memang dipanggil ”Dewi”, bukan ”Eno”.

Ammar lalu tersenyum manis dan sopan berkata, ”Ambil aja TiWi. Ga apa-apa. Nanti bisa ke McDonald lagi.”

Glek! Keponakan saya yang satu ini memang pintar dalam memilih kata-kata. Doyan nonton berita di televisi membuatnya cepat menyerap berbagai kosa kata yang rasanya sulit kubayangkan bisa diserap di usia sekecil dia, sekaligus memahami artinya. Misalkan, ’huru-hara”, ”Amrozi dan hukuman mati”, bahkan ”mampus”. Bocah ini juga memiliki artikulasi Bahasa Inggris cukup baik.

Saya jadi teringat, ucapannya hampir senada dengan saat kami menasehatinya jangan rebutan mainan. Atau, bersedia berbagi coklat dengan kakaknya. Misalkan kami mengucapkan, ”Hayo dibagi dong (makanannya), nanti bisa beli lagi.”

Karena Ammar sudah memberikan mainannya, saya harus menerima. Tidak bisa mengucapkan kata ”tak usah” layaknya basa-basi berhadapan dengan orang dewasa. Ucapan Ammar sepertinya sekaligus isyarat saya harus membawa lagi unyil-unyil itu ke restoran cepat saji berlogo badut itu.

Untung beberapa hari kemudian, Ammar dan Rani pergi berlibur ke Jakarta. Saya bisa lega, tak berurusan dengan paket makanan berbonus mainan.

(Foto : itu si Monsoon, ternyata tidak camera-face, karena lebih lucu li'at langsung)

Friday, December 19, 2008

Bukan Eno yang Biasa

Tidak seperti Eno yang biasanya perlu keteraturan dan perjalanan terencana, kali ini kepergian ke luar kota pada Jum’at (12/12) semua kuputuskan dalam hitungan hari.

Baru beberapa hari menjelang hari-H saya konfirmasi ikut datang ke sebuah acara keluarga, buka website maskapai penerbangan, booking dan ambil tiket, lalu Jumat pagi saya sudah di Terminal 1B Bandara Soekarno-Hatta.

Sampai di kota Semarang, tujuan pertama adalah hotel tempat orangtua saya menginap. Namun, ini yang kedua kalinya saya menjejak hotel Patra Semarang. Dengan tipikal resort yang tenang, cukuplah orangtua saya saja yang beristirahat di sana.

Saya pun membuka buku telepon, dan mereservasi menginap di Hotel Ciputra yang berada tepat di depan simpang lima. Kawasan yang lebih menunjukkan keramaian pusat kota, strategis bagiku untuk walk hunting alias menyusur kota berjalan kaki. (Ini juga bukan Eno yang biasa, karena biasanya saya berangkat ke kota tujuan dengan tempat penginapan yang sudah ter-reservasi).

Ternyata, sekali-sekali kita memang perlu keluar dari kebiasaan diri. Apalagi jika otak sedang butek. Bertandang ke suatu tempat, menyaksikan pemandangan yang berbeda, bisa menyegarkan pikiran, merancang langkah baru.

Ohya, malam sebelumnya pun jadi cerita sendiri. Meskipun semua main dadakan, untuk urusan packing barang, saya –ternyata- tetap Eno Yang Biasa. Eno yang klata-kliti dan banyak pernik bawaan.

Rasanya pengalaman masa sekolah dan kuliah untuk berkemah, naik turun gunung atau keluar masuk hutan untuk pemetaan, membuat saya ogah untuk menjadi backpacker lagi. Saya sudah menyatakan tutup buku untuk wisata beransel punggung, menggelandang seenaknya dan membawa barang sesederhana mungkin.

Oke. Untuk tempat penyimpanan barang, saya memilih kopor hitam gres yang berukuran lebih kecil ketimbang kopor Antler-ku. Biasanya memang kopor berwarna abu-abu itu menjadi andalanku bepergian karena bentuknya yang besar. Namun, karena hanya 2 malam, sepertinya kopor hitam baruku memang paling pas. Sekaligus momen ujicoba barang baru, bukan?!

Kemudian, saya pun mendekatkan semua ’Barang Harus dibawa’ ke satu tempat : sudah pasti benda pertama yang tak bakal kutinggalkan adalah susu pembersih muka merek L’Oreal yang sudah seperti ’narkoba muka' saya. Saya terbiasa membersihkan muka minimal 2xsehari –pagi dan malam-dan produk ini pun susah-susah gampang pula dibeli. Tidak mudah untuk mendapatkan toko yang menjual produk itu, sehingga saya lebih baik bawa.

Saya lalu mengambil satu set make-up, topi pet pelindung dari panas, baju renang dan perlengkapannya, kamera digital, iPod, dan laptop.

Ohya, rasanya saat yang pas juga untuk memakai perdana kacamata hitam baru bergaya Jackie O dari Evita Peroni, jadi itu juga menjadi must have item. Aneka tisu (tisu kering, tisu basah, tisu penyerap minyak di wajah), body lotion, dan kapas muka. Sepatu cantik dan sepatu casual. Mylanta sebagai pereda maag, suplemen vitamin C, dan aneka obat-obatan termasuk plester Hansaplast.

Buku bacaan di jalan, notes dan bolpen (itu artinya membawa satu set tempat pensil berisi peralatan tulis)...ohya, mukena terbagus dan terbaruku karena terbuat dari bahan ringan (hush...maklumlah baru belakangan ini rajin sholat, jadi baru sekarang ini ingat untuk bawa-bawa itu pula).

