Tuesday, December 27, 2011

Ingat




Kemarin tak peduli, hari ini ingat
Semua tentang perasaan mengalir hangat
Menggubah jiwa jadi merah muda

*tentang kangen yg timbul tenggelam*

Wednesday, December 21, 2011

Syukur atau Sombong

Ya Allah,
Ketika aku di dalam mobil dan memandang abang odong-odong mengayuh sepedanya, dalam batinku bersyukur berada di dalam roda empat berpendingin AC dan ada supir siap mengantarkanku.

Namun, seketika aku juga bertanya apakah diriku sombong jika melihat 'yang kurang' dan membisikkan syukur?

*Ada pesan agar selalu “lihat ke bawah” dan ingat diatas langit masih ada langit* 

Monday, December 12, 2011

Gingerbread di Hari Natal

Semasa kecil saya masih ingat pernah membaca dongeng Gingerbread man, dimana suatu hari nenek tua sedang membuat roti jahe berbentuk manusia. ? Dongeng ini mengisahkan tentang suatu hari nenek tua membuat adonan roti jahe berbentuk manusia. Lengkap dengan blackcurrant sebagai mata dan menyusun cherry di bagian tengah tubuh sebagai kancing.

Ketika telah matang dan keluar dari oven, si roti jahe berubah menjadi hidup dan meloncat keluar dari jendela. Si roti jahe menolak untuk dimakan. Ia menantang nenek jika ingin memakannya maka harus mengejar dan berhasil menangkapnya terlebih dahulu.

Si manusia jahe membuat nenek, bahkan babi, sapi dan kuda yang ditemui di sepanjang lintasan pelariannya ikut mengejar karena tertarik mencicipinya. Namun akhirnya nasib si gingerbread man tetap berakhir ditelan menjadi santapan. Ia tertipu oleh rubah yang berjanji menyeberangkan dirinya melewati sungai. Ia malah menjadi pengisi perut si rubah. 

Saya tidak tahu persis hikmah di balik cerita dongeng tersebut. Mungkin jangan nakal, atau memang sekadar cerita lucu-lucuan. Di sisi lain, cerita ini seolah menggambarkan betapa nikmatnya rasa gingerbread man. Bayangkan saja adonan kue beraroma jahe menguar sesaat setelah keluar dari oven. Hmmm.... pasti memang bikin perut menimbulkan orkestra. 

Sesuai namanya, kue ini beraroma jahe dan berbentuk orang-orangan. Kudapan ini termasuk jajanan tradisional Eropa dan banyak dijual di toko-toko kue di Eropa, Amerika Serikat dan Kanada pada saat menjelang perayaan Natal. Bahkan sering menjadi hiasan pohon Natal.

Kadang roti jahe disebut juga ginger snap, berbentuk kue kering, berbentuk tipis dan renyah. Atau adapula yang mengolahnya menjadi bentuk rumah-rumahan di musim salju.

Istilah gingerbread berasal dari bahasa Latin, zingiber atau dalam bahasa Perancis kuno, gingebras,  yang artinya membuat manisan jahe, yang dalam pengolahannya  melibatkan madu dan rempah-rempah.

Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat roti jahe adalah madu, gula pasir, telur, amoniak (ammoniac), susu segar, rempah-rempah dan tepung. Bahan lain berupa bubuk jahe (ginger powder) dan bubuk kayu manis (cinnamon powder), dan semua ini bisa dibeli di supermarket atau toko khusus menjual bahan-bahan kue.

Kesulitan yang harus dihadapi pada saat pembakaran. Temperatur pembakaran oven perlu disetel pada derajat tinggi atau hingga 200ÂșC. Jika temperatur kurang dan hangus sedikit saja, akibatnya roti bisa gampang pecah. Hasilnya, tercipta roti berwarna kecoklatan yang memberikan suasana warna kayu alami.

Roti jahe juga tahan lama. Bisa mencapai 1 bulan meski tidak dimasukkan kedalam kulkas. Amoniak berfungsi sebagai pengembang dan agar tahan lama. Selain itu, pastikan  adonan dibakar sampai matang untuk mencegah agar kue tidak berjamur atau berubah rasa. Pastikan pula untuk menyimpannya di tempat yang kering.  

(Gambar 1: Rumah roti jahe/gingerbread house - dokumen Shangri-La Hotel Jakarta)
(Gambar 2: gingerbread man) 

Thursday, December 08, 2011

Penyebab Kemacetan Jakarta

Apa lagi yang bisa diceritakan tentang jalanan di Jakarta, kalau bukan tentang macet.

Sejak tidak menjadi anak kos, praktis saya mengalami seperti umumnya warga Jakarta. Berusaha pergi pagi menuju ke kantor, dan pulang sore.

Namun, selalu masalahnya di kondisi jalan raya. Ketika memilih berangkat pagi ternyata membutuhkan waktu 1 jam untuk sampai ke kantor. Berangkat siang, sekitar jam 10.00 wib, juga ternyata tidak jaminan bakal nyampai dalam setengah waktu waktu tempuh ketika berangkat pagi hari.

Saya pernah disarankan kalau berangkat pagi, pilihlah jalur melewati Semanggi menuju Slipi. Tapi apesnya, hari itu Senin (5/12/2011) dan ternyata ada demo aparat desa. Taksi saya terpaksa memutar di bawah Taman Ria Senayan, hingga akhirnya 1 jam lebih membuat saya menyuruh pak supir untuk menuju kantor yang lain.

Memang, ternyata ada untungnya pula bekerja di perusahaan yang memiliki beberapa gedung kantor. Akhirnya saya menepi di Kebayoran Baru dan bekerja dari ruang perpustakaan.

Selain masalah demo, kemacetan Jakarta bisa terjadi gara-gara ada penggalian jalan di lokasi yang bakal dilalui.

Ohya, dari obrolan ringan bersama rekan-rekan, katanya menjelang akhir tahun memang sering banyak galian di jalan. Dengan tujuan perbaikan dan peningkatan fasilitas, atau alasan lainnya. Alasan lain ini perlu konfirmasi dari pihak terkait, hehehe...

Menurut saya, gara-gara kemacetan Jakarta, jika memiliki temu janji dengan orang di tempat lain, sekurang-kurangnya perlu berangkat satu (1) jam dari waktu pertemuan. Meskipun ada satu hal lagi yang siap-siap dihadapi, jika orang yang diajak bertemu ngaret dengan alasan ”macet”. 


(Gambar dikutip dari: www.rumah123.com)

Thursday, December 01, 2011

Melakukan Pekerjaan dengan Hati

:R


Libatkan hati dalam bekerja.
Mainkan emosi untuk mencintai bidang yang kamu ceburi.
Dengan demikian, kamu melakukan pekerjaan dengan hati.

Menulis aku lakukan karena cinta.
Maka pelihara cinta itu.
Atau bisa jadi kamu bekerja di lapangan.
Maka semaikan terus lapangan itu.


*Memotivasi diri dengan letupan semangat*


Thursday, November 10, 2011

Karena Kita Memilih Dalam Hidup

Saya : perempuan, umur 30-an dan belum menikah.

Dan lagi-lagi mendapat pertanyaan yang cukup standar, ”Sudah menikah atau belum?”

Nah, kebetulan yang bertanya adalah kenalan baru. Seorang perempuan yang mantan teman satu kantor sepupu saya. Kenalan via bbm, saya kira semula dia adalah penulis lepas yang ingin diperkenalkan oleh kawan saya, dan ternyata dia pun karena ingin menambah kawan yang terlink dalam jaring bbm group dibuat oleh sepupu saya.

Saya jawab pertanyaannya bahwa saya belum menikah.

Dia lalu melemparkan teks yang intinya kurang lebih: pasti kamu cantik dan pandai, hingga pandai milih-milih dan akhirnya belum married.

Dan kemudian menambahkan kata di bbm-nya ... ”Rasain...”

Ohohoho...secara pilihan kata, sangat ...sangat... judging under social culture. Walaupun bercanda atau bagi dia adalah standar berakrab diri? Entahlah.

Kenapa orang selalu menuding ”terlalu pilih-pilih” terhadap perempuan lain yang belum menikah di usia cukup umur?

Tanyakan kepada perempuan yang menikah, apakah dia melakukan pilihan terhadap pria sebelum melangkah ke pelaminan?
Pacaran pun tahap pilih-pilih.

Bukankah saat kita bangun tidur dan memilih baju yang akan dikenakan pun merupakan ”pilihan”? Memilih sepatu pun harus pas di kaki dan nyaman di kaki saat melangkah. Demikian pula dalam kehidupan kita pasti melakukan sejumlah pilihan.

Tetapi ketika menuding wanita yang belum menikah akibat dia terlalu pilih-pilih, itu berarti terlalu mengeneralisir keadaan.

Terlebih saya menyayangkan yang menyatakan ”terlalu pilih-pilih” adalah kaum sesama jenis dengan diri saya. Saya tidak marah. Saya hanya membalas perkatannya dengan menyatakan bahwa jalan hidup orang memang berbeda-beda. Saya dengan sepupu saya saja berbeda. Cerita cinta saya cukup menjadi konsumsi pribadi.

Tapi semoga dengan menuliskan ini memberi inspirasi kepada siapa saja dalam memandang pilihan menikah seseorang.

Saya yakin setiap wanita punya tahap seperti diri saya. Saat lahir pasti mengenal cinta dan kasih sayang keluarga, lalu masuk sekolah mengenal arti teman: ada teman berbagi dan merasa kehilangan ketika dia tiada. Kemudian beranjak ke masa puber ketika mengenal cinta antar lawan jenis, dan mencoba membangun mimpi-mimpi pribadi maupun bersama.

Ketika agama menyatakan bahwa menikah dan berpasangan-lah, pasti juga Tuhan ingin kita hidup bahagia dalam pernikahan. Jatuh cinta dan menikah pun menjadi satu pilihan. Akan tetapi, bayangkan jika sebelum menikah Anda telah menemukan ketidakcocokan prinsip atau perilaku? Atau apa Anda bakal mau melanjutkan ke pelaminan jika sebelum menikah pun pasangan Anda sangat posesif dan tidak bakal mendukung Anda mencapai mimpi-mimpi pribadi?

Itu sebagai contoh lho.... (Maaf kepada para mantan pengisi ruang hatiku: saya mengatakan ini bukan berarti menuding kalian pernah melakukan kekerasan fisik atau verbal. Mereka justru memperkaya otak dan pengalaman batinku. Tulisan di atas hanya mewakili pikiran saya secara umum.

Hanya saja langkah hubungan seseorang ada yang tidak seperti penutup dongeng “..and they live happily ever after.. the end”. Sebenarnya pendongeng malas meneruskan cerita kehidupan setelah perkawinan. *Smile*

Di abad 21 saat ini memang perjalanan kehidupan yang klasik tetap bertahan: lahir, sekolah, pacaran, menikah, lalu mati. 

Akan tetapi, memang jalan hidup orang berbeda-beda. Mungkin ada orang (wanita) yang cukup smooth menjalani episode dari pacaran, menikah, lalu menjalani kehidupan berpasangan dan beranak cucu dengan lancar.

Balik kepada perempuan kenalan baru tersebut, dia berusia hampir 40 tahun, sudah menikah, punya anak 4 orang. Saya cuma tidak ingin menghabiskan energi negatif dengan menjelaskan bahwa saya punya kehidupan bahagia meskipun belum menikah.

Nasehat saya secara umum kepada rekan yang single: meski tidak atau belum menikah adalah hidup yang Anda jalani, coba lihat dari sisi positif : punya keluarga yang selalu menyayangi, sahabat sesama wanita yang selalu siap ’memeluk’ di saat gundah dan bahagia, dan pasti tetap ada rekan lawan jenis yang mencerdaskan dan membuatmu menerapkan istilah ”di balik wanita tangguh, ada pria yang menginspirasi” .

Dan teman-teman, coba biasakan mulai sekarang jangan judging under social culture terhadap orang lain yang belum menikah di usia matang. Mungkin saja si rekan belum menikah punya sejumlah alasan mengapa demikian: memang bahagia dengan pilihan hidupnya, memang menemukan ”belang” calon pasangan hidup yang tidak mungkin dikompromikan, sedang mengejar mimpi lain (karir atau sekolah lagi), ingin membahagiakan kedua orangtua dulu, anti-berbagi kasur tidur, sedang giat mengumpulkan duit untuk membeli rumah, telah divonis dokter tidak bisa memiliki anak dan belum bertemu pria yang siap tidak memiliki keturunan dalam pernikahan, ........... (silahkan isi titik-titik dengan jawaban telaah positif dan empati).





Sunday, October 23, 2011

Susahnya Nge-bis Nyaman di Jakarta-2

Sabtu ini (22/10/2011), saya mau hunting Jakarta menggunakan bis. Sejak pindah ke apartemen di wilayah Jakarta Pusat, praktis saya mengalami kondisi berbeda dari sebelumnya yang hanya jalan kaki kantor-kos sekitar 15 menit.

Ketika aku ceritakan rencana ini kepada Ak, dia berkomentar, “Hah? Ga salah denger?”.

Alasanku kan aku baru pindah. Selama ini mengandalkan taksi. Atau mobil dan seorang supir siap mengantarkan. Alasanku selain mencoba tahu rute sekitar tempat tinggal, misalnya mikrolet, poin perhentian dan terminal setempat.

”Lagian kan dulu jadi anak sekolahan biasa gitu. Liputan (sebagai wartawan-Eno)  ngebis juga,” kilahku.


Sebagai catatan, saya tidak bisa membawa kendaraan bermotor, baik motor atau mobil. Hanya bisa mengayuh sepeda tapi tidak punya keberanian untuk mencoba gowes di ibukota. 

Kaus hitam, jeans kelam, ransel besar, dan sepatu kets menjadi padanan siap menjadi busana wisata transportasi massal Jakarta.

Jam 10.30 wib saya mampir di Apotik-Optik Melawai Salemba, tebus resep sakit maag sekaligus mencari kacamata baru. Selesai urusan disana, naik mikrolet M01 jurusan Senen-Kampung Melayu, berkilah turun di Gramedia Matraman. Akhirnya hanya mampir makan siang dan melirik stan sebuah merek komputer yang ada disana.

Pulang pun memilih mikrolet jurusan menuju Senen. Dalam hati yang semula mau membatalkan niat, akhirnya berpikir karena hari cerah tidak ada salahnya untuk lanjut naik mikrolet ini hingga ke terminal Senen.

Di terminal saya menyusuri lorong pasar berisi penjual buku-buku dan majalah bekas, lanjut lihat bis AC, ”Nah! Ada bis ACjurusan Senen ke Ciputat via Blok M.”

Selama di bis, banyaknya tukang jualan sih saya pahami. Bis ngetem lama saya maklumi: tidak ada urusan buru-buru. Tapi ini yang saya benci, ketika bis AC keluar dari mulut terminal dan baru beberapa meter, di depan pintu kolam renang naiklah 3 pria muda. Tidak nyanyi, tidak baca puisi, hanya berpidato. Tapi dengar koar-koar tiga pria yang kuperkirakan berusia 20-tahunan itu menyebalkan atau mengancam.

”Hidup di Jakarta susah..... bla..bla.. (lha, jadi kuli pasar, tukang batu, atau pindah aja ke kota lain menjadi ......) “ ,.....”Daripada kami menodong bla...bla...bla.. (naj*s masuk neraka aja kalian sekalian)... dst ..dsb..” dan mulai minta duit satu persatu kepada penumpang. Saya hanya menyorongkan telapak tangan seraya berkata maaf (tidak memberi) sambil menatap mata pria tersebut. Laki-laki itu pun berlalu.

Dari kaca jendela saya melihat tiga pria itu turun, menghitung recehan yang mereka terima. Saya tidak kasihan, malah membatin semoga orang tak berguna seperti itu jadi korban tabrak lari di malam hari. Kemudian menjadi mayat percobaan bedah anak-anak kedokteran *ada amalnya* Saya sempat berpikir ternyata Jakarta Pusat bukan hanya kawasan cantik Menteng, MH Thamrin, melainkan si kumuh Senen, bioskop tua dengan tayangan film tidak bagus tapi bingung kenapa banyak yang nongkrong disitu, kantung-kantung yang cenderung bagai bronx kota Jakarta.

Sesampai di Blok M saya iseng menyusuri kios buku di bawah Blok M Square. Masih mau lanjut ke PIM? Atau tempat lain? ternyata jam 16.00 wib, Blok M basah diguyur hujan, kaki yang pegal, cape, sampai lupa apa sebenarnya yang mau dicari. Akhirnya saya putuskan balik saja. Jika saya naik taksi, berarti saya masih bisa rileks atau menikmati berenang sore hari di apartemen.

Tapi saya pikir yaudah pilih saja Kopaja 19 yang kalau tidak salah melewati Grand Indonesia (GI). Saya mau ngaso, makan dan lihat-lihat laptop model baru disana. (Biasanya kalau masuk mall ber-AC dengan suasana interior nyaman, pasti penat hilang..terbayang tumbler saya diisi secangkir kopi hangat Starbucks, nge-sushi or what else...dst...dsb).

Saya pilih duduk di pojok kiri pas dekat pintu depan Kopaja. Wanita cantik yang duduk di sebelah saya, turun di Karet. Tiba-tiba seorang pria dari belakang duduk di kursi kosong yang ditinggalkan wanita itu... Plass... Pria tersebut kenapa tidak membawa aura menyenangkan, ya?!. Kemudian naik dua atau tiga pengamen cilik yang seolah menambah penuh bis.

Tahu-tahu kejadian aneh terjadi.. seorang pemuda yang duduknya di seberang kanan saya, mau turun. Gubrak.. pria itu terjatuh terjengkang di dalam bis. Pria yang duduk di samping saya berteriak kaget, dan seorang pria (X) yang sejajar seberangan tempat duduk saya seolah membantu. Tapi tunggu, mengapa saya melihat X menunduk dan tangannya menarik ujung bawah celana si pria muda itu?

Saat pria itu jatuh kaget, si X seolah membantu membangunkan pria dengan tangannya memegang bagian sekitar pantat si pria muda?

Aih saya mulai tidak enak… Saya dekapkan ransel. Mata mulai awas. Tapi rasanya tempat pemberhentian kok tidak nyaman? Sahid (eh tidak ada halte lagi?), di Indocement/Landmark naik tiga wanita muda berpenampilan manis pakai rok (jauh dari penampilan backpacker gaya saya) (eh kok bis ini cepat berlalu?), pria itu bangkit dan mempersilahkan salah satu perempuan duduk di samping saya. Dua teman wanitanya duduk di kursi sejajar kanan.

(* cerita yg saya tambahkan di dalam kurung, karena saya baru menyadari kondisi pendukung itu terasa aneh, ketika menulis blog ini.. saya jadi curiga apa supir bis sudah bekerjasama?)

Stasiun Dukuh Atas yang biasanya orang banyak turun, ternyata berbeda kondisi di Sabtu sore, tapi rasanya sekitar wilayah itu seorang pria mau turun dari bis. Jletak.. kacamata dilemparkan X/seseorang dari arah belakang. (btw, X pindah ke satu baris belakang), si pria jatuh. Lagi-lagi ujung celana bagian bawah ditarik, lalu X membantu bangkit.

Hah?! Ini sudah pasti komplotan pencopet! Wanita di sebelah saya mencium gelagat tidak menyenangkan. Saya juga memastikan diri turun saat itu juga! Gedung UOB atau batas awal Thamrin atau biasa disebut halte Tosari atau apapun halte harus menjadi perhentian saya. Ternyata (kebetulan) seorang pria dari samping supir turun, saya menyusul, dan wanita sebelah saya ikut bangkit sembari mengisyaratkan teman-temannya untuk turun.

Saya mendekap erat ransel saya dan memperhatikan bagian kaki saya. Ransel pada posisi dada menutup pandangan mata kita ke lantai bawah, tapi dengan melihat modus operandinya, kita harus perhatikan tempat kita melangkah karena bisa-bisa bandit mengeluarkan jurus lempar barang, tarik ujung celana dsb seperti sebelumnya.

Saya turun dari pintu depan dan bergegas menjauh. Saya perhatikan pengamen cilik ikut turun dari pintu belakang bis, tapi saya tidak peduli ketika tiga wanita itu ’menginterogasi’ pengamen cilik. Tidak ingin mendengarkan ceritanya. Saya menatap kopaja, baru nyadar, wauw mengapa di bagian belakang bis rasanya penuh orang berdiri? Padahal saya yang duduk di bagian depan merasa bis itu masih meluangkan banyak tempat untuk orang lain duduk.

Ketika Kopaja Setan itu berlalu, saya menjauh dan jalan pelan-pelan seolah mau masuk ke Jalan Baturaja, dan setelah lewat beberapa menit bis sudah tak terlihat, saya baru berani berjalan kaki menuju Grand Indonesia (GI). Menyusuri jalur yang ada 7-Eleven, menyeberang ke gedung BCA, dan menyusur jalan setapak yang maha lega. Saya shock.. saya seperti keluar dari kotak sempit penantian nasib.

Saya segera mengabarkan kepada Ak, teman yang amazing dengan rencana hunting Jakarta saya, tentang kejadian yang membuat shock tadi. Ak bakal menjemput saya dan makan malam dulu di GI.

Saya juga segera kirim blackberry messenger ke teman saya Ajeng menceritakan hal ini.

Menyusuri jalan setapak yang lega, beraspal mulus, saya jadi teringat kenyamanan jalan kaki negeri Singapura atau Kuala Lumpur Malaysia. Mobil-mobil bagus bersliweran membuat saya membatin, “Pantas saja orang Jakarta berusaha membeli kendaraan bermotor. Karena kendaraan umum tidak menjamin kenyamanan dan keamanan penumpang.”

Dalam hati saya berencana menuju East Mall, areal GI favorit saya, dan membayangkan segera ke toilet umum untuk mencuci muka yang rasanya sudah lengket ini.

Dan ketika sampai di lobby utama East Mall, mata saya nanar : tiga mobil sedan sport terparkir di lobby. Porsche Carrera, Maserati dan satu lagi model sport yang tidak saya kenali (belakangan saya ketahui Mercedes Benz) karena tertutup dua mobil lainnya. 

Asli saya mau mengeluarkan air mata. Jlebbb.. pengalaman saya barusan menaiki transportasi massal rasanya njomplang dan perih ketika memandang tiga mobil jenis Rp 6 miliar keatas terparkir manis di lobby mal kelas atas itu.

Tiga mobil itu menantang gagah bagi mata memandang, menyimbolkan keberhasilan individu membeli kemewahan transportasi Jakarta, berbanding terbalik dengan kami yang bekerja siang malam demi moda angkutan umum recehan yang tidak nyaman dan tidak aman!



Susahnya Nge-bis Nyaman di Jakarta-1

Stresnya Jalanan

Sejak tiga minggu lalu saya tidak ngekos di dekat kantor. Efeknya tentu saja perjalanan kantor-tempat tinggal yang baru memakan waktu lama.

Saya masih jetlag alias kesiangan melulu …. Dan praktis solusi mengatasi keterlambatan beraktivitas dilakukan dengan memilih naik taksi.. Oh no! berat di-ongkos !! *seka keringat*

Saya mencoba melakukan pengenalan lingkungan secara perlahan. Dari mulai rute dekat naik ojek dan bajaj. Lalu Jumat  ini (30/9/2011) saya melakukan persiapan lebih matang. Bangun jam 6 kurang (setelah berkali-kali alarm berbunyi, saya matikan, dan menambah jam tidur).

Saya mulai berangkat dari tempat tinggal jam 8.10 WIB. Naik bajaj menuju Terminal Senen lebih dulu. Lalu pilih rute bis AC Bianglala dan tiba di kantor pada jam absensi 9.29 WIB.

Dan dari kesimpulan perjalanan perdana, saya menjadi sadar mengapa orang Jakarta gampang stres, meledak dan emosian.

Melihat terminal yang kumuh, macet, dan ngetem yang lama, dan di akhir perjalanan saat saya turun di dekat kantor, kondektur berkata : "Kaki kiri dulu sayang...."

Ugh…rasanya ingin memaki : Sompret lu ! tapi yah saya tahan diri karena masih setiap hari membutuhkan bis dan bertemu dengan orang-orang sama. Biarkan kalimat itu bagai angin lalu, daripada membuat emosi diri di pagi hari. 

Wednesday, October 19, 2011

Belajar dari Cara Menkes Memberi Pidato Sambutan yang Menarik

Selasa 18 Oktober 2011 saya datang ke sebuah acara yang berlangsung di kawasan Thamrin Jakarta Pusat. Acara tersebut diselenggarakan oleh sebuah optik  terkemuka di Indonesia dan saya tentu hadir dalam kapasitas sebagai penulis iklan (copywriter). Optik tersebut mengadakan kontrak kerjasama pembuatan advertorial.

Acara berupa donasi kacamata bagi 1000 anak-anak ini dalam undangan ditulis berlangsung dari jam 09.30 pagi, namun ternyata hingga hampir jam 11.00 wib acara belum mulai. Semua sudah gelisah. Tamu-tamu cilik alias murid-murid sudah tampak suntuk dan adapula yang sempat menangis resah sehingga ditenangkan oleh guru. Rombongan anak Sekolah Dasar yang berasal dari Jakarta Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Pusat itu padahal sudah datang dari jam 8.00 wib.

Ngaret terjadi karena menunggu tamu kehormatan yang terdiri dari Menteri Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH dan istri Gubernur DKI Jakarta, Tatiek Fauzi Bowo yang juga menjabat sebagai Kepala Penggerak PKK Provinsi DKI Jakarta, belum juga datang.

Anak-anak media pun mulai bosan. Kami bahkan melemparkan joke mungkin ibu-ibu itu masih sibuk mensasak rambut. Dan ketika rombongan datang tepat jam 11.00 wib, otomatis mata saya mengarah pada kepala. ”Hey.. kedua ibu ini tidak mengenakan sasak atau sanggul tinggi,” batinku.

Kedua ibu berambut pendek. ”Ohhh bukan sasakan dong yaa....”.

Setelah pidato pembukaan dari Lions Club, Menkes Endang Rahayu maju ke podium untuk memberikan kata sambutan. Saya belum pernah meliput acara dengan Menkes ini sebagai pemberi pidato sambutan. Saat melihat parasnya saat maju ke podium, saya membayangkan seorang yang tegas, dan gaya tenang memberikan salam pembuka dan sebagainya hingga Menkes berkata, ”Adik-adik kok wajahnya lesu. Sudah datang jam berapa kesini?”

Anak-anak itu secara polos menjawab nyaring datang pada jam 8.00 wib. Ibu berkacamata itu tersenyum tipis dan berkata, “Maaf tadi saya harus ke Jakarta Timur dulu untuk meresmikan imunisasi campak dan polio. Kalau kacamata ini untuk anak Sekolah Dasar (...dia ingat garis besar Donasi ditujukan bagi anak SD....). Adik-adik sudah dapat imunisasi? Lupa ya karena masih kecil. Bedanya imunisasi ini untuk anak balita. Di rumah coba tanyakan apa adik kecilnya sudah dapat imunisasi itu bedanya kalau campak berbentuk suntikan, sedangkan polio dalam bentuk tetes yang manis rasanya,” suaranya tenang menjelaskan.

Saya pribadi pun menjadi duduk manis menyimak. Sebagai audiens saya tertarik dengan caranya minta maaf atas keterlambatannya dan masuk ke bahasan lain yang membuat kita mulai lupa ‘kesalahan terlambat’ dan menggiringnya ke topik lain yang informatif.

Menkes lalu menyinggung slide presentasi yang ditampilkan sebelumnya, dan menyebutkan kalau gambaran khas tentang anak-anak adalah senyumnya. Kemudian Menkes mengajak anak-anak tersenyum bahkan tertawa memamerkan gigi. ”Tidak ompong ternyata,” kurang lebih dia berkata demikian. Anak-anak ketawa. Apa ini maksudnya menyindir sekedar cari lelucon? Ternyata ibu itu menjelaskan anak berusia kelas 1-2 SD khas dengan 2 gigi besar di depan atau gigi kelinci, sedangkan yang tertawa di hadapannya punya tampilan gigi rapi sehingga dia memperkirakan kelas 4 s/d 6 yang kemudian diamini pihak Optik kalau anak-anak yang hadir duduk di kelas 3, 4, dan 5.

*she got the clue: blend her medicine background into information to the public.

Saya kembali terpesona…. Wanita itu memasukkan informasi yang membuat kita manggut-manggut dan membatin, “panteslah dia mengerti..wong dia dokter,” … intonasi suaranya tegas sekaligus tenang. Dengan artikulasi yang jelas.

Menkes secara akrab menasehati murid sekolah dasar itu resep mata sehat, yaitu agar tidak membaca buku di dalam kondisi pencahayaan ruangan yang kurang.

Ia melanjutkan himbauan kepada guru atau kepala sekolah yang mendampingi murid-murid agar memperhatikan pencahayaan di ruangan dalam kelas. “Jangan memilih cat tembok berwarna gelap, lebih baik warna terang. Hal lain yang bisa diupayakan pencahayaan langsung matahari dan atap tinggi,” katanya.

Endang pun menyisipkan kinerja kementerian dengan mengatakan tahun depan akan memasukkan  penyakit gigi dan mata sebagai salah satu yang dicegah dalam program kampanye promotif dan preventif penyakit tidak menular.
Saya merasa selama berpuluh kali meliput, baru kali menemukan gaya pidato menteri yang rileks, tidak perlu text-minded,  tidak harus angka-angka kinerja perusahaan (kementerian/departemen), dan gaya yang tenang.

Saya membagi pengalaman ini murni karena (merasa) gaya pidatonya bisa menjadi masukan ketika kita menjadi pembicara di depan audiens. Berikut tips yang coba kurangkum:
- Sebagai perempuan tidak perlu bergaya orator berapi-api (karena kodrat perempuan suaranya juga tidak mungkin bariton tinggi menggelegak),
- masukkan humor atau informasi ringan yang mengena,
- sikap diri yang tenang,
- tahu audiens-nya siapa... terlihat Ibu Menteri ini lebih memusatkan pidato kepada audiens cilik yang berada di samping kanan saat ia berdiri di podium. Endang Rahayu menyampaikan informasi yang menarik perhatian anak-anak (baca: audiens-nya) bak guru TK mendongengkan cerita khayal yang bukan pengantar tidur, justru membuat anak menyimak apa akhir dari cerita,
- Dia juga berhasil ‘menyihir’ rekan-rekan lain dari bangku media dan penyelenggara acara. Ingat: fokus pada salah satu sayap peserta tapi sebagai pemberi pidato dia juga sesekali melakukan sapuan mata ke seluruh audiens yang hadir di dalam ruangan.  



(Gambar dikutip dari: SINDO) 

Thursday, October 13, 2011

Perubahan (Oktober 2011)

Blog saya tampilannya beda sejak Rabu lalu (12 Oktober 2011). Sebenarnya karena ‘kecelakaan’, karena Eno yang agak-agak gaptek ini dengan berani-beraninya mengklik suatu pilihan yang kalau diterjemahkan kurang lebih berarti “desain baru”.

Klik.

Abrakadabra…..! Tampilan pun baru. Ciamik! Tapi kaget karena ada format berubah, berantakan, saling menimpa, dan akhirnya saya menghilangkan kolom Jejak Pesan yang difasilitasi oleh oggix.com, semata karena saya bingung mengubah format html.

Saya mengucapkan maaf sebesar-besarnya kepada rekan-rekan yang pernah mengisi di Jejak Pesan…. L … Namun sekiranya blog ini tetap menarik dikunjungi dan dibaca oleh teman-teman pengunjung.


