Friday, November 18, 2005

Syair Tengah Malam

Cinta itu meneduhkan
Bukan pedang terhunus
Bagai kobaran api menyala,
Ia penerang, bukan membakar

Cinta sebenarnya tidak menyakitkan
Namun bila demikian adanya,
Lebih baik engkau lari ke altar Dia
Memohon agar jadikan cinta itu abu,
Dan terbang terbawa angin

Thursday, November 17, 2005

Atas Nama Kerelaan (Atas Nama Cinta?)

Suatu sore di suatu tempat. Dua perempuan saling memandang. Satu pihak menjadi konsultan, pihak lain menjadi orang yang berkonsultasi.

“Tuhan baik kepada Mbak. Kalau Mbak dengan Mas, Mas main tangan yang dapat berakibat buruk pada Mbak,” kata konsultan yang berinisial L tersebut.

“Tapi saya ingin bersamanya!” cetus wanita yang berkonsultasi. Wanita yang menjadi orang yang berkonsultasi merasa dadanya sesak ketika L mengucapkan kata-kata tersebut sembari mengelus pipinya sendiri.

“Lebarkan sayap. Masih ada orang lain yang menyukai Mbak (dan tidak dengan cara Si Mas).”

Mata wanita yang berkonsultasi itu berkaca-kaca.

“Tapi kalau itu agar saya tersadar akan kesalahan saya?”

L menatap lurus ke mata A. A, wanita yang berkonsultasi itu, lalu berbicara. Namun lebih kepada dirinya sendiri.

“Tuhan, kalau saya rela diintimidasi, rela diremas jemarinya dengan keras seraya mendengar dia berbisik,’kamu jangan berbuat kayak begitu lagi ya,’ rela menjadi obyek posesif, apakah Mas boleh menjadi milik saya?”

“Tuhan, kalau saya rela diperiksa handphone pribadiku, dibaca sms, address book, dan segala yang ada didalamnya, apakah artinya Mas kubahagiakan?”

“Tuhan, kalau saya rela menangis di sudut kamar ketika yang lain sudah terlelap, apakah Mas boleh menjadi milikku selamanya?”

“Tuhan, kalau saya rela menunggunya disaat Mas sibuk bekerja, rela disentuh dengan cara yang sebenarnya tidak kusuka, rela mengikuti kemauannya, rela bersabar ketika Mas sedang bad mood, mengapa Mas tetap merasa kurang?”

“Tuhan, kalau saya rela berubah demi Mas, mengapa Mas tetap tidak terpuaskan?”


Tak ada jawaban. Tak ada keajaiban seperti di film atau dongeng.

Wanita berinisial A meraih handphonenya. Mengakses layanan horoskop.


ASTROLOGI HARI INI :

CINTA :
Kamu jgn selalu yg berkorban krn didlm suatu hubungan hrs ada keseimbangan, & kamu terlalu banyak memberi. Rubahlah sikap itu.


Tiba-tiba A ingat sosok lembut yang senantiasa ada untuk dirinya. Sosok setengah abad yang selalu memeluk dan membelainya saat ria, badai, menghampiri dirinya. Sosok yang tidak pernah pamrih meski pernah dibohongi, dibantah, ataupun dilawan. Sosok tersebut pernah mengatakan, “Kamu disayang seluruh keluarga. Ibu tidak mau justru orang lain menyakiti kamu.”

A memencet beberapa tombol angka di handphonenya.

“Bu, ini Ade. Kangen dan ingin pulang.”

Suara di ujung sana menyambut lembut. (pembicaraan pribadi). Dengan suara lirih, pelan, Ade menyambung ucapan, “.....mmm, Iya. ada yang mau Ade ceritakan.”


[PS : Ini cerita khayal – tapi mungkin ada yang pernah mengalami hal semacam ini? Wanita yang bukan penggemar disakiti, bukan sadomasokis, tapi rela berkorban atas nama cinta]

Wednesday, November 09, 2005

Si Romantis Sejati

"Cinta itu seperti lautan. Ia adalah benda yang bergerak, dan ia berbeda di setiap tepian"

kalimat diatas kukutip dari blog teman. Aku merasa kata-kata yang terangkum didalamnya tepat. Atau, dengan kata lain, mewakili perasaan saya saat ini.

Atau karena saya “si romantis sejati.” Saya tidak mau membahas lebih lanjut makna kutipan diatas dengan perasaan saya saat ini. Cuma saya ingin mengakui, kalau “Saya gampang jatuh cinta.”

