Friday, October 07, 2011

Film Horror Indonesia Dibahas di TIME

Awal pekan saya membeli majalah Time edisi 3 Oktober 2011. Terbungkus rapi dalam plastik, dan berita utama mengangkat topik krisis ekonomi Eropa dengan sudut pandang Jerman sebagai negara pengguna mata uang Euro yang kuat.

Hanya saja baru semalam jelang weekend saya akhirnya bisa membuka majalah tersebut. Menelusuri dari awal halaman, mulai dari melintasi iklan Louis Vuitton dengan Sir Sean Connery sebagai model iklannya, lanjut ke iklan penawaran berlangganan majalah selama 1 atau 2 tahun yang berhadiah sebuah tote bag cantik. (Benar. Saya mengaguminya…).

Lalu sebuah artikel menarik di kolom Dunia justru menarik minat saya. Ternyata siswa di Korsel belajar ekstra keras hingga pemerintah turun tangan men-sweeping lokasi-lokasi untuk menemukan anak-anak yang masih belajar diatas jam 10.00 malam.

Hal ini mereka lakukan demi menembus skor nilai tinggi agar diterima masuk perguruan tinggi prestisius seperti Daesung Institute. Akhirnya metode bimbel atau disebut hagwons menjadi pilihan banyak pelajar. Merasa familiar dengan kondisi negeri kita?

Tapi saya kaget ketika terus membaca majalah dan meneruskan ke halaman belakang, saya benar-benar menemukan artikel tentang Indonesia di majalah publikasi khusus untuk kawasan Asia ini.

Halaman Budaya membahas tentang film horror Indonesia yang memasang artis xxx luar negeri sebagai daya tarik. Tujuannya untuk menghindari sensor dari Islam garis keras maupun lembaga sensor resmi.

Selain itu memasang  bintang BF yang memang profesinya ‘begitu’ lebih memudahkan dalam berpromosi. Ketika telanjang menjadi hal dilarang dan bakal kena gunting penyensoran, maka baju ketat dan bikini diperbolehkan asal berada di lokasi sesuai. Maka film-film semacam ini banyak memunculkan adegan berlokasi di klub malam dan kolam renang.

Saya melahap habis artikel sepanjang 2 halaman itu. Sedikit pusing –bukan karena bahasa Inggris ber-TOEFL ngepas- tapi jika diasumsikan dalam emotikon masam, pikiran saya lebih ke arah, “Beginilah Indonesia dalam sudut pandang negeri di luar sana….”.

Kolom kedua dari tulisan memuat pernyataan K.K. Dheeraj, produser film Rintihan Kuntilanak Perawan, membuat saya tersengat… “I’m in Indonesian movies just for business,” he admits. Bla..bla..bla..

Yap. Setiap bentuk bisnis bertujuan mencari laba. Tapi jangan lupa bahwa bisnis adalah amanah. Orientasi keuntungan (profit oriented) harus. Memuaskan konsumen wajib. Tapi juga ada konsekuensi menyodorkan produk berkualitas pada konsumen.

Dari artikel itu pula saya menjadi tahu kalau Vicky Vette sebelumnya berprofesi sebagai akuntan hingga di usia 30-an hijrah dari Norwegia ke AS untuk menjadi bintang film biru. Kini usianya 46 tahun. Artis lain, Tera Patrick, yang ada di film horror Indonesia usianya saat ini 35 tahun. Seandainya saya adalah produser, pasti memiliki posisi tawar kuat karena bernegosiasi dengan ‘barang lawas’ dan sudah melewati masa keemasan dalam profesinya.

Ohya di bagian akhir tulisan Dheeraj malah sesumbar sedang menyiapkan film berikutnya dengan artis yang lebih ‘wah’. Jika Vicky dan Tera masih seukuran melon, maka yang berikutnya adalah labu siam. Fiyuhhh…..

Saya bukan tiba-tiba jadi pemerhati budaya pop. Cuma saya benar-benar gemas. Film memang berfungsi menghibur. Akan tetapi film sebenarnya cerminan masyarakatnya -meskipun saya tidak merasa terwakili dalam pita seluloid itu- namun akhirnya beginilah potret kondisi masyarakat kita di mata luar. Jika yang punya kekuatan ekonomi dalam membuat film tidak mau beranjak dari pakem wanita berbusana seksi, alur cerita tanpa logika, judul bombastis,…. kapan kita menjadi lebih cerdas???? Sigh…

No comments: