Monday, December 31, 2007

Selamat Tinggal

Bintang itu masih menemani di Sabtu pagi
Ketika saya memintal rindu
Bersama pria pemilik senyum lengkung bulan sabit

Namun bintang hanya ilusi di Sabtu pagi
Terhapus hujan di sore hari
Bakal tiada lagi coretan cinta
Ketika jejak di pasir terhapus badai

Thanks God for this Year





Akhir 2007 ini gw kenapa jadi desperate ya? Ga semangat! Seperti cacing tanpa tulang yang tak berdaya di batu cadas nan panas, aku merasa tahun ini ’busuk’ banget deh. Hmm.. mungkin akibat nila setitik rusak susu sebelanga. Akibat akhir tahun berakhir sedih untuk kehidupan pribadi gw kali ya.

Tapi tunggu! Hal positif memang suka ketutup hal negatif. Ada baiknya aku coba list dulu hal-hal berarti dalam hidupku selama tahun 2007 :
1.Suplemen Tren & Style’07 yang ku-komandani dari sisi tulisan mendapat pujian
dan dari sisi billing juga mendapat target yang memuaskan. Tentu saja ini
berkat kerjasama dengan teman-teman sekantor, khususnya partner kerja yang solid
seperti Hiras yang jago jualan (hehe, salut sama abang satu ini...), mas Koko
dengan desainnya yang ciamik, mas Dian, mas Adhi, serta para penulis,
fotografer dan teman-teman Trafik yang bersedia gw cerewetin dan kutelpon jauh-
jauh dari Aceh :D
2.Pertengahan tahun ini aku tugas ke Aceh. Bahkan sempat menyeberang dan merasakan
snorkling di Sabang. So, sepertinya aku sudah bisa mengatakan puas pernah
melanglang ke berbagai daerah di Indonesia, meliputi Sumatra (Aceh, Medan,
Pekanbaru, Batam, Palembang, Musi Banyuasin, Silungkang & Bukittinggi Sumbar,
Lampung), Jawa (Anyer, Bandung, Jakarta, Purwakarta, jalur Pantura, Semarang,
Yogyakarta), Bali, NTB (Lombok), dan Kalimantan Timur. Sedangkan wilayah Sulawesi
(Manado & Ujung Pandang) dan Irian Barat pernah saya diami ketika ikut orangtua
bertugas.
3.Juara ke-2 Writing & Photo Competition dari salah satu pusat belanja di Jakarta.
4.Mempercantik dan memperbaharui website blogspot yang sudah lama tidak
kuurus. Serta menambah situs blog baru di Multiply (dan mendapat teman-teman baru
yang kukenal via MP).
5.Dapat teman-teman baru di luar lingkungan kantor.
6.Mengganti kamera digital saku Kodak-ku yang 4 megapiksel ke Nikon beresolusi 7
megapiksel.
7.Niat berolahraga teratur lumayan terealisasi dengan sempat rutin berenang dan
aerobik.
8.Februari’07 dapat kos baru, yang nyaman dan dekat dari kantor.
9.Pertama kali merasakan kenaikan gaji di kantor baru :p
10.Dapat bonus di akhir tahun :D
11.Anehnya.... tahun ini tahun gw paling tidak bisa menabung. Tapi alhamdullilah
rezeki ada saja...hehe...
12.Mencoba menulis ilmiah tentang komunikasi dan teknik penulisan –berdasarkan
pengalaman kerja- untuk diposting di situs Netsains.
13.Berkat tulisan tersebut, memperoleh undangan sharing pengalaman dlm pelatihan
penulisan di Kementerian Ristek.
14.Bermimpi suatu hari dapat melihat dan berkunjung ke observatorium Boscha,dan hal
ini terealisasi hanya dalam hitungan minggu karena bersama komunitas Netsains aku kesana awal Desember’07.

Apakah sejumlah pencapaian yang kubanggakan selama 2007 cukup worthy dibalas dengan kondisi ”tutup buku yang tidak indah” ?

