Thursday, July 29, 2010

Media, Seminar, Informasi


Tulisan ini berdasarkan pengalaman yang saya alami pada Sabtu 24 Juli lalu, di sebuah seminar. Mungkin masih ada penyelenggara/panitia seminar yang bingung menghadapi kedatangan seorang penulis dari media.


Seorang jurnalis/penulis biasanya menjadikan seminar sebagai suatu ajang berkenalan atau kesempatan bertemu dengan narasumber, memperoleh informasi terkini, dan menambah wawasan di suatu bidang.

Sehingga ketika kami pertama kali membaca suatu acara seminar yang biasanya dipublikasikan di media massa atau elektronik, atau memang ada undangan dikirim ke redaksi, maka di otak kami akan segera melihat judul seminar, apa materi presentasi dan siapa tokoh yang berbicara, lalu kira-kira apakah topik sesuai dengan bidang liputan yang digarap. Tentu saja lokasi dan waktu acara menjadi pertimbangan.

Seperti Sabtu kemarin saya datang ke acara seminar yang diselenggarakan di suatu perguruan tinggi yang berlokasi di Depok. Seminar ini menyajikan tema peran profesi X di era pasar bebas AFTA. Suatu topik yang rasanya cukup menarik karena saya kebetulan akan membuat artikel tentang profesi dan kebutuhan sumber daya manusianya.

Sebenarnya bagai orang mau kulo nuwon ke hajatan seseorang, sehari sebelumnya saya mengirimkan surat elektronik berisi keinginan untuk datang dan konfirmasi ke alamat e-mail panitia yang tertera di iklan seminar tersebut. Iklan itu terdapat di dalam website perguruan tinggi terkait. (Tapi ternyata memang baru sampai di hari Minggu …thanks to office network*lemot’mode’on*).

Kemudian di hari-H saya pun datang ke tempat acara seminar sekitar pukul 09.00 wib. Di depan pintu saya disambut oleh panitia dan saya pun memperkenalkan diri dari institusi media dan menyampaikan maksud ingin mengikuti seminar tersebut.

“Tapi berarti mbak kan mau meliput?” kata panitia perempuan yang mengajak saya bicara.

Di otak saya segera melintas definisi “meliput” berarti saya akan mengulas acara seminar ini.

“Iya saya masih mencari informasi, mbak,” balas saya kepada panitia berjilbab berperawakan padat tersebut. Ini jawaban standar pula karena kami para jurnalis biasanya malas menerima pertanyaan beberapa hari atau minggu kemudian dari penyelenggara acara, apakah liputan sudah naik cetak atau belum. Ini secara tidak langsung membebani perasaan seolah suatu acara yang didatangi sudah pasti layak muat.

“Tapi mbak, kami sudah punya media partner,” balasnya.

Lha…!

Memang suatu seminar membutuhkan dana dan publikasi. Makanya panitia menggandeng sponsor acara untuk memberikan dana berupa uang tunai maupun non tunai, termasuk punya media rekan kerjasama sebagai tempat mempublikasikan acara guna menggaet peserta seminar. Media partner ini biasanya juga akan memuat liputan dari penyelenggaraan acara. Tapi bukan berarti seminar itu menjadi privilege media partner sehingga wartawan media lain tidak boleh datang dan meliput selama kegiatan berlangsung.

Akan tetapi, saya rasanya lebih terbiasa jika panitia minta kartu nama atau silahkan juga jika ingin melihat ID-card (meskipun yang ada cuma ID-card untuk absensi kantor). Seandainya saya menjadi panitia acara, ini adalah cara sopan atau tersamar untuk mengetahui apakah orang di depan saya adalah jurnalis benar atau gadungan.

Atau mendengar pertanyaan penyelenggara acara, “Oh, Mbak/Mas dari media ini ….. Kenal sama mbak Y? (atau mas X masih disana?)”

Nah, biasanya jurnalis yang ditanya akan menjawab misalkan bahwa nama tersebut sudah pindah ke desk liputan lain atau mengakui dirinya anak bawang sementara nama yang disebutkan panitia adalah senior.