Hidup Memang Dinamis

Tapi hidup memang dinamis, seperti halnya saya juga menikmati perubahan perwajahan blog pribadiku per Oktober 2011.

Blog aura-azzura ini ibarat taman hatiku. Aku tanami cerita, kusiram dengan berbagai kisah (meski tidak setiap hari diperbaharui), dan kesibukan seringkali membuatku tidak mengasuh taman dan dia pun terbengkalai.

Azzura berarti warna biru dalam bahasa Italia, dan kukembalikan blog ke nuansa biru. Sedangkan Aura dalam pengertian bebas sebagai cerminan dari sifat sejati kita setiap saat.

Biru bisa bahagia, bisa pula berarti sedih. Saya membuka blog ini dengan puitis mewakili perasaan diri yang jatuh cinta, patah, jatuh, cinta, cinta, patah…cinta.. dst.. Maka tidak heran di awal-awal blog penuh dengan puisi.

Namun sepertinya kemampuan menggores puisi ini semakin tumpul, terbukti kalau puisi (tags: coretan sastra) semakin berkurang hadir. Hanya saja, saya tetap yakin bahwa kemampuan menulis puisi bisa hadir berkat tekun dilatih…. Cuma keinginan atau diri ini sedang berubah dan meminati hal lain. Konsentrasi ke hal yang satu dan dengan berat memang terpaksa membuat saya melupakan sejenak fokus untuk menjadi peramu puisi.

Saya menikmati dinamisnya hidup saya. Menjalani hidup harus punya tujuan yang ingin dicapai. Seperti mengutip pesan seorang dosen Manajemen Strategi, untuk mencapai tujuan kita harus merumuskan dan mengimplementasikan strategi. Dan strategi itu untuk mencapai sebuah tujuan berjangka pendek, menengah dan panjang.

Dan jangan takut untuk berubah demi mencapai tujuan. Dengan catatan semua perubahan itu positif dan menuju diri yang lebih baik. 

Friday, October 07, 2011

Film Horror Indonesia Dibahas di TIME

Awal pekan saya membeli majalah Time edisi 3 Oktober 2011. Terbungkus rapi dalam plastik, dan berita utama mengangkat topik krisis ekonomi Eropa dengan sudut pandang Jerman sebagai negara pengguna mata uang Euro yang kuat.

Hanya saja baru semalam jelang weekend saya akhirnya bisa membuka majalah tersebut. Menelusuri dari awal halaman, mulai dari melintasi iklan Louis Vuitton dengan Sir Sean Connery sebagai model iklannya, lanjut ke iklan penawaran berlangganan majalah selama 1 atau 2 tahun yang berhadiah sebuah tote bag cantik. (Benar. Saya mengaguminya…).

Lalu sebuah artikel menarik di kolom Dunia justru menarik minat saya. Ternyata siswa di Korsel belajar ekstra keras hingga pemerintah turun tangan men-sweeping lokasi-lokasi untuk menemukan anak-anak yang masih belajar diatas jam 10.00 malam.

Hal ini mereka lakukan demi menembus skor nilai tinggi agar diterima masuk perguruan tinggi prestisius seperti Daesung Institute. Akhirnya metode bimbel atau disebut hagwons menjadi pilihan banyak pelajar. Merasa familiar dengan kondisi negeri kita?

Tapi saya kaget ketika terus membaca majalah dan meneruskan ke halaman belakang, saya benar-benar menemukan artikel tentang Indonesia di majalah publikasi khusus untuk kawasan Asia ini.

Halaman Budaya membahas tentang film horror Indonesia yang memasang artis xxx luar negeri sebagai daya tarik. Tujuannya untuk menghindari sensor dari Islam garis keras maupun lembaga sensor resmi.

Selain itu memasang  bintang BF yang memang profesinya ‘begitu’ lebih memudahkan dalam berpromosi. Ketika telanjang menjadi hal dilarang dan bakal kena gunting penyensoran, maka baju ketat dan bikini diperbolehkan asal berada di lokasi sesuai. Maka film-film semacam ini banyak memunculkan adegan berlokasi di klub malam dan kolam renang.

Saya melahap habis artikel sepanjang 2 halaman itu. Sedikit pusing –bukan karena bahasa Inggris ber-TOEFL ngepas- tapi jika diasumsikan dalam emotikon masam, pikiran saya lebih ke arah, “Beginilah Indonesia dalam sudut pandang negeri di luar sana….”.

Kolom kedua dari tulisan memuat pernyataan K.K. Dheeraj, produser film Rintihan Kuntilanak Perawan, membuat saya tersengat… “I’m in Indonesian movies just for business,” he admits. Bla..bla..bla..

Yap. Setiap bentuk bisnis bertujuan mencari laba. Tapi jangan lupa bahwa bisnis adalah amanah. Orientasi keuntungan (profit oriented) harus. Memuaskan konsumen wajib. Tapi juga ada konsekuensi menyodorkan produk berkualitas pada konsumen.

Dari artikel itu pula saya menjadi tahu kalau Vicky Vette sebelumnya berprofesi sebagai akuntan hingga di usia 30-an hijrah dari Norwegia ke AS untuk menjadi bintang film biru. Kini usianya 46 tahun. Artis lain, Tera Patrick, yang ada di film horror Indonesia usianya saat ini 35 tahun. Seandainya saya adalah produser, pasti memiliki posisi tawar kuat karena bernegosiasi dengan ‘barang lawas’ dan sudah melewati masa keemasan dalam profesinya.

Ohya di bagian akhir tulisan Dheeraj malah sesumbar sedang menyiapkan film berikutnya dengan artis yang lebih ‘wah’. Jika Vicky dan Tera masih seukuran melon, maka yang berikutnya adalah labu siam. Fiyuhhh…..

Saya bukan tiba-tiba jadi pemerhati budaya pop. Cuma saya benar-benar gemas. Film memang berfungsi menghibur. Akan tetapi film sebenarnya cerminan masyarakatnya -meskipun saya tidak merasa terwakili dalam pita seluloid itu- namun akhirnya beginilah potret kondisi masyarakat kita di mata luar. Jika yang punya kekuatan ekonomi dalam membuat film tidak mau beranjak dari pakem wanita berbusana seksi, alur cerita tanpa logika, judul bombastis,…. kapan kita menjadi lebih cerdas???? Sigh…

Tuesday, September 20, 2011

24 Jam yang Tidak Cukup


Now I can't do it for ya, I'm too old. I look around, I see these young faces and I think, I mean, I've made every wrong choice a middle-aged man can make. I've pissed away all my money, believe it or not. I chased off anyone who's ever loved me. And lately, I can’t even stand the face I see in the mirror. (Tony D’Amato – the movie “Any Given Sunday”)


“Semakin tua semakin banyak kehilangan dari dalam diri kita,” demikian lebih kurang terjemahan bebas kalimat yang diucapkan pelatih Tony D’Amato saat membangkitkan semangat anak asuhnya yang tergabung dalam tim football Miami Sharks.

Aktor kawakan Al Pacino yang memerankan D’Amato punya wajah tua yang pas. Tim football yang sudah lama tidak memegang trofi kemenangan. Semua mengisi bagian tentang putaran waktu yang berlalu.

Hidup adalah sebuah buku putih, dan manusia masing-masing memiliki 24 jam sehari untuk mengisinya.

Ada masa ketika kita sibuk dengan sekolah dan bersenang-senang. Lalu berganti masa bekerja sambil bersenang-senang.

Suatu hari, tiba masanya ketika kebutuhan hidup bertambah, bertambah pula upaya kita mencari uang. Sekaligus juga tiba masanya kegiatan diukur dalam parameter materi dan eksistensi diri.

Kemudian tiba-tiba diri ini merasa 24 jam sehari tidak cukup. Bangga terhadap hal yang dilalui, hanya saja kali ini merasa banyak aktivitas yang ingin dikerjakan, namun bertanya: rasanya waktu itu dalam sehari kurang.