(ohya, salah satu resolusi 2008 adalah mengecilkan pipi gembilku spt tampak dalam foto..sebenarnya bikin gw terlihat cute tapi apadaya orang lebih bilang itu 'gembil' hehe)

Wednesday, December 12, 2007

Perpustakaan Pribadi




Setiap pulang ke rumah Bogor, saya sering merasa bersalah terhadap tumpukan buku-bukuku. Mereka tersebar, ada di lemari, ditumpangkan di lemari buku Papa, atau tersimpan dalam kardus-kardus bekas.

I’m a bookaholic. Pecinta baca buku, termasuk (membeli dan) mengkoleksinya. Mulai dari komik dan serial bergambar, novel, hingga text book zaman kuliah. Termasuk juga sayang membuang majalah-majalah. Bahkan, beberapa company profile ada yang saya simpan. Cetakannya yang luks dengan sejumlah foto pendukung yang eye catching, membuat saya rela menyimpannya. Sepertinya, saya memang jatuh hati setengah mati dengan hasil karya berkat ciptaan Johannes Gutenberg ini.

Keinginan saya suatu hari memiliki perpustakaan pribadi untuk buku-bukuku. Suatu tempat yang layak untuk koleksi buku, termasuk CD dan album perangko (iya! Saya masih bisa menyatakan diri sebagai kolektor perangko dan kartu pos yang kukumpulkan sejak zaman SD)...Toh saya mengeluarkan sejumlah uang untuk membelinya.

Pernah pula Saya berandai-andai memiliki Taman Bacaan, lengkap dengan sofa berbantal empuk untuk membuat betah para tamu menikmati bacaan. Tapi, berarti hal itu high maintenance dan butuh modal bukan?



Gambar biblo :
http://www.istockphoto.com
http://www.elpais.com

Pemanasan Global (versi Pemahaman Standar)

Hujan kali ini tidak meruapkan aroma tanah
Harum yang kukangeni saat pulang ke rumah
Rerumputan hijau berganti tembok pucat
Manusia bertambah butuh rumah

Hujan kali ini tidak seperti biasanya
Aku semakin tidak mengenalnya,
Kata orang ini gara-gara pemanasan global
Iklim tak terprediksi
Es di kutub mencair
Dan membuat akhiran ”...Ber” bukan mutlak bulan penghujan

Saya tak punya mobil hybrid
Cuma tahu sejumlah tips hemat ala diri sendiri
Kantung plastik dipakai berkali-kali, produk refil lebih murah ketimbang dalam botol, Pakai kertas bolak-balik hingga lecek dan di-kilo-in ke pemulung

Kata orang sebenarnya kita cukup punya 5 pasang pakaian dalam setahun
Mungkin yang ngomong itu jagoan mix n’match handal?
Atau bukan anak kos yang ngantri mencuci?

Semua membahas perubahan iklim
Sekarang selebritas berkata “go green”
Apakah mereka masih pakai sepatu kulit asli dan berpengeras rambut?
(Katanya sih produk sekarang non aerosol)

Saya masih merindu hujan berbau ilalang
Sambil terpekur di bale-bale sembari mengulum tusuk gigi
Ugh! serat daging hamburger menyelip di geligi
Saya baru tahu pula untuk membuat daging yummy berlapis roti ini menghabiskan ribuan energi,
Dan aku memandangi tusuk gigi, ”Agh, apakah si batang kecil ini juga mengakibatkan hutan meranggas?”

Membuat Resolusi Tahun Baru

Sebentar lagi tutup tahun, ya?
Desember yang tinggal hitungan hari, bakal kamu penuhi dengan tenggat waktu berbagai target akhir tahun, resolusi yang ingin dicapai di 2008, membuka ingatan kembali apakah tujuan yang digoreskan di awal 2007 apakah sudah tercapai.

Ketika melangkah ke rak penjualan koran atau majalah, sejumlah media pasti mengingatkan kita untuk mencanangkan resolusi, lengkap dengan tips membangkitkan semangat dan susun target di tahun baru.

Kenapa sepertinya –harus- tahun baru kita mengadakan pembaharuan? Titik tolak yang idealkah? Rasanya titik mula tetapkan goal setting bisa kapan saja bukan? Bisa saja dimulai dari hari ulang tahun, saat menimbang berat badan ternyata berat sudah melewati ukuran ideal, atau saat ’ditampar’ oleh kejadian yang membuatmu tersadar bahwa kamu harus berubah.

Desember adalah bulan terakhir dalam kalender masehi, dan lingkaran tarikh itu kembali di awal pada Januari. Bagi pekerja kantor ritme kerja tetap 5 hari dari total 7 hari dalam seminggu. Tidak ada jeda Rencana, Target, Prioritas atau Deadline gara-gara ”Ini kan Tahun Baru”.

Tahun baru hanya pembenaran pesta bagi partygoers, party organizers atau industri jasa : End of The Year Sale, Gebyar Akhir Tahun, New Year’ Party, so on and bla.. bla.. bla..

Tahun baru berarti saya harus menyusun rencana di 2008, sembari tetap menyelesaikan tugas yang di depan mata. Dalam catatan agenda pun sudah mulai terisi beberapa catatan-catatan kecil dan posting.

Aghh.. kenapa saya jadi makhluk yang sinis? Tahun 2007 ini saya memulainya tanpa memiliki resolusi tahun baru. Saya sangat menikmati let it flow, kemana air mengalir. Bukan tanpa alasan. Jenuh dengan target dan kecewa dengan realisasi? Mmmm....Saya hampir 2 tahun bekerja di perusahaan sekarang –satu tahun penyesuaian dan satu tahun berikutnya dalam fase menyelami, menikmati (dan berusaha menikmati setiap keruwetan) perpindahan kerja dan penyesuaian diri.

Mungkin sudah saatnya di tahun berikutnya si ‘ranting’ pasif ini memutuskan berubah aktif, melawan arus, mengikuti riak, maupun menerabas. Ataupun menepi dalam hening untuk menguatkan langkah. Perlu membuat ”Resolusi Tahun Baru” sebelum tenggelam membiarkan waktu, hari, minggu dan bulan berlalu statis.

Oke, sebelum jam 12 malam berdentang pada 31 Desember 2007, saya sudah menggoreskan niat dan tujuan yang ingin saya capai di 2008.

Sunday, December 09, 2007

Saya Ga Bisa Posting di Blogspot (Merawat Kesetiaan)

Ternyata lebih susah merawat ketimbang membuat blog.

Posting di alamat blogspot-ku ini seperti perasaan gw pulang ke rumah ortu di Bogor :

- kangen rumah tapi ga bisa pulang karena kesibukan kerja
- pengen pulang, tapi malas untuk jalan ke terminal lebak bulus
- ingat rumah tapi punya mainan baru yang lebih menarik untuk diselami (nama mainan itu : multiply)

Iya, ada jeda yang lama saat mengisi blog ini karena kerja yang menyita waktu (walaupun ada yang bilang, seseorang yg produktif tidak menjadikan "kesibukan" sebagai alasan). Tapi kalau mau jujur, saya nge-blog di kantor, dan ternyata di kantor yg sekarang saya tidak bisa posting blog...hehe...

Ups, jangan kategorikan saya pekerja tidak produktif karena mencuri waktu melakukan hal yg bukan kerja inti. Nggak! Cuma, saya mengalami masalah kemudahan posting. Ga tau kenapa di kantor yg sekarang, saya tidak menemukan masalah untuk bisa membuka situs blog diri & milik sendiri. Hanya saja, kalau saya mau membuka account blog, maka setelah itu web menampilkan pesan error dsb (maaf ndak ngerti teknologi jd ga bisa jelasin masalah secara terperinci). Intinya saya tdk bisa posting tulisan secara lancar di blogspot, keinginan menulis tetap menggebu-gebu, dan akhirnya punya pelabuhan baru di layanan blog yang lain.

