Tuesday, February 14, 2012

Whitney Houston dan The Greatest Love of All

Minggu pagi sambil sarapan di hotel tempat menginap di Medan, iseng saya mencek timeline (TL) Twitter.

Berita meninggalnya penyanyi Whitney Houston itu menebar di sepanjang layar gadget saya gerakkan atas maupun ke bawah. Benarkah? Meninggal di usia 48 tahun terhitung masih terlalu muda untuk menutup catatan kehidupan.

Penyanyi bersuara 5 oktaf ini ini sangat terkenal pada era 80-90an. Namun tragisnya berita-berita terakhir bukan tentang prestasi menyanyi atau main film. Justru sepurta masalah yang membelit mulai dari perceraian, ketergantungan obat bius, hingga bangkrut.

Oke, saya skip berpanjang lebar tentang berita kematiannya pada Sabtu 11 Februari lalu karena kita bisa membaca dan menonton melalui berita-berita di media cetak dan elektronik.

Saya bukan penggemar berat namun dalam catatan ingatan saya ada dua lagunya yang ternyata sebagai pembangkit motivasi diri ini.

Pertama kali menyimak lirik lagu “The Greatest Love of All” saat masih bocah cilik belajar bahasa Inggris. Saat itu saya penyendiri dan sebagai bungsu terbiasa semua ada. Ada supir antar jemput, ada pembantu mengurus kebutuhan, ada kucing teman bermain, tidak punya masalah dalam mengikuti pelajaran di sekolah.

Tetapi ketika pindah dari kota kecil ke ibukota, saya mengalami yang namanya ‘belajar berteman’ dan itu rasanya susah banget. Saya tidak mau menyapa bukan karena sombong, tetapi karena malu.

Soal pelajaran, ternyata persaingan kecerdasan sangat kompetitif di tempat baru. Lalu mulai menyadari bahwa wajah menarik adalah titik perhatian orang lain. Dan sebagai anak berwajah biasa-biasa membuat rasa rendah diri makin dalam.  

Lagu The Greatest Love of All sebenarnya lagu lawas. Dibuat oleh Michael Masser dan Linda Creed dan dinyanyikan pertama kali oleh Jane Olivor kemudian George Benson pada 1977.

Tapi lagu tersebut memang terkenal saat dinyanyikan oleh Whitney yang menurutku saat itu gayanya sangat serius. Dalam pikiran saya, “Kok penyanyi Amerika cara menyanyinya sama kayak saya atau teman-teman kalau menyanyi di kelas sih: berdiri tegak.” Karena menurut saya kalau penyanyi luar negeri misalkan kayak Madonna yang lincah dan dandanannya ramai.

Lagunya pun bukan bikin loncat menari. Namun ketika menyimak lirik lagunya sambil sesekali mencari padanan bahasa Indonesia di kamus pada kata yang tidak dimengerti, lagu dan lirik sangat menancap di hati saat mendengarnya.

Lirik lagunya silahkan cari sendiri dengan berselancar di internet, namun ada bagian yang paling saya sukai: I decided long ago, never to walk in anyone’s shadows, If I fail if I succeed, At least I live as I believe, No matter what they take from me, They cant take away my dignity……(garis bawahi kata Dignity).

Lirik yang membangkitkan rasa percaya diri seorang anak yang menghadapi masa pubertas atau peralihan dari anak kecil menjadi remaja. Ingat bahwa kamu bukan bayang-bayang kakak-kakak, siapa ayah atau ibumu, dan intinya semua karena kamu harus usahakan. Mungkin lagu ini akan saya sarankan jika kelak saya memiliki anak.

Sedangkan lagu kedua penuh inspirasi berupa duet Whitney Houston dengan Mariah Carey, “When You Believe” … when you believe somehow you will, you will when you believe --- prinsip The Secret. Percaya dengan kemampuan dan mimpi-mimpi yang kamu buat, maka ada jalan terbuka untuk merealisasikannya.

Hingga saat ini televisi dan media online masih terus mengembangkan berita seputar akhir hidup Whitney Houston, seorang diva musik pop yang memang tragis dan ironis. Lagunya tidak memberi enlightenment bagi dirinya. Tapi tentu saja lagu dan suaranya tetap dikenang, bisa memberi inspirasi dan memberi jalan terang bagi orang lain.