Ahya, saya jadi teringat satu lagi ucapan menarik yang kukutip dari film. Kali ini yang mengatakan adalah Carrie Bradshaw, karakter yang diperankan oleh Sarah Jessica Parker di film Sex and the City.

Umur 20 – masa bersenang-senang
Umur 30 – menebus kesalahan
Umur 40 – saya yang membayar

(Lalu Carrie bangkit membayarkan minuman yang dipesan wanita lebih muda yang baru saja diterimanya menjadi personal assistant). 

Yang saya sukai dan mengena dari kalimat ini adalah rangkaian kesuksesan seorang wanita. Dari masanya bersenang-senang dalam konteks menikmati hidup, kemudian memasuki pendewasaan cara berpikir dan perilaku, dan ditopang kemapanan finansial pula :)

Semoga hari-hari yang saya lalui memang selalu diisi hal yang bermanfaat. Hari ini harus lebih baik daripada hari kemarin, dan hari ini adalah persiapan untuk menyambut hari esok. Dengan catatan: meski saat ini saya sedang bekejaran dengan waktu. 





Wednesday, August 31, 2011

Petasan = Bakar Duit


Bogor dini hari ketika tanggalan beralih dari 30 ke 31 Agustus tahun 2011.

Saya sudah merebahkan diri di kasur sementara kaki diselonjorkan dengan kaki sedikit terangkat keatas.

Rasanya badan ini perlu istirahat setelah seharian beraktivitas dalam rangka menerima tamu bersilaturahmi Idul Fitri ke rumah orang tua.

Namun tangan masih iseng membaca BlackBerry Messanger (BBM) sembari memantau linimasa twitter. Tiba-tiba ada posting dengan topik membahas “petasan”.

Hari Lebaran identik dengan petasan. Saat saya kecil pun pernah memainkan kembang api atau melempar petasan banting usai berbuka puasa di bulan Ramadan.

Kini aktivitas itu telah hilang di keluarga. Bahkan kepada keponakan-keponakan tidak pernah diajak bermain kembang api, air mancur, atau mercon. Tidak kenal pula mereka dengan istilah: petasan kentut, cabe rawit, jangwe, petasan 5 sampai 10 bola, atau petasan gangsing.

Kembali ke posting teman saya tadi, pernyataannya lebih kurang menunjukkan keheranannya kepada orang yang menggunakan ratusan ribu hingga jutaan untuk membakar petasan. “Tidak sadarkah ada orang-orang lain yang tidak tahu hari ini mau makan apa karena tidak punya duit,” katanya.

Intinya petasan = bakar duit. Orang selalu mengidentikkan kalimat bakar duit kepada perokok, tapi menurutku derajat membakar duit lebih parah pada orang yang bermain petasan.

Saya sering menemukan perokok ketika menghisap batang rokoknya, membangkitkan impuls syaraf saat mengetik atau menuangkan pikiran. Tapi orang membakar petasan tidak jelas menemukan kenikmatan apa kecuali mendengar ledakan keras dari tersulutnya bubuk mesiu dengan bara api.

Malah beresiko celaka selain memberi polusi suara di malam hari, sehingga rentan disumpahin orang. :p

Saya hanya bisa menghimbau agar rekan-rekan tidak usah bermain petasan. Bahkan walaupun kembang api sekalipun. Tidak usah perkenalkan anak, adik kecil atau keponakannya dengan permainan membakar petasan.

Lebih baik beberapa ribu atau ratus ribu Rupiah uang pembeli petasan dialihkan ke kotak keropak mesjid. Itu bakal memberi pahala ketimbang dimaki-maki oleh orang lain (seperti : saya) di jam 00.36 tak bisa tidur gara-gara mendengar dar.. der.. dor.. petasan meledak di depan rumah.




Sunday, August 14, 2011

Aroma Hujan (Petrichor)


Minggu sore (14/8) jelang magrib, hujan turun di kota Bogor.

Suasana langsung terasa adem.... apalagi belakangan ini panas kemarau terasa memeluk bagi saya, maupun dari keluhan teman-teman.  Belakangan terik mentari terasa garingnya ketika sambil menjalani puasa Ramadan. 

Dan suara azan magrib sore tadi terasa damai berpadu hembusan angin sore, bersatu dengan indra penciuman kita ketika membaui aroma tanah menguar saat air hujan mencumbu permukaan bumi.

Bogor + hujan + permukaan tanah yang kering = aroma hujan … yang kusuka. Bau yang mengendurkan simpul-simpul syaraf dan ingin rebahan sambil dipeluk angin sepoi. Hanya bunyi hujan tanpa ada guntur menyalak atau kilat menyelak langit.

Jadi teringat penjelasan teman saya kalau bau tanah yang khas berasal dari kombinasi dua senyawa geosmin dan methylisobomeol yang tersintesa oleh bakteri tanah.

Nama ilmiah untuk bau hujan yang menyentuh permukaan tanah = Petrichor. 

(Gambar dikutip dari : www.viktr.net)

Wednesday, July 20, 2011

Bikin Advertorial

Membuat advertorial sama kayak pedekate: kenalan, selami dia, penuh semangat menuliskan dia dalam cinta yang kamu mengerti, lalu putus: Tulisan Sudah Tayang.

Akan tetapi bedanya: urusan pedekate cinta tak bisa dipaksa, tapi ide harus bisa dikawin paksa sama deadline :D



Saat Tepat Memilih Cita-Cita

Senin pagi (18/7) saya melakukan wawancara dengan Najelaa Shihab, Head of School Cikal, sebuah sekolah terdiri dari pre school, TK, sekolah dasar dan menengah berlokasi di TB Simatupang, Jakarta.

Sosoknya penuh inspirasi menyegarkan ketika membahas tentang dunia pendidikan. Dan tujuan saya wawancara untuk mengisi satu halaman artikel di majalah berkaitan suplemen menyambut Hari Anak Nasional 2011.

Yang menarik, Najelaa mengatakan sekolah menengah pertama (SMP) adalah saat paling tepat untuk mengeksplorasi minat dan mengasah pengalaman seorang anak yang kelak menentukan profesi di masa depan.

Pada saat sekolah yang umumnya dijalani pada rentang usia 12-15 tahun ini, seorang anak bisa menjawab pertanyaan,  “Apa yang kamu suka?” dan “Apa yang bisa kamu kontribusikan untuk orang lain?”

Dari pertanyaan tersebut, bisa dikerucutkan untuk menemukan minat dia sebenarnya. Lalu nantinya, di sekolah menengah atas (SMA), anak akan lebih matang dengan peminatannya dan tinggal mengasahnya.

Apa yang diucapkan wanita ini seolah : jeder!! Kok benar juga ya…Pertama, ketika baru di SMA kita mengasah minat dan bakat maka waktu sudah terlalu mepet. Periode selama 1-2 tahun untuk menentukan masa depan kita seterusnya?! Ketika masuk jurusan studi dan kuliah tidak sesuai passion bisa berakibat buang waktu dan uang.

Alasan kedua, pada usia sekolah menengah, anak sudah lebih disiplin dalam belajar, mampu belajar independen, dan mulai memperlihatkan peminatan khusus.

Alasan ketiga, saat ini saya bekerja sebagai seorang Penulis di media. Ini sama dengan cita-cita saya saat SMP, saat itu saya ingin menjadi seorang wartawan karena terinspirasi petualangan Tintin, wartawan berjambul dalam komik rekaan Herge.

Lalu saya ingat ketika di SMA saya rajin mencoret-coret puisi, resensi film (karena waktu itu suka malam mingguan nonton midnight yang menyajikan film terbaru di bioskop) dan mencoba kirim ke media (termasuk majalah dinding di sekolah).

Namun, yang harus saya garisbawahi, keputusan saya memilih kuliah di Teknik Geologi, tidak saya rasakan sebagai kerugian waktu dan uang. Mungkin biaya yang dikeluarkan di sekolah teknik (memang) sangat besar. Tapi saya menikmati masa-masa mengecap ilmu di perguruan tinggi sebagai mengasah alur berpikir, logika, dan wawasan. Bidang ilmu kebumian yang kupelajari juga dekat dengan alam di sekitar kita.