Akhirnya, setelah semua didekatkan ke satu tempat, saya pun garuk-garuk kepala. Apa yang bisa dikurangi ya?? Untuk urusan barang bawaan, saya tetap berprinsip ”Kalau saya tidak membawa ini-itu, saya sendiri yang tidak merasa nyaman di perjalanan.”

Namun, tips yang kuperoleh dari pengalaman keluar kota : Sesuaikan pula barang bawaan dengan kondisi daerah. Jika menginap di kota metropolitan, dimana hotel berbintang 3 ke-atas tersedia, tentu berbeda dengan ke pelosok kota kecil. Misalkan kalau pergi ke kota metropolitan, pernak-pernik bisa diperoleh di hotel. Kondisi sebaliknya jika kamu nginap di kota kecil (kabupaten dsb). Bakal berguna jika membawa perlengkapan mandi termasuk handuk sendiri, termasuk pengering rambut (hair dryer).

Ohya, untuk perempuan tentu jangan lupa membawa perangkat pribadi bulanan wanita (kadang stres juga memicu ’periode’ yang dalam hitungan kalendar kamu belum waktunya). Baby lotion berfungsi ganda sebagai pembersih muka sekaligus pelembab badan. Lotion anti nyamuk dan minyak kayu putih, pashmina yang selain mempercantik penampilan bisa berfungsi ganda jadi selimut dan penghangat tubuh, aksesoris (kalung, anting dsb) untuk menvariasikan penampilan dengan baju yang itu itu saja.

Perangkat lain berupa colokan listrik banyak dan berkabel panjang (untuk mencharge batere kamera, handphone, dan laptop pada saat bersamaan). Pengalamanku pergi Aceh 2 kali, membuatku berpikir bawa senter cukup berguna karena disana sering terjadi pemadaman listrik. Ini tidak hanya jika ke Aceh, karena Indonesia secara umum masih mengalami kendala dalam penyediaan pasokan listrik, khususnya di daerah-daerah terpencil dan luar Jawa.

Oke! Yang jelas saya sukses mempacking barang seringkas mungkin, dan sukses pula pulang lagi ke Jakarta.

Financial Check-Up

Menjelang akhir tahun, mengevaluasi resolusi dan mulai memikirkan apa yang ingin ditargetkan dalam tahun ke depan. Salah satunya dalam urusan keuangan.

Beberapa waktu lalu, saya membaca kembali buku “Nice Girls Don’t Get Rich-75 Kesalahan Perempuan dalam Mengelola Uang”. Di halaman pertama, tergores nama saya lengkap bersama kalimat “Jakarta 15-3-07”. Yap! Itu artinya, buku itu kubeli Maret tahun lalu, langsung kubaca di akhir pekan, dan sempat termotivasi.

Hanya saja, setahun kemudian, saat aku membaca ulang buku ini, saya menyadari, kok belum ada pergerakan positif?

Mismanajemen keuangan? Mmmm... sedikit.

”Kok waktu di xxxx, gw bisa beli macbook ya?” kata temanku.

Aku mengangguk. ”Sama. Kerja di pabrik lama, gw bisa nabung beli laptop,” balasku.

Eno boros?? Ihh, gak juga deh... Ini ada masalah inflasi, ketika pendapatan manusia segitu-segitu saja, sementara harga barang kebutuhan naik lebih cepat.

Oke, langkah awal sebelum membuat resolusi, adalah mengevaluasi hal-hal yang terjadi selama tahun ini di bidang keuangan.

Kesimpulan pertama : punya target, dan tetapkan prioritas. Saat kerja di pabrik lama, Eno menetapkan tahun keberapa bakal cabut dari tempat tersebut. Ingin sekolah lagi, dan perlu laptop untuk menunjang studi. Akibatnya? Saya jadi rajin menabung untuk merealisasikan niat.

Kejadian lain, ternyata, saya memperoleh kesempatan bekerja di pabrik lain. Kesempatan yang –menurut saya- mendekati keinginan pribadi pula. Namun, syaratnya saya harus bersedia kontrak untuk jangka waktu tertentu. Hal ini menyebabkan saya harus memikirkan apa yang bakal saya lakukan seandainya... ini yang terburuk.... kontrak itu tidak diteruskan. Akhirnya, saat menandatangani kontrak di pabrik baru, saya berpikir harus ambil kesempatan itu sekaligus nothing to lose. Kalau kontrak tidak diteruskan, sebuah nama lembaga pendidikan di negeri jiran sudah saya pegang untuk melanjutkan studi. Jika kontrak putus, saya bakal cabut mencari penyegaran otak dengan sekolah. Ini memotivasi saya untuk menabung supaya bisa beli laptop. Jadi, saya tetap harus memprioritaskan menabung untuk sekolah (plus biaya hidup) dan beli laptop.

Harus diingat, 6-8 tahun lalu netbook yang cuma Rp 4-5 juta belum dirilis. Komputer jinjing menjadi benda ’mewah’ yang harus menyiapkan anggaran antara Rp 10-15 juta. Jadi, dengan gaji wartawan media cetak lalu menjadi staf penulis iklan, suatu kewajiban menyisihkan uang untuk ditabung.