Tapi memang saya dipersilahkan untuk mengikuti kegiatan seminar. Lalu saya pun duduk di kursi baris belakang. Ahya, kursi baris belakang favorit para wartawan karena dekat dengan pintu keluar. Ketika kami merasa bahan tulisan sudah cukup maka kami bisa berlalu pulang dengan mudah tanpa mendapat pandangan mata dari peserta lain. Alasan lain duduk di baris tepi supaya gampang mencegat pembicara keluar ruangan.

Saat itu presentasi sedang berlangsung…dan voila, kuping saya mendengar penyaji materi mengucapkan kalimat, “Kompetensi yang dibutuhkan seorang (profesi) di saat ini ….” wauw pas dengan hal yang saya butuhkan. Saya pun segera sibuk mencatat, tapi tiba-tiba seseorang menyapa saya, “Maaf kursi paling belakang ini untuk panitia,” seorang perempuan panitia berambut lurus sebahu berperawakan ramping berkata demikian. Suaranya sopan dan ramah, tapi tetap saya setengah tidak percaya dengan perkataan wanita tersebut. Muka bengong saya membuat dia kembali mengeluarkan kata-kata yang kurang lebih sama.

“Tapi gapapa kan saya disini dulu? Oh ya kalau memang saya diusir suruh pindah juga bilang saja,” kata saya seraya melihat sisi kiri kanan bangku sederetan yang masih kosong melompong. (memancing bad mood di pagi hari ….)

Akhirnya perempuan itu mengiyakan dan berlalu. Selama mengikuti presentasi saya menyapu pandangan, dan melihat pria maupun perempuan berdiri di pinggir ruangan dalam jumlah cukup banyak dan tersebar. Di belakang saya pun ada yang berdiri dan duduk berbaur bersama meja penjualan produk sponsor. Mereka berpakaian seragam dalam atasan batik berwarna kelam, seperti baju yang dikenakan oleh dua wanita yang tadi berbicara dengan saya. Berarti mereka adalah panitia.

Saya jadi berpikir, panitia seperti apa yang tidak mengharapkan peserta seminar datang membludak dan berharap bisa duduk di kursi?

Lama-lama saya tidak merasa nyaman. Mungkin memang saya tidak diterima sejak awal? Tidak ada inisiatif panitia untuk memberikan saya materi presentasi. Saya pun sudah enggan bertanya dan lebih baik meminjam materi presentasi dari rekan sebelah saya. Seorang jurnalis pantang pulang tanpa bawa hasil, menjadi pikiran saya saat itu mengingat perjuangan datang dan rencana awal datang ke seminar.

Setelah puas membaca cepat materi presentasi para pembicara yang dikemas dalam satu buku seukuran buku tulis, mencatat poin-poin penting dan memotret materi dengan kamera BlackBerry, saya pun berlalu pergi.

Tulisan ini saya buat bukan ingin jurnalis disanjung ketika datang ke suatu acara. Ini bukan pikiran bijaksana di era media sudah membludak jumlahnya dan di sisi lain masyarakat bisa menyerap informasi dari media mainstream, microbloging dan web forum.

Akan tetapi semoga tulisan ini bisa menjadi cerita kecil yang cukup berguna jika lain kali datang ke peliputan acara atau suatu waktu saya atau Anda menjadi panitia kegiatan seminar.

Saya jadi berpikir apakah panitia seminar lebih mengharapkan kehadiran peserta yang membayar daripada seorang jurnalis yang ingin cari informasi gratis? Saya memang terlambat berpikir tentang hal ini, tapi jika dari awal panitia mengatakan harus membayar untuk masuk, tentu akan ada pertimbangan untuk merogoh kocek dengan asumsi perusahaan media tempat saya bekerja akan mengganti biaya tersebut demi kepentingan bahan penulisan.