Eh, tapi pasti ada anomali atau pengecualian terhadap teori yang dikemukakan diatas.

Hanya saja, pembicaraan bersama ibu Najelaa memetik satu hikmah tersendiri. Seandainya saya menjadi ibu, tentu saya berperan lebih ‘sensitif’ mengenali bakat dan minat anak saya. Sedini mungkin mengenali apa kesukaan anak, dapat menggali potensi dirinya. Apalagi dunia semakin terbuka terhadap keberagaman. Jika dulu profesi dokter, insinyur, atau pegawai kantoran lebih prestise. Kini dunia kreatif bisa memberi kesempatan talenta berkembang dan memperoleh penghasilan memadai dari dunia tersebut.

(Gambar dikutip dari: www.sodahead.com) 

Sunday, July 17, 2011

Mati Ide

Minggu sore ini saya masih duduk di kantor. Jam sudah menunjukkan pukul 17.43 wib.

Benar, hari Minggu pekan ini aku berada di kantorku untuk mengejar tulisan-tulisan yang akan tayang di Suplemen lembar take-out di halaman koran Selasa besok.

Sebagai catatan, saya sudah berhasil menyelesaikan total 4 tulisan. Dengan catatan, satu dari total tulisan sepanjang satu halaman koran.

Fiuh….

Dan dari hasil rapat komposisi halaman, ternyata membutuhkan total 5 tulisan. Berarti ada 1 tulisan lagi dan saya sedang mati ide.

Just thinking… Get thinking.. the idea is…

#deadline

Friday, July 15, 2011

Ikon Badan Langsing

Lupakan Bar Refaeli, kini lirik Cody Young.

Bar Refaeli bertubuh jangkung dan ‘berisi’ di tempat yang harusnya ‘terisi’. Tapi kini muncul Cody Young, model Topshop untuk mempromosikan rangkaian busana 'Prim and Polished'.

Cody Young super kurus, membuat diriku makin harus kerja keras kalau mau menjadikan dara asal Australia ini ikon pelangsingan badan.. ahahahahha..

Ukuran bajunya saja 0 (zero) dan di Inggris size zero sama dengan size 4 (four).

Ketika menatap nanar tampilan Bar Refaeli, maka diri merasa perlu memperbanyak latihan sit up, hitting the gym dengan body combat, dan cardio.

Tapi saat menatap lengkungan pinggang di badan Cody Young… apa era Twiggy kembali lagi? Aih, tapi kudu percaya bahwa: bohay is the sexiest untuk tetap tampil pede :)

Thursday, July 14, 2011

Plastik-Plastik dan Diriku

Saat ini saya sedang merapikan kamar kos untuk pindah tempat. Kamar mungil seukuran lebih kurang 3 x 2,5 meter ini telah menjadi saksi bisu diri saya selama 5 tahun. Mulai dari bangun pagi, berdandan hendak ke kantor, pulang dan kadang masih lanjut mengetik hingga larut malam. Ada juga masanya saya melewatkan hari santai dengan membaca buku sembari mengudap cemilan, atau main game sambil lagi-lagi..mengudap cemilan!

Dari hasil inventarisasi isi kamar yang hendak dibawa pindah, saya tersadar lalu menghitung-hitung berapa banyak barang yang terbuat dari plastik.

Plastik memang mengubah gaya hidup manusia. Sifatnya yang tahan lama, praktis, awet, dan harganya lebih murah -ketimbang misalkan saya harus membeli produk yang sama dari bahan kayu- selain itu plastik juga hadir dalam warna yang menarik.

Di kamar tidur saya ada: lemari plastik satu laci sebanyak 2 buah, lemari plastik dua laci sebanyak 1 buah. Adapula 1 plastik container 50 liter untuk menyimpan baju bersih yang belum disetrika, ember-ember plastik untuk mencuci, hingga yang ‘printilan’ seperti laci tempat simpan aksesori, penganan, dan simpan ATK seperti paper clips, lem, selotep dan sebagainya. Wadah sabun mandi dan tempat khusus untuk menyimpan deterjen, cairan pelembut pakaian, pembersih lantai dan semprotan obat nyamuk.

Belum lagi kotak makanan dari plastik untuk menyimpan susu, havermut, dan gula pasir. Serta botol-botol minum dan wadah simpan air seukuran 1,5 liter.

Saya akui sejak menonton film documenter “An Inconvenient Truth” (2006) dan vonis dokter bahwa saya alergi debu, telah mengubah cara pandang saya dalam beberapa hal.

Misalkan membawa kantong kain besar dan sebisa mungkin menolak kantung plastik belanjaan. Tapi kadang saya butuh benda yang sering disebut kantong kresek itu untuk didaur ulang menjadi kantung sampah anak kos-kosan.

Lemari plastik juga menjadi jawaban penataan ruang kamar bagi anak kos seperti saya atau rumah tangga. Berfungsi sebagaimana lemari kayu dalam harga lebih terjangkau dan langsung jadi. Saya pernah berpeluh keringat selama hampir sejam untuk merakit sebuah lemari kayu teakwood yang dibeli di hipermarket. Memang ketika jadi, ada rasa bahagia dan bangga atas hasil karya, tapi ukuran-ukuran lemari berbahan kayu masih terlalu besar dibandingkan laci plastik.

Laci plastik kecil tersusun dalam beberapa deret juga berguna menyimpan berbagai benda secara terorganisir dan membuatnya tidak berantakan. Tinggal rajin melap debu yang menempel di permukaan.



Wadah Tempat Makan dan Botol Plastik

Saya juga punya koleksi wadah kotak makan dari plastik lumayan banyak. Ketika jalan bersama seorang teman yang juga anak kos, kami tertawa sendiri ketika di pusat belanjaan mata kami tertumbuk pada display yang sama. Iya! Kotak makan dari plastik aneka ukuran.

”Haha…. Ternyata dasar anak kos, ya?! Senang melihat-lihat kotak plastik,” kataku. Dia pun mengamini. “Iya, bisa menyimpan cemilan atau susu.”

Tempat sisa cemilan dan susu biasanya saya pilih yang berukuran langsing memanjang. Sedangkan yang berbentuk kotak roti –bentuknya lebar- gunanya membawa bekal dari rumah. Biasanya berupa potongan-potongan apel, yang dicemil sembari bekerja. Cemilan sehat untuk memperoleh asupan serat harian. Cara ini juga efektif menghindari keinginan ngemil coklat karena pada dasarnya saya adalah sweet tooth, alias si penggemar makanan manis-manis.

Pernah juga sehari ke kantor membawa dua wadah kotak makan. Isinya? Satu diisi buah-buahan. Satu lagi untuk bekal makan siang.

Tak bisa dipungkiri belakangan ini saya menikmati kemudahan belanja makanan secara take away dimasukkan dalam wadah styrofoam. Kehadiran convenient store 24 jam yang marak sekarang ini juga telah menyediakan wadah kertas sekali buang. Simpel sih, tinggal buang ke tempat sampah setelah dipakai. Tak perlu mencuci dan menyimpannya dalam rak khusus.

Tapi artikel ilmiah popular yang kubaca di media, membuatku ngeri. (Link rujukan: http://www.earthresource.org/campaigns/capp/capp-styrofoam.html). Styrofoam atau dalam bahasa indutri disebut Polystyrene dibuat dari kopolimer styrene turunan dari bahan bakar minyak bumi. Karena ringan, hampir 95 persen berupa material udara,  bahan styrofoam banyak digunakan untuk mengemas makanan/minuman karena minim kebocoran, ringan, dan mampu mempertahankan panas dan dingin namun tetap nyaman dipegang.

Kelebihan lain dari bahan tersebut juga mampu mempertahankan bentuknya saat dipegang, mempertahankan kesegaran isi dan bentuk bahan yang dikemas.

Malah menurutku, ketika lahan hijau semakin menyempit seperti sekarang ini, styrofoam berbiaya lebih murah dan mudah didapat ketimbang pedagang harus mencari pasokan daun-daun pisang sebagai pembungkus makanan.

Namun aspek keamanan  styrofoam terhadap kesehatan mulai dipertanyakan. Juga menimbulkan masalah dalam proses daur ulangnya dan mencemari lingkungan.

Bahan baku polystyrene adalah styrene, yang bisa menimbulkan iritasi kulit, mata, saluran pernafasan, dan masalah pencernaan. Paparan terlalu banyak bisa menimbulkan depresi, sakit kepala, badan terasa letih dan lesu, bahkan yang kondisi ekstrim berupa gangguan ginjal dan darah.

Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI Jakarta, Ubaidillah mengatakan styrofoam mengandung dioctyl phthalate (DOP) yang menyimpan zat benzene, suatu zat kimia yang sulit dihancurkan oleh sistem pencernaan d tubuh manusia (Koran Republika, 16 Oktober 2010, “Demam Styrofoam!”). Benzene ini sulit dikeluarkan melalui feses (kotoran) atau urine (air kencing) sehingga zat ini semakin lama semakin menumpuk dan terbalut lemak. Inilah yang bisa memicu munculnya penyakit kanker.

Selain berefek pada kesehatan, styrofoam yang juga sama seperti bahan dasar plastik, tidak dapat diuraikan secara alami, sehingga semakin lama styrofoam dan sampah plastik menumpuk dan bisa mencemari air dan tanah. Artinya, tidak lumat di dalam tanah dan di air pun mengambang. Tak jarang benda ini menyangkut di tubuh hewan atau –lebih parah- masuk ke saluran pencernaan dan membuatnya mati. 

Proses pembuatan styrofoam sendiri sebenarnya terbuat dari styrofoam lama yang dihancurkan dan diproses sedemikian rupa menjadi styrofoam baru dan digunakan kembali menjadi wadah makanan dan minuman.

Proses daur ulangnya sendiri juga bisa mencemari lingkungan. Biro Pusat Standar Penelitian Kebakaran Nasional (National Bureau of Standards Center for Fire Research) di Amerika Serikat menyebutkan proses pembuatan styrofoam menimbulkan bau tidak sedap yang mengganggu pernafasan, limbah padat dan cair, serta melepaskan 57 zat berbahaya ke udara.

Oleh karenanya Lembaga Perlindungan Lingkungan (EPA) mengategorikan proses pembuatan styrofoam sebagai penghasil limbah berbahaya terbesar ke-5 di dunia.

Jangan mencoba memanaskan makanan dikemas styrofoam ke dalam microwave, karena dapat melepaskan bahan kimia yang berbahaya bagi tubuh dan sistem reproduksi manusia.

Selain wadah makanan, plastik juga muncul sebagai bahan kemasan air minum. Bukan seperti termos air kayak zaman saya kecil, kini di toko banyak menjual botol minum yang bisa diisi dalam beberapa ukuran standar. Misalkan ada yang 250 ml, 500 ml, 600 ml, atau 1 liter. Ini membuat pengguna dapat mengukur asupan air minum ke dalam badan sudah sesuai bahkan melampaui anjuran kesehatan.

Menurut Institute of Medicine menyarankan pria dewasa untuk mengkonsumsi 3 liter (13 gelas) dan perempuan mengkonsumsi 2,2 liter (9 gelas) dari total minuman dalam sehari.

Selain itu disarankan agar botol plastik kemasan air mineral hanya dipakai satu kali. Sebagai contoh ambil botol air mineral merek Aqua 1500 mililiter (ml), dan balikkan pantat botol ke arah mata memandang. Ada lambang segitiga dengan angka 1 terdapat di dalam segitiga. Ini artinya botol kemasan tersebut hanya boleh digunakan 1 kali.

Ketika sedang semangat cinta lingkungan dan berolah fisik di gym, saya sengaja membeli sebuah botol minum plastik berwarna oranye berkapasitas 500 ml.

Namun botol oranye saya dijuluki dot bayi raksasa. Lalu lihat teman-teman di gym rata-rata membawa botol air mineral dalam kemasan. Saya pikir, “Ohyaya, simpel juga. Saya tahu takaran minum sekaligus ga perlu mencuci botol,” kataku dalam hati.

Suatu hari sepulang kerja, saya pun membawa botol air mineral yang sebenarnya sudah isi ulang dari dispenser kantor ke tempat latihan..(ups!)….. Saya meletakkan  di tempat yang biasanya rekan-rekan menaruh botol, saya hafalkan posisi dan merek botol mineral. Apalagi saat itu yang sedang berlatih kurang dari jumlah hitungan jari tangan.  Setelah bersepeda statis 30 menit, banjir keringat dan kehausan, perlu melepas dahaga. Eh tau-taunya botol minum saya hilang. Hmm, pasti ada yang salah mengira itu botol air mineral miliknya. Enggan juga bertanya ke orang yang saya lihat sedang meminum botol mineral yang saya kenali. Akhirnya saya minum dari gelas plastik yang tersedia di gym. (Malas sebenarnya karena membayangkan digunakan oleh banyak orang dan tidak jelas bagaimana cara mencuci gelas plastik tersebut).

Sejak kejadian itu, saya kembali menggunakan botol minum plastik berwarna oranye menyala. Dijamin tidak hilang karena lain daripada yang lain.


Bijak Memanfaatkan

Praktis sering menjadi alasan untuk menggunakan kantong plastik, kotak styrofoam dan menggunakan botol air minum dalam kemasan berulang kali.

Sebenarnya kerepotan yang saya rasakan dalam membawa bekal dari rumah, adalah menyediakan waktu khusus untuk menyiapkan bekal dan ruang di dalam tas untuk membawanya ke kantor. Cara mengakali tentu dengan semangat menyediakan waktu hanya beberapa menit untuk mengemas buah-buahan ke dalam wadah. Selain itu membawa jinjingan satu kantung kain, diluar tas kantor, untuk membawa kotak makan.

Di tempat baru nanti, saya berjanji lebih rajin menyiapkan bekal makan siang ke kantor. Di kos sekarang ini memang kesulitan di urusan dapur, paling-paling bisa membawa nasi putih dicampur abon. Dari meluangkan waktu sesekali, mungkin bakal terbiasa membawa penganan sendiri setiap hari. Membawa bekal sendiri dari rumah tentu lebih sehat, higienis, sesuai selera, dan bisa lebih hemat.

Selain itu saya harus meningkatkan diri menjadi Smart Shopping, yaitu berbelanja secara bijak dengan membawa wadah plastik khusus untuk membawa bahan makanan atau minuman, atau menyimpan makanan jadi dari toko. Sehingga, kesegaran bahan-bahan makanan akan tetap terjaga tanpa menggunakan plastik atau styrofoam sekali pakai. Bahan-bahan makanan dan minuman serta makanan jadi pun bisa langsung disimpan pada tempatnya.

Tentu saya dan kita semua tidak mau kepraktisan dalam jangka pendek, dibalas dengan ancaman kesehatan dan masalah sampah jangka panjang.  Data dari Deputi Pengendalian Pencemaran Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) menyebutkan, setiap individu rata-rata menghasilkan 0,8 kilogram sampah dalam satu hari di mana 15 persennya adalah kemasan sekali pakai. Jika kita asumsikan ada sekitar 220 juta penduduk di Indonesia, maka sampah kantong plastik yang tertimbun mencapai 26.500 ton per hari; sedangkan jumlah timbunan sampah nasional diperkirakan mencapai 176.000 ton per hari. 

Jumlah ini baru di Indonesia saja yang memiliki penduduk terbanyak ke-5 sedunia. Bayangkan saja sumbangan sampah plastik dari negara Cina, Amerika Serikat, India dan negara-negara lain.
                                                                                   
Ini artinya timbunan sampah plastik secara global bakal menimbulkan masalah dalam lahan pembuangan. Dan ingat, plastik membutuhkan waktu lama untuk hancur. Kita perlu menonton dan mengambil hikmah dari “Wall-E” ketika di masa mendatang bumi tertutup timbunan sampah tak bisa didaur ulang. Film kartun yang lucu, menghibur tapi patut direnungi. 

(Gambar dikutip dari: wired.com; jepretan sendiri)