Dan ternyata, dari status kontrak, pabrik baru mengangkat saya menjadi karyawan tetap. Oke! Saya berprinsip, ”Belajar bisa kapan saja. Tidak secara formal/sekolah, dari lingkungan sekitar pun kamu belajar. Termasuk belajar dari pekerjaan kamu. Tapi bekerja alias cari duit ada batas waktu”. Dan, tentu saja, saya memilih kerja.

Sekarang saya harus punya ”Dream Thing” baru agar niat menabung lagi.

Kesimpulan kedua : Ada saatnya kamu membalas, bukan hanya menerima. Kita bisa berencana, namun kadang urusan sosial membuat cash flow terganggu. Bukan tidak ikhlas, hanya berarti kita siap bahwa target bisa saja tersandung hal lain. Ada saatnya kamu menerima bantuan, dan di waktu berbeda saatnya kamu membalas budi. Hal seperti ini berarti di luar rencana .............Saya kembali ke titik (hampir) nol untuk mulai menabung lagi.

Akhirnya, saya sudah menyimpulkan penyebab kondisi keuangan tahun ini tidak oke.
Saya pun berjanji untuk mampu :
1. Membedakan keinginan versus kebutuhan
2. kembali ke kesimpulan pertama : punya target dan tetapkan prioritas
3. Buat anggaran dan (berusaha) hidup sesuai anggaran.
4. Kurangi kebiasaan belanja cara impulsif. Khususnya hentikan kebiasaan membeli anting-anting dan gelang. Stok di kamar sudah cukup untuk mix n’match selama 365 hari! hahaha....... catatan : baru boleh beli yang baru, setelah semua aksesori yang bukan investasi itu rusak semua!

Namun, bukan berarti tidak boleh bersenang-senang. Hanya saja, Pleasure Budget alias anggaran bersenang-senang (contohnya untuk membeli CD, nonton, makan di restoran favorit..) harus dialokasikan secara khusus pula.

Nostalgia

Mari sini
Rayakan hari kita saling melupakan
Seruput kopi sambil basa-basi sana sini
Tapi janji : jangan pegang tanganku seperti dulu
Hari ini kita cuma jadi penonton sirkus
Pemirsa atraksi metropolis
Saksikan lagak romantis kaum rindu cinta dari sudut kafe

Hari ini, kita bukan lagi si anak pinggir
Anak gang cuma mampu makan donat odang-ading satu berdua
Bukan bibir gincu gula semburkan mimpi manis
Bukan berbaju putih abu-abu mimpi keluarga berencana



Jakarta, 2 Desember 2008

Hanya Kamu

Hanya kamu satu-satunya teman, sahabat, orang terkasih yang berenang dalam palung hati.
Hanya kamu satu-satunya yang tidak kutendang dari telaga itu.


Jakarta, 2 Desember 2008

Taman

Sini duduk sebelahku
Genggam tanganku dan lontarkan mimpi
Ada si Dinda dan Putra bermain di depan kita
Berlari, berteriak, menangis, sebut ”Ayah.... Bunda.....”

Mari, hangatkan hatiku
Pelukmu merengkuh, bau nikotinmu bikin mabuk kepayang
Bisikkan ke telingaku, ”Kita berputar dalam satu waktu,”
”Hidup cuma sekali, aku patuh pada janji berdua dan komitmen padaNya”

Mari, isi taman ini dengan pupuk dan kembang
Jangan kamu teriak soal keadilan dan undang-undang
Jika rumput di taman sendiri kau injak-injak : .... Enyah kamu !!!



Jakarta, 2 Desember 2008

Cinta Diri Sendiri


Selalu ada Kamu
Ada Mas, Aa, Abang, Sayang .....
Sekarang hanya : Aku


(Gambar dikutip dari : www.squidoo.com)
Jakarta, 29 Agustus 2008

Wednesday, December 10, 2008

Menepikan Mimpi di Blue Bayou

Siang hari mendengarkan lagu lawas “Blue Bayou” dari Linda Ronstadt. Lagu populer 1977-an ini dibuat oleh Roy Orbison dan Joe Melson, sebelumnya dinyanyikan sendiri oleh Roy Orbison pada awal 70-an. (Hasil browsing juga sih, maklum belum lahir tuh tahun segitu ...)

Entahlah… suara Linda Ronstadt membuatku terlarut membayangkan kondisi begini : ambil waktu untuk merenung dan pergi menepi, bolehlah aku melanggar pantangan diri -sejak setahun terakhir- untuk smoke, lalu mencoba mengingat apa yang sudah terjadi selama setahun ini.

Biarlah, namanya juga hampir penghabisan tahun. Jadi saat yang cocok untuk merenung, dan membuat resolusi di tahun baru.

Ada waktu untuk berkaca. Bukan sekadar menyalahi kesalahan. Akan tetapi, mencoba memaafkan diri yang terkadang na’if, terlalu angkuh dan percaya kemampuan diri, dan segala sifat manusia yang melekat di diri.

Membayangkan satu tempat bernama ’rumah’. Bukan…. bukan rumah dalam arti harfiah. Tapi sebuah tempat atau keadaan yang menyambutku dengan ramah, menyapu sedih dan luka di hati, lalu ada undangan dansa, ada tawaran ’A Box of Fun’ dari mentari tertelan senja hingga bulan pun lelah, dan kuakhiri dengan tidur lelap.

Terjerembab sambil berkata dalam bisik, ”Nice girl... being better tomorrow. Swept away your sorrow.”, lalu terlelap sembari menyunggingkan senyum.