Positifnya, berpengaruh pada pancaran muka saya. Katanya, saya “sangat cerah,” “tersenyum,” “selalu dandan.” Istilahnya, cinta = doping hidup saya. Sama halnya dengan sebatang coklat, atau secangkir kopi.
Tapi negatifnya, kalau jadi melankolis dan emosi tidak stabil.

Bentuk perhatian seperti kado, sms, dan ucapan menyanjung atau genggaman tangan, masih penting bagi saya. Film-film Holywood seperti : American Sweethearts, French Kiss, ……menina bobokkan saya.
Padahal, kisah cinta saya sampai sejauh ini belum happy end.
Tapi saya percaya, saya ini adalah pemeran utama wanita dalam suatu sekuel drama. Cuma pemeran utama pria belum ada yang bertahan. Bergonta-ganti. Dengan menyuguhkan cerita yang berbeda. Dan, belum akan tamat sebelum waktu saya habis di dunia ini.


I’m not looking for someone to talk to
I’ve got my friend, I’m more than O.K.
I’ve got more than a girl could wish for
I live my dreams but it’s not all they say
Still I believe (I’m missing) I’m missing something real
I need someone who really sees me

Don’t wanna wake up alone anymore
Still believing you’ll walk through my door
All I need is to know it’s for sure
Then I’ll give all the love in the world
(All the Love in the World – The Corrs)

Aku dan Minyak Bulus

Pagi tadi saya bangun dengan mencium bau amis.
Baru ingat, semalam sebelum tidur, saya mengoleskan minyak bulus di bawah mata (kantung mata). Maklum, bayang-bayang hitam dan kerut mulai muncul disana. Entah karena pola hidup saya yang tidak sehat atau karena waktu mulai tidak bersahabat dengan diriku. Aging...Tanda-tanda penuaan. Hehe..

Tapi, ya ampun. Minyak bulus!
Iya bener. Minyak bulus dipercaya bisa mengencangkan kulit wajah, menghaluskan kulit badan lainnya, membuat kencang payudara, atau bikin gede “anu” pria...
Saya sudah mendengar dan mempraktekkan dari zaman kuliah. Kalau ‘p’ saya indah (sejauh ini, menurut saya sendiri lho) maka terima kasih kepada para bulus.

Minyak bulus keluaran 2 buah perusahaan kosmetik yang –katanya- mengusung nilai-nilai tradisional, sudah pernah saya coba. Baunya enak. Tapi...itu dulu banget. Seperti saya katakan diatas, waktu zaman kuliah.

Nah, yang semalam saya pakai itu produk bukan merek terkemuka. Mungkin istilahnya produk rumahan skala usaha kecil dan menengah (UKM). Saya beli saat berada di Yogya beberapa bulan lalu di toko batik. Sebotol kecil harganya tidak lebih dari Rp. 10.000,-.

Botol disegel. Jadi saya tidak tahu kalau baunya amis. Ingat bau di pasar tradisional? Seperti itu bau yang tercium dari minyak bulusnya. Sampai-sampai ‘nempel’ di baju, dan kalau dicuci, baju tersebut perlu direndam lama serta dibilas dengan pewangi pakaian. Beda dengan 2 produk yang pernah saya coba sebelumnya. Tapi, jadi yakin kalau itu asli.

Hanya saja, terbayang tidak, minyak bulus itu berasal dari hewan bulus (penyu). Dan untuk mendapatkan minyaknya, hewan itu harus dibunuh. Padahal, penyu adalah hewan langka dan dilindungi. Sudah dibunuh, harga jualnya tidak lebih dari Rp. 10.000,- seperti yang saya dapatkan di Yogya tadi.

Saya penyayang binatang. Pernah memelihara kucing, anjing, dan yang masih hidup sekarang ini adalah burung.

Waktu kecil saya penggemar telur penyu. Tetapi sejak menyadari dengan mengkonsumsi, maka secara tidak langsung saya melakukan genosida terhadap ‘generasi penerus’ penyu, saya tidak mau makan lagi.

Akan tetapi, bagaimana dengan minyak bulus?
Bagaimana dengan lipstik? Lemak ikan paus, katanya, dipergunakan untuk menghasilkan lipstik yang berminyak dan tidak mengeringkan bibir.
Aduh, kalau sudah berurusan dengan kecantikan, rasanya saya dan sebagian besar kaum hawa di dunia ini menjadi sadis.