*Terima kasih kepada panitia yang telah memberikan minuman air kelapa F***** yang mengguyur haus tenggorokan, tapi sekaligus menyesal telah mengunyah pizza P*** *** yang dibagikan. Dalam perjalanan pulang saya merasa telah menjadi seorang tamu tak diundang mencari makan siang gratis. 

Wednesday, July 21, 2010

Hikmah dibalik Doa Tak Dikabulkan


Saya mendapat cerita ini dari milis, sebuah kiriman berantai, yang cukup mengena. Jangan melihat ini sebagai sikap mensyukuri kejadian yang bagi orang lain adalah musibah. Pada bagian akhir tulisan menjadi pesan moral bahwa Ia memberikan yang terbaik bagi umatnya. 

Sebuah pesan berantai di milis bisa jadi adalah hoax, tidak jelas siapa pengirim pertama dan kebenaran sumbernya. Akan tetapi saya memposting ini tulisannya karena saya suka pesan yang ingin disampaikan. 


Good Story from "Challenger"

Dari 43.000 pelamar, kemudian 10.000 orang, dan kini aku menjadi bagian dari 100 orang yang berkumpul untuk penilaian akhir. Ada simulator, uji klaustrofobi , latihan ketangkasan, percobaan mabuk udara.

Siapakah di antara kami yg bisa melewati ujian akhir ini?

Tuhan, biarlah diriku yg terpilih, begitu aku berdoa.

Lalu tibalah berita yg menghancurkan itu.

NASA memilih Christina McAuliffe .

Aku kalah.

Impian hidupku hancur. Aku mengalami depresi.

Rasa percaya diriku lenyap, dan amarah menggantikan kebahagiaanku.

Aku mempertanyakan semuanya. Kenapa Tuhan? Kenapa bukan aku? Bagian diriku yang mana yang kurang? Mengapa aku diperlakukan kejam?

Aku berpaling pada Ayahku. Katanya, “Semua terjadi karena suatu alasan.”

Selasa, 28 Januari 1986, aku berkumpul bersama teman2 untuk melihat peluncuran Challenger. Saat pesawat itu melewati menara landasan pacu,dan Aku menantang impianku untuk terakhir kali.

TUHAN, Sebenarnya aku bersedia melakukan apa saja agar berada di dalam pesawat itu. Kenapa bukan aku?

73 detik kemudian, Tuhan menjawab semua pertanyaanku dan menghapus semua keraguanku saat Challanger meledak, dan menewaskan semua penumpang.

Aku teringat kata-kata ayahku,”Semua terjadi karena suatu alasan.”

Aku tidak terpilih dlm penerbangan itu, walaupun Aku sangat menginginkannya karena TUHAN memiliki alasan lain untuk kehadiranku dibumi ini.

Aku memiliki misi lain dalam hidup.

Aku tidak kalah; aku seorang pemenang.

Aku menang karena aku telah kalah.

Aku, Frank Slazak, masih hidup untuk bersyukur pada Tuhan karena tidak semua doaku dikabulkan.


Ternyata, TUHAN mengabulkan doa kita dengan 3 cara :
1. Apabila TUHAN mengatakan YA; maka kita akan MENDAPATKAN APA yang KITA MINTA,

2. Apabila TUHAN mengatakan TIDAK; maka kita akan mendptkan yang LEBIH BAIK,

3. Apabila TUHAN mengatakan TUNGGU; maka kita akan mendptkan yang TERBAIK sesuai dengan kehendak-NYA. 

Total Football

Saya sering mendengar istilah total football dalam permainan sepak bola. Sering dengar istilah dan menonton pertandingan sepak bola di televisi, hanya saja saya sebenarnya belum tahu definisi pasti dari total football.

Nah, akhirnya dari artikel di Koran Tempo, Minggu 11 Juli 2010, saya mendapat penjelasan tentang konsep ini dan mencoba mensarikan artikel di koran tersebut ke dalam tulisan singkat.