Ini lirik lagu nya setelah browsing di Google :


I feel so bad, I've got a worried mind
I'm so lonesome all the time
Since I left my baby behind
On Blue Bayou

Savin' nickels, savin' dimes
Workin' til the sun don't shine
Lookin' forward to happier times
On Blue Bayou

I'm going back some day, come what may
To Blue Bayou
Where the folks are fine
And the world is mine
On Blue Bayou

Where those fishing boats
With their sails afloat
If I could only see
That familiar sunrise
Through sleepy eyes
How happy I'd be

Gonna to see my baby again
Gonna be with some of my friends
Maybe I'll feel better again
On Blue Bayou

I'm going back some day, come what may
To Blue Bayou
Where the folks are fine
And the world is mine
On Blue Bayou

Where those fishing boats
With their sails afloat
If I could only see
That familiar sunrise
Through sleepy eyes
How happy I'd be

Oh, that boy of mine, by my side
The silver moon and the evening tide
Oh, some sweet day, gonna take away
This hurtin' inside

Well I'll never be blue
My dreams come true
On Blue Bayou


~ * ~ * ~ * ~

(Betul! Rasanya perlu meluangkan waktu untuk merenung)

(Gambar dikutip dari : www.family-vacation-getaways-at-los-angeles-theme-parks.com/images/8fBlue.jpg)

Tuesday, December 09, 2008

Lagi Sensitif Nih!

Kenapa aku jadi gampang sensitif?
Tiba-tiba merasa sensitif ketika mendengar orang berteriak, ”Gua kan banyak kerjaan nih. Kerjaan menumpuk...bla..bla...”

Apalagi mendengarnya di saat saya juga punya pekerjaan yang bikin otak putar-putar 7 keliling. Rasanya ingin balas teriak, ”Memangnya hanya kamu yang punya kesulitan?”

Saya terkadang juga mencantumkan status ”Busy” di YM, dan benar adanya. Sebuah pernyataan jujur tidak ingin diganggu chit-chat karena pekerjaan sedang menanti diselesaikan di depan mata. Saya sendiri tidak mau dipusingkan kebenaran/tidak dari rekan yang mencantumkan status demikian di YM.

Belakangan ini saya super sensitif. Merasa bahwa kehidupan yang kujalani tak bersahabat. Rasa sakitnya seperti kena gebok rekan sendiri saat latihan softball (karena badan terasa remuk dan bertanya dalam hati, sadis benar teman sendiri menabrakkan bola seolah melampiaskan dendam.... tambah lagi kalau terkena di bagian dada. Rasanya ingin mengeluarkan sejumlah nama penghuni kebun binatang seraya berteriak,"...... lu! Aset nih!" serasa nunjuk bagian tsbt, haha.....).

Rasa kesal yang rasanya sepadan kubuang dengan mencoba taebo atau berenang 6 lap. Supaya cape dan tidak mampu berpikir bahwa diri ini sedang gundah!

Atau salahkan hormon dengan premenstrual syndrome (PMS) yang membuat hampir semua wanita setiap bulan ada fase moody. Saya jadi berpikir, pastilah wanita adalah makhluk Tuhan paling berdosa karena sebulan sekali bikin kesal orang, ngamuk-ngamuk cuma untuk urusan kecil, gampang ngambek, cepat merasa dicuekin lalu nangis tak jelas.

Tapi sayangnya ga pede untuk memakai kaus bersablon ”Awas lagi Sensitif! ....PMS..” supaya orang lain pengertian.

Untunglah bulan November sudah berlalu, karena saya sudah memastikan bahwa pada 2008 bulan terjelek dalam hidupku adalah bulan ke-11. Dan sedang mencoba meng-upgrade diri supaya tidak mellow menyek-menyek di Desember.

(Gambar dikutip dari : http://www.4kraftykidz.com/Donald-Duck-wet.jpg)

Sunday, December 07, 2008

Kado untuk Ayah


Memberikan kado jelas harus berguna bagi penggunanya. Makanya, saya paling malas dapat kado Cuma untuk hiasan meja, dan tentu saya tidak suka pula memberikan kado hal demikian.

Dalam hal mencari kado, biasanya juga mempertimbangkan selera. Dan kenapa bagiku mencariku kado buat laki-laki, kurasa lebih sulit ketimbang wanita. Selain itu, rasanya budget harga barang lebih mahal :-))

Bayangkan : memberi kado buat perempuan bisa salah satu item dari ujung rambut hingga kaki. Aksesoris rambut, anting-anting, gelang, lipstik, atau bros. Baju, sepatu, dompet. Sisir hingga satu set body lotion atau sekotak sabun lavender made in England.

Cowok? Yang harus digarisbawahi pertama adalah desain barang yang lebih konservatif. Dompet kulit (ga mungkin kasi dompet receh batik), dompet berfungsi sekaligus gantungan kunci, mini mp3, album CD, senar gitar (yang ternyata juga banyak itemnya..sigh), baju (ternyata selera saya untuk pilihan busana pria ala metroseksual. Dan itu ternyata cuma disegani segelintir pria), toilettries untuk pria pun memiliki wangi terbatas. Arloji, atau kaus.

Adapula kado unisex yang tidak butuh uang, asalkan diberikan dengan penuh ketulusan, yaitu cium pipi kiri dan kanan.. halah!

Nah, kali ini saya mengalami kebingungan memilih kado untuk ayahku. Saya sendiri lupa, rasanya tradisi memberi kado atau merayakan ulang tahun papaku bukan dari dulu. Dalam tanggal ultah tenggelam dalam rutinitas kerja beliau. Kami bersaudara pun hanya mengucapkan selamat ulang tahun, lalu pergi dengan kesibukan sekolah.

Mungkin juga karena putri kecilnya sekarang punya penghasilan sendiri, saya sejak beberapa tahun terakhir memberikan kado. Buat papaku yang tak banyak pernik, kado paling pas menurutku adalah Buku! Sesuai hobi beliau, khususnya sejak dokter menyarankan papaku tidak kerja berat akibat lemahnya klep jantungnya.

Tahun lalu kadoku –yang menurutku- yang paling sukses. Dua buah buku impor masing-masing berjudul : The Gurkhas (oleh John Parker) dan The End of Sukarno (oleh John Hughes). Kado itu sangat...sangat.... sesuai selera beliau. Dan sudah kupersiapkan jauh hari.

Tahun ini dapat digambarkan dalam situasi saya melihat kalendar, hitung mundur, dan tersadar bahwa ultah Papa tinggal beberapa hari. Seminggu sebelum hari-H, bagi saya sudah mepet :(

Ubek-ubek PIM, mampir di Sogo melihat sebuah jaket coldoray. Sayangnya size yang kumau sudah tinggal satu-satunya yang dipajang. Sudah bluwek dan ada bolong kecil (mungkin terkait sesuatu).

Mampir ke bagian jam tangan, rasanya tidak ada arloji yang kurasa bakal memenuhi selera bapakku yang klasik, sekaligus spesifik. Jelajahi Metro depstore pun aku tak berhasil menemukan yang kurasa cocok.

Terakhir, saya mampir ke Gramedia dan membeli ”Membongkar Kegagalan CIA” versi terjemahan dari Legacy of Ashes karya Tim Weiner. Sempat bertanya pula pada customer service-nya apa menjual versi bahasa Inggrisnya, dijawab tidak ada. Yah setelah at glance membaca isinya (kekhawatiran membeli versi terjemahan adalah tata bahasa/pilihan kata yang tidak tepat, sehingga pembaca tidak paham apa maksud yang mau disampaikan) akhirnya saya beli buku tersebut.

Saya sempat berpikir, apakah mencari barang di sore hari, setelah cape kerja, membuat mood saya tidak asyik? Rasanya diri ini tidak konsentrasi untuk melihat-lihat barang.

Tapi yah sudahlah. Memberi hadiah kepada orangtua toh tak harus di hari ulang tahun. Mereka juga bangga jika anaknya melangkah di jalan yang halal. Jadi ingat sebuah kutipan menarik bagiku dari penggalan surat R.A. Kartini :

Kasihan benar orang-orangtua yang bernasib buruk mempunyai anak-anak perempuan seperti kami. Kami berharap dan berdoa, panjanglah usianya hendaknya dan semoga kelak mereka bangga pada kami, sekalipun kami tiada kan berjalan di bawah payung keemasan yang berkilauan (Surat R.A. Kartini kepada Nyonya Abendanon – dikutip dari buku ”Panggil Aku Kartini Saja: karya Pramoedya Ananta Toer)


(Gambar Smurf dikutip dari : )

Liburan di Rumah

Hari 1 :
Bangun dalam kondisi badan pegal-pegal, tenggorokan mulai gatal-gatal, bersin-bersin. Berarti kepalaku yang pusing beberapa hari sebelumnya, penanda bahwa badan ini memang sudah perlu break.

Bangun, minum air putih seteguk, mandi, telan suplemen vitamin C, pulang ke Bogor. Saatnya butuh perbaikan gizi dengan mengonsumsi makanan bunda... :-p

Sampai di Terminal Baranangsiang tengah hari, saya merasa salah kostum. Jakarta yang mendung dan gerimis, membuat saya mengenakan kaus lengan panjang bertudung hujan (capucon) yang memberi hangat pula di bis ber-AC.

Namun ketika tiba di Bogor, kota hujan menyambutku dalam panas  makan siang dulu di Air Mancur -daerah ini kawasan jajanan terkenal di Bogor dan tidak jauh dari lokasi rumahku- menikmati somay bersama jus melon (igh, ternyata rasa somay-nya tidak seenak dulu. Jus melon juga lebih cair). Tidak lupa belanja oleh-oleh coklat buat Yakob. Siapa Yakob? Dia burung kakaktuaku. Selera coklatnya malah lebih mahal ketimbang majikannya haha..


Hari 2 :
Bangun tidur dan melihat jam menunjukkan pukul 07.00 (wah! masih terlalu pagi untuk orang yang sedang berlibur...)

Sarapan gorengan (ini menu tak sehat dan hanya berlaku di hari liburan di Bogor) beli dari tukang yang mangkal dekat Dinas Kesehatan. Pembantuku sudah hafal kebiasaan satu ini. Bakal menawarkan diri untuk membeli. Catatan : berlibur berarti menikmati kondisi-kondisi yang tidak kita nikmati di hari biasa.


Hari 3 :
Tidak cuma bekerja, menikmati liburan pun perlu penyesuaian. Hari ini aku sudah terbiasa dengan ritme berlibur : bangun siang, nonton film, lalu menyaksikan televisi : berita utama seputar Ananda Mikola sebagai tersangka utama kasus penganiayaan. Hehe, ternyata pembalap nasional beralih profesi menjadi debt collector.....

Beberapa hari sebelumnya, orang kantor meng-SMS ku untuk membuat tulisan advertorial ber-deadline Selasa besok. Tugas mendadak yang bakal membuatku harus menulis di akhir pekan. Ugh! ...Sniff...sniff.. cari ide nih!

Namun, aku dapat berita gembira pula dari Merry. Usaha yang rencananya kami (Ajeng, Merry, Eno) mau rintis sepertinya mulai menemukan titik terang. Yap! Yap! Hayo, Eno, semangat! Semangat!

Rencana malam ini : bakal begadang ngetik bersama Buttercup.

Wednesday, December 03, 2008

My Guilty Pleasure

Coklat adalah my guilty pleasure. Aneka penganan manis –kecil porsi, tapi besar kalori- seperti coklat, kue tart, es krim dsb gampang memicu kenaikan timbangan badan, tapi saya suka banget jenis makanan tsbt.

Kabar baiknya, coklat meredakan stres. Psikolog Dian Wisnuwardhani mengatakan coklat salah satu obat mujarab meredakan stres –suatu kondisi saat tubuh terganggu karena tekanan psikologis- selain buah-buahan karena kaya antioksidan. Selain itu, vitamin pada coklat dan buah-buahan mengembalikan stamina. (Koran Tempo, 29 November 2008). ... Dalam hatiku, pastilah Dian lupa problemnya coklat yang beredar di pasaran hanya kecil persentase kakao, selebihnya gula dan aneka bahan yang memicu tebal lingkar pinggang.

Pernah konsultasi ke dokter, ia katakan memang badan saya sensitif gula. Ini setelah dia memantau daftar makanan harian yang kusantap dan secara berkala menimbang badanku. Maksudnya, berat badan saya gampang kepicu dengan penganan manis. Akan tetapi, yang penting juga mengetahui takaran, food combining, dan olahraga teratur.... :0

Diri ini dari merasa sebal kenapa berat badanku melar sejak bekerja, hingga akhirnya berprinsip 'no problemo'.

Ohya, kalau merujuk pada informasi di atas, berarti saya stres melulu dong! Saya stres saat baca buku, stres saat ngetik depan komputer, stres saat ngopi di kafe... karena semua itu momen saya menikmati coklat. Pilihan? Tidak ada preferensi. Mulai dari Coklat cap Ayam Jago (masih ada di pasar ga ya?) hingga coklat berlabel made in Swiss.

Apakah kemarin saya stres? Entah... Yang jelas, saya ingin makan kue tart full coklat. Mungkin opera cake bersama kopi hangat. Sampai akhirnya terbayang sepotong cheesecake dingin, kusendok secuil lalu masukkan ke mulut. Rasakan sensasi dinginnya di langit-langit dan lidah, lalu guyur dengan mochacino hangat. Wuih.....


Hari itu saya ke Poins Lebak Bulus. Mencoba cari-cari kafe yang menarik, akhirnya mentok ke Oh La La lagi. Makanan yang ada? Hanya dua pilihan kue manis nan leker, dan kupilih brownies coklat. Dan ternyata.. ga enak!! Buat lidahku masih lebih terasa nendang rasa brownies Dunkin Donuts yang legit. Brownies coklat yang bentuknya seperti sepotong sabun itu rasanya seperti bolu yang disiram dengan coklat cair di atasnya. :(

Hari ini saya bakal keluar kantor. Jika acaranya kelar dalam 1-2 jam, mungkin saya bisa mampir ke NYDC di PIM-2 (masih ada ga ya? Sudah lama ga melanglang ke PIM-2...). Seingatku, di sana menu makanannya hampir sesuai dengan seleraku yang doyan manis. Oreo, coklat, taste yang milky. Kebayang cheesecake bertabur oreo.. nyam...nyam.....

Monday, December 01, 2008

Donat Odang-Ading

Mengunyah donat odang-ading
Gulanya manis bikin lidah terguling
Aku lapar jilati rautmu dalam mata mengerling

Dag dig dug dadaku
Kau kata nanti antar aku
Hingga ke pintu
Donat bulat pelan kugigit
Sisa di bibir, biar kau sapu nanti

Merah Marah

Bila bening mata tak memandang dalam kasih
Mencoba alirkan amarah
Tiada muara berlabuh

Mantra eros, cupido, pun tak mempan
Jika sudah emosi meradang
Aih! hampir tutup tahun, darling.........
Dan -sekali lagi- rapor cintamu masih merah

Puisi Berima

Hore!
Akhirnya berhasil membuat puisi berima : "Merah Marah" dan "Donat Odang-Ading".
Setelah selama ini hanya berniat mencoba, tapi selalu menunda, akhirnya kupaksakan. Harus! Akhirnya, terbit juga inspirasi pilihan kata. Pasti masih jauh dari sempurna, tapi hargailah prestasi sendiri :))

Meski puisi modern membebaskan kita dalam pilihan kata, namun puisi berima yang identik gaya dulu, kadang terasa unik, lebih bernuansa. Sama seperti kembali ke semangat retro, vintage, sesekali kita kembali ke asal.

Bibir Sumbing

“Lho, gue kan Batman, masih bangun malam-malam,” kataku.

”Hehehe.... Tahu apa beda Batman dan Superman?” balas si lelaki, sebut saja X. Lalu ia melanjutkan perkataan, ”Batman pakai celana dalam di dalam, sedangkan Superman pakai celana dalam di luar,” katanya.

”Hehehe...”

”Tahu apa beda lain dari Batman dan Superman?” kata X.

