Monday, October 20, 2014

Miskomunikasi Kata


Suatu Minggu siang di halte Transjakarta Salemba UI.  Saat itu tengah hari bolong di suatu musim panas. Suasana di dalam halte relatif sepi, hanya ada dua orang petugas karcis di dalam loket, beberapa penjaga plang pintu dan nyaris tidak ada penumpang lain sedang menunggu TransJakarta.

Saya bertanya ke salah seorang bapak penjaga palang  pintu.

“Pak, ada yang ke Atrium Senen?”

“Ada. Nanti naik aja bis yang abu-abu panjang.”

Oke. Saya pun masuk setelah kartu e-money berhasil diproses di mesin pembaca kartu. Menanti tidak pasti memang bikin resah. Saya pun tidak sabar setiap kali ada busway abu-abu berhenti. Sebagai bukan pengguna rutin moda bus khas ibukota ini, tapi definisi “yang panjang” tidak tergambar jelas di benak ini.

Setiap TransJakarta berhenti di halte, saya akan bertanya ke kondektur bus yang biasanya akan berdiri di samping pintu bus TransJakarta saat pintunya terbuka. Dan jawabannya cuma pendek, “Bukan.”

Sudah dua bus abu-abu berlalu dan bukan “si panjang”. Lalu dua remaja putri yang berpenampilan meyakinkan, definisi ‘meyakinkan’ bagi saya: sepertinya sudah pakar dengan moda transportasi TransJakarta.

“Mbak, kalau yang ke Atrium Senen yang mana ya?”

“Oh yang bus-nya cakep, mbak”

(melongo)... Ini rasanya makin blunder, batinku.

Akhirnya, TransJakarta merah-kuning (yang belakangan saya ketahui menuju Gunung Sahari-Mangga Dua) lewat, dan ketika saya mengajukan pertanyaan sama, mbak petugas pintu di dalam busway menarik saya dan mengatakan nanti turun saja di Halte Senen untuk kemudian berganti dengan yang ke arah Atrium Senen.

Dan....akhirnya setelah turun di Halte Senen Sentral, saya pun mengerti yang dimaksud ‘si abu-abu panjang’ adalah TransJakarta berwarna  abu-abu berbentuk bus gandeng.


*tepok jidat* Hadeh, ternyata miskomunikasi kata nih.. akibat asumsi dan pemahaman yang tidak berada dalam satu jalur yang sama :D