Konsep total football adalah dimana semua pemain bertahan harus menjadi penyerang, dan semua penyerang harus menjadi pemain bertahan. Bola dijalankan secara cepat, pemain berpindah-pindah posisi setiap saat. Pola 4-3-3 menjadi skema yang dipegang teguh.

Pemain yang menguasai bola selama mungkin melalui umpan satu-dua kali sentuhan antarpemain yang terus bergerak untuk membuka ruang pertahanan dan mempermainkan konsentrasi lawan.

Sebagian orang berpendapat bahwa asal total football ini adalah permainan tim Hungaria pada awal 1950-an. Tim asal Eropa Timur ini menjalani 32 pertandingan berturut-turut tanpa kalah. Ah,ya, saya jadi ingat cerita Papa saya tentang legenda sepakbola Hungaria bernama Puskas, yang punya tendangan geledek. Jari-jari kiper gawang lawan sampai patah akibat menahan laju tendangan pemain tersebut.

Dua legenda sepak bola Belanda, Rinus Michels dan Johan Cruyff, adalah orang yang punya peran penting dalam mematangkan konsep ini. Peletak dasar konsep ini adalah pelatih Ajax Amsterdam asal Inggris, Jack Reynolds pada awal abad ke-20, dengan murid terbaiknya adalah striker Rinus Michels. Setelah gantung sepatu dan menjadi pelatih Ajax Amsterdam pada 1960-an, Rinus Michels menyempurnakan konsep Reynolds.

Saat Rinus Michels menjadi pelatih, anak didik terbaiknya adalah Johan Cruyff yang mampu menerjemahkan konsep ini di lapangan hijau.

Namun sebagai pemain nasional, Cruyff tidak bisa membawa pulang trofi Piala Dunia ke negaranya karena tim Belanda dikalahkan Jerman pada final 1974.

Lalu Cruyff menerjemahkan total football ke gaya permainan klub Ajax saat menjadi pelatih pada 1985-1988. Kemudian mantan striker ini membawa gaya ini saat melatih  FC Barcelona antara 1988-1996. Torehan prestasi saat Cruyff menjadi pelatih di klub asal Spanyol ini dengan menjadi manajer paling sukses dan terlama dan memenangkan 11 trofi.


Tuesday, July 20, 2010

Eclipse dan Saya






Ketika di bioskop sedang memutar Despicable Me atau Inception yang gres, saya justru baru punya waktu luang menonton Eclipse.

Ini merupakan film ketiga yang diangkat dari tetralogi novel karya Stephanie Meyers , yang terdiri dari : Twilight, New Moon, Eclipse, dan Breaking Down.

Pertama saya jelaskan bahwa saya sama sekali belum pernah membaca buku novel tersebut. Lalu saya pun tak pernah menonton film sejak dari Twilight maupun New Moon.

Menonton film Eclipse ini sekadar ingin tahu, seperti apa sih cerita yang dihebohkan itu. Lalu ketika saya menyaksikan film ini, yampun!!! maaf, saya mengantuk hingga tertidur di pojok dinding ruang bioskop bersama pashmina bagai selimut menghangatkan tubuh di ruangan yang berpendingin.

Yaa.. tapi memang inilah khayalan remaja abege. Bella Swan berwajah melankolis dan nyaris menunjukkan raut serupa selama berpuluh-puluh menit durasi film, diperebutkan oleh dua pria dengan keunikan masing-masing. Si Edward Cullen dari klan penghisap darah, versus Jacob yang merupakan keturunan serigala jadi-jadian.

Stephanie Meyers memang secara piawai memainkan konflik dalam cerita novelnya, dimulai dari kepindahan Bella ke kota kecil lalu berkenalan dan jatuh cinta kepada Edward nan pucat, berwajah misterius mengundang siapapun wanita normal ingin menaklukkan hatinya.  Lalu ketika ‘jadian’ dan menerima diri masing-masing apa adanya, muncullah konflik orang ketiga yaitu Jacob yang tak kalah ganteng plus doyan bertelanjang dada berperut bak papan cuci menonjolkan 6-packsnya.

Omygod! Kok rezeki Bella digandrungi pria ‘tidak normal’ ya? Untung di buku ketiga bunda Mayers tak menambah rumit jalinan asmara dengan menceritakan Bella yang bingung diantara dua pilihan pria remaja, tiba-tiba jatuh cinta dan memilih pria yang jauh lebih tua tapi ternyata Highlander, ksatria hidup abadi tak mati-mati.

Tokoh vampir/penghisap darah, werewolf/serigala jadi-jadian sudah menjadi pakem cerita horor klasik barat, hanya terjadi perbedaan saja dalam ramuan skenario. Misalkan jika di film Underworld diceritakan bahwa bangsawan vampir memang sengaja memelihara serigala jadi-jadian sebagai budaknya. Sedangkan di film Eclipse diceritakan bahwa serigala garis keturunan Jacob berasal dari bangsa Indian.

Kemudian muncullah Victoria menuntut balas akan kematian pacarnya, James yang mati dibunuh Edward. Victoria mengerahkan prajurit –para vampir baru- untuk mengejar Bella. Tujuannya, agar Edward merasakan sakitnya jika kekasih hati meninggal dunia.

Nilai plus dari cerita ini adalah Edward dan Bella mempertahankan keperawanan dan menanti ‘hal itu’ hingga resmi menikah. Sebuah cara sosialisasi yang bagus bagi remaja ketika bahaya kanker serviks, hamil tak siap, penyakit kelamin atau HIV/AIDS menjadi isu sentral di masa kini.

Lalu nilai apa lagi yang saya peroleh? Saya menyimpulkan yang mainstream atau tengah popular belum tentu cocok bagi diri ini. Sebagai Eno Siregar si penikmat (kegiatan nonton) film memang saya mengupdate diri dengan sebuah cerita yang tengah menjadi trending topics. Akan tetapi saya pribadi sudah membuktikan tak semua yang tren cocok bagi si Eno Siregar. 

Wednesday, July 07, 2010

Belajar dari Ibu Pekerja

Saya belum menikah. Masih individu bebas yang waktunya dihabiskan untuk diri sendiri.

Tapi seperti umumnya perusahaan, di kantor saya gawe ada wanita pekerja yang juga berstatus sebagai ibu rumah tangga, disebutkan sebagai Ibu Pekerja. Nah, yang aku perhatikan dari mereka adalah hampir sebagian besar dari mereka adalah orang yang fokus nine to five di kantor, jarang pulang malam kecuali ada hal-hal tertentu, beberapa dari mereka kedapatan melakukan percakapan telepon pribadi.

Percakapan telepon seputar pertanyaan apakah anak sudah sampai di rumah. Bagaimana kondisi si A, rumah, pelajaran lancar dsb.

Saya melihat mereka serius di kantor karena punya kehidupan lain menanti setelah bekerja, yaitu ngurusin keluarga dan rumah.

Saya hanya menarik ke dalam konteks diri, akibat me-time atau self-centric terlalu besar. Fokus hanya pada pekerjaan dan bersenang-senang.

Ketika pulang kantor masih melanjutkan pekerjaan di rumah. Yang  terjadi adalah, karena saya merasa waktu bekerja saya memang 18 jam lebih (potong 24 jam sehari dengan tidur sekitar 6 jam). Nah lho! baru setelah saya menulis ini saya sadar, waktu saya untuk pekerjaan sangat besar. Akan tetapi, kadang bawa pekerjaan di rumah karena kadang saya tidak fokus di kantor.

“Bisa lanjut di rumah kok,” kata saya membatin. Namun ini berarti saya membuang waktu yang seharusnya bisa untuk kegiatan lain.

Bekerja, have fun, bekerja, have fun, bekerja.

Si individualis perlu juga ingat keluarga. Ingat meluangkan waktu bersama orangtua dan saudara.


Keterangan :
Gambar : Mothers Love by Kolongi1 dikutip dari : http://bitsnbytesoflife.files.wordpress.com