”Batman pakai topeng, sedangkan Superman tidak pakai,” jawabku.

”Bukan. Batman itu sumbing, sedangkan Superman dobel sumbing,” kata X.



Saya speechless. Maksud lu apa???

Yap! Saya memang lahir dengan berbibir sumbing. Saya sadar, parut itu memang terlihat di mata orang-orang yang memandang wajah saya. Namun, saya anggap baru kali ini mendengar ucapan paling menohok dari seseorang.

Apakah saya menjadi terhina? Yap! Memang!

Tapi, apakah gara-gara ucapan itu saya merasa rendah diri? Tidak!

Apakah saya jadi merendah, menganggap diri tidak pantas untuk dekat-dekat dirinya? No way!

Justru, saya bisa menilai kedangkalan otak pria tersebut, yang cuma tau berkelakar gaya Srimulat. Menembak kekurangan orang. Apalagi cuma berani berkomentar demikian via telepon. Lebih jauh lagi, siapa pula yang duluan mengejar-kejar dan menelepon? Situ kan? Bukan saya yang mencari Anda. Aih, mungkin kejantanan dia memang hanya sejempol. Sejengkal pun tidak layak untuk saya jadikan teman.

Dalam peristiwa lain, beberapa waktu lalu saya pergi tugas ke luar kota. Bapak yang bertugas mengantar-jemput kami selama di sana, dalam suatu sesi pemecah kesunyian di mobil, berkata :

”Bapak wakil bupati juga sumbing,” kata dia. Saya jelas mengerti maksud kata ’juga” dalam obrolan dia.

”Ohya?” hanya itu jawaban saya. Hanya dalam hati saya membatin, ”Biar sumbing tapi beliau jadi wakil bupati. Sedangkan kamu? Cuma jadi supir….”

Bibir sumbing hanya tidak enak dilihat oleh mata yang memandang. Selebihnya, tidak ada yang patut dikasihani. Kami dikaruniai otak yang normal (contohnya, dalam suatu tes IQ saya bahkan termasuk kategori di atas rata-rata) dan bentuk fisik yang sama dengan manusia lainnya.

Dengan kata lain, kami bisa berpikir, dan memanfaatkan semua kemampuan panca indera. Tidak butuh fasilitas-fasilitas khusus yang memposisikan kami handicapped. Persoalan yang kami hadapi hanya perlu dipecahkan dengan uang dan operasi plastik. Atau make-up koreksi melalui kosmetik.

Memang ini problemnya. Kaum bibir sumbing menderita Pelecehan Mental, antara lain :
1. Akan menyakitkan hati jika ibu-ibu hamil menatap muka kami, lalu terlihat mengusap-usap perutnya yang melendung. Duh, ketauan sekali di dalam hati dia berkata ”Amit-amit. Semoga bayi saya tidak lahir seperti itu”. (Tapi tentu bayi orang tersebut tidak bakal berbibir sumbing gara-gara melihat orang berkondisi demikian).
2. Kami berotak normal, dan tidak ada kekurangan fisik. Sehingga dalam persaingan kerja, pelajaran, olahraga dsb orang-orang ’kalah’ mencari kelemahan dengan menjadikan kondisi muka kami sebagai sasaran tembak. Seolah berkata, ”Halah, mau kamu menang, duit punya, tapi kamu kan Sxxxxxx. Ada kekurangan yang diberikan sama kamu.”
3. Mendapat pertanyaan tolol dari orang, ”Di bibir kamu itu kenapa?” seraya memperagakan tangan di atas mulutnya.
4. Mendapat pengalaman tidak simpatik dari seorang dokter bedah plastik wanita saat saya berusaha wawancara untuk liputan kesehatan. Wanita itu judes, tidak ramah, dan sombong. Mungkin memang begitu kelakuannya, namun aku jadi menangkap kesan dia mengira saya adalah wartawan miskin yang bermanis-manis dulu, lalu jika sudah kenal, minta dioperasikan gratis. Cuih..! Padahal, saya (notabene : pakai uang orangtua) sudah merasakan bedah plastik negeri tetangga jauh sebelum kamu menjadi dokter bedah kenamaan di Indonesia!

Bagi saya pribadi, memang syukur mendapat orang tua cukup berada sehingga mampu membawa saya ke dokter bedah plastik. Jadi, tidak selalu kelahiran dalam kondisi seperti ini berasal dari kalangan miskin.

Selain itu, dari kecil orangtua saya tidak membeda-bedakan saya dengan saudara saya yang lain (yang normal). Bahkan, meski anak bungsu tidak mengalami over proteksi. Sekarang saya paham bahwa mungkin itu bagian dari pelajaran bahwa dunia tidak bakal seramah di rumah.

Apakah karena keturunan? Berdasarkan suatu literatur, kawin antar kerabat atau saudara bisa memicu (yang jelas ini bukan terjadi di keluarga saya). Akibat kekurangan seng di saat hamil. Bagi tubuh, seng dibutuhkan enzim tubuh. Atau kekurangan vitamin B6 dan B kompleks, infeksi pada janin pada usia kehamilan muda, dan salah minum obat-obatan atau jamu.

Ingatan saya tentang rumah masa kecil, keluarga kami memelihara berbagai jenis hewan karena kakak-kakak saya doyan binatang. Mulai dari burung (perkutut, merak, nuri), anjing, ikan, ayam, kelinci hingga monyet. Jadi saya bakal menggaris bawahi untuk tidak memiliki hewan peliharaan di dalam rumah.

Pernahkah saya marah kepada Tuhan? Bertanya mengapa Ia tidak tersenyum ketika menciptakan saya? Pernah! Tapi, marah-marah tidak bakal membuat saya berubah menjadi Milla Jovovich. Kemudian saya anggap ini jadi pengingat diri untuk menjadi manusia yang rendah hati. Pandai memilih kata-kata yang diucapkan, supaya apa yang meluncur dari bibir ini bukan hinaan terhadap orang lain, bukan nge-gosip gomongin orang.

Kaum berkondisi seperti ini pastilah orang yang sensitif. Meski dia berbalut baju mewah, berkosmetik Elizabeth Arden, dan bersepatu Jimmy Choo.

Namun, lahir dengan kondisi ini, jangan menjadi rendah diri dan tertutup. Justru harus Sadar Diri dan Jaga Diri.

Sadar Diri bahwa hidup ini adalah kompetisi. Harus bekerja ekstra ketimbang ’orang normal’. Tidak mungkin bersaing dari sisi wajah, namun berlatih untuk mengisi otak. Muka ga menarik, tapi badan dirawat. Harus ada sisi lain yang membuat mampu menegadahkan muka. Termasuk membuktikan bisa mencari uang sendiri. Tidak berlebihan memang, tapi yang penting cara halal, cukup untuk belanja dan sebagian ditabung. Bukan parasit menunggu tunjangan dari orang tua.

Membuat kita jaga diri, khususnya untuk yang perempuan. Kalau kita tidak menghormati diri, apalagi kehormatan lain yang bisa kita banggakan? Bagaimana dalam kisah cinta? Perempuan berkondisi demikian sepertinya lebih sulit dalam kisah cintanya dibanding pria. Mungkin memang kondisi seperti ini membuat kita (perempuan) bisa menjadi teman yang baik, namun dianggap bukan pasangan yang bagus. Kesannya bahwa kita dikutuk dewa. Namun saya tidak bakal meringkuk menangis di sudut tempat tidur gara-gara itu. Daftar nama pria yang pernah kukencani berderet, pacaran dan patah hati juga bagian dari hidupku seperti wanita lainnya. Bibir yang tampilannya tak menarik ini, juga sudah lebih dari sekali dikecup - dan lelaki tersebut yang memulai duluan, paling tidak membuktikan meski kondisi bibir saya begini, tidak ada masalah dalam hal itu- berarti dia yang tertarik, bukan??

Kita toh hidup bukan untuk menjadi Cinderella menunggu Pangeran Tampan. Hanya masalah waktu untuk menemukan pria yang melihat kita lebih dari ’itu’. Jika suatu waktu pangeran itu hadir, tentulah bukan HANYA melihat kita dalam segurat parut mengganggu di wajah. Karena –seperti saya bilang di awal- parut ini bisa hilang berkat operasi atau koreksi kosmetik. Mari menjalani hidup sembari menanti orang yang bakal melihat sejumlah kelebihan kita : cerdas, baik hati, setia, penuh kasih sayang, teman dalam suka maupun duka, dsb

Semoga tulisan ini menginspirasi rekan-rekan berkondisi sama.

PS : Mr. X belum pernah merasakan ciuman maut saya... :p

Jam Kerja Orang Jakarta

Pemerintah Provinsi Jakarta bakal memajukan waktu masuk sekolah 30 menit menjadi jam 6.30 untuk mengurangi tingkat kemacetan. Rencananya kebijakan yang berlaku bagi seluruh sekolah, baik negeri maupun swasta, per 1 Januari 2009

Aih, orang-orang pemda yang memberlakukan kebijakan ini pastilah punya mobil untuk setiap anggota keluarga. Ibu dan ayah punya kendaraan masing-masing, ada mobil khusus untuk mengantar anak-anak sekolah dan/atau kursus, serta ada mobil ’jelek’ untuk babu ke pasar.

Biasanya sang bapak/ibu mengantar anak ke sekolah. Jadi, satu mobil bakal diisi oleh bapak yang menyetir mobil, mengantarkan anak terlebih dulu ke sekolah -yang rata-rata memberlakukan jam masuk 7.00 WIB- kemudian mengantarkan si istri bekerja dan destinasi terakhir adalah kantor si bapak.

Kalau kita berasumsi 1 mobil sekeluarga (bapak, ibu, anak) maka jam berangkat para orangtua juga bakal lebih pagi. Kemacetan lebih awal terjadi pula.

Bagaimana pula dengan nasib para guru atau anak sekolah yang rumahnya jauh? Berarti mereka harus berangkat lebih cepat dari biasanya. Nah, apakah kendaraan umum sudah ada pada saat itu? Itu berarti Pemprov harus mengkoordinasikan dengan jam operasional kendaraan umum seperti PPD, metro mini dsb.

Akar kemacetan kan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta. Jangan sampai, gara-gara mengejar on-time kerja, mereka cicil motor dan ujung-ujungnya menambah macet jalanan.

Bahkan, seperti dikutip dari Koran Tempo Sabtu (22/11), Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto mengimbau kantor swasta di Jakarta Utara dan Jakarta Pusat masuk jam 07.30, sedangkan di Jakarta Barat dan Jakarta Timur pukul 08.00.

Ada nasehat orangtua, lebih baik bercermin diri dulu, baru mengomentari orang lain. Berarti... orang-orang Pemprov sendiri masuk kantor jam berapa ya?????