Akhirnya saya membangun rumah kedua di ranah maya pada layanan multiply. Web itu membawa kebahagiaan baru ketika saya bisa posting foto, tulisan, dsb, serta bisa menambah kenalan baru sesama pemilik account multiply. Ego pribadi saya terasa dielus-elus ketika tahu blog saya membuat teman lain mampir berkunjung. (Ups, saya sudah mengarah pada narsistik kah?)

Saya tidak bermaksud membandingkan dua fasilitas layanan online diary itu. Blogspot adalah rumah pertama, yang selalu menjadi tempat perdana untuk berlabuh. Namun, saya juga ingin merawat kesetiaanku pada situs yg sudah kubuat di MP. Saya sendiri tidak membuat klasifikasi apa yang harus kuposting di blog dan kategori layaknya kutuliskan di dalam MP. Jalani saja. Mmm, adakah orang yang kehilangan tulisanku di blogspot? duh, ge er sekali saya ini :))

Adakah yang mau mampir bertamu ke rumah pertama dan rumah kedua Saya? Saya bakal sambut dengan senyum manis si emoticon :) dan secangkir kopi hangat nan harum.

:)

Kalau dipikir-pikir, emoticon :) rasanya paling sering kugunakan. Saat menuliskan pesan di SMS, membalas dialog teman di YM, atau ketika menyapa rekan di shoutbox, tulisan email dsb.

:) mewakili senyuman manis. Menjadi pengganti lengkung senyum bibir saat kita berdiskusi dalam tatap muka langsung. Menandakan kita mengamini pembicaraan lawan diskusi.

:) sebagai penanda sikap ramah, dan menjadi salam penutup bahasa tertulis ketimbang sekadar tanda titik atau "."

Monday, November 12, 2007

Alasan Pindah Kerja

“Eh, tau si A mau resign ? Dia kan bakal pindah ke perusahaan X,” kata teman saya di suatu pagi yang belum sibuk di hari kerja.

“Oh.. kapan cabutnya? Akhir bulan ini?” tanyaku sambil menyesap kopi encer yang kini harus kunikmati setelah berkali-kali maagku kambuh akibat addict kopi super kental.

“Idih, malah udah mengajukan surat resign say… Katanya gaji di perusahaan X besar lho,” balas temanku itu. Saya pun manggut-manggut. Kami, saya dan teman minum kopi di pagi hari, serta si A yang menjadi obyek pembicaraan, bekerja di perusahaan sama. Di tingkatan strata jabatan yang hampir sama meski beda divisi, maka tentu tanpa bertanya, atau tepatnya saya malas bertanya, saya mengerti definisi “besar” di akhir kalimat teman saya tersebut.

“Iya ya. Orang berhak mencari yang lebih baik,” sahutku. Teman saya menyahut tanda setuju hal itu.

Mungkin jika kamu dalam posisi saya, mendengar kabar tersebut, apa yang terbersit dalam otakmu? Macam-macam. Betapa beruntungnya si A dengan rezeki yang lebih “besar” itu. Tiba-tiba menghitung sudah berapa lama bekerja di kantor yang sama, dan merasa perlu mencari pekerjaan baru dengan alasan ternyata masih ada rumput tetangga yang lebih hijau. Atau, jadi teringat resolusi kerja yang kamu niatkan di awal tahun dan bertanya-tanya apakah sudah tercapai?

Mungkin saja “besar” bagi seseorang tidak identik dengan gaji. Tapi bisa saja misalkan keseimbangan pribadi antara kerja dengan pengembangan pribadi. Kalau mengutip tips karier di media massa atau media online, gaji dan fasilitas menjadi salah satu komponen penentu alasan kamu pindah kerja atau bertahan.

Semakin menggilanya kemacetan di Jakarta bisa juga menjadi alasan mengapa Anda memutuskan pindah kerja atau ganti kuadran profesi seperti ajaran Robert Kiyosaki. Seandainya kamu bangun 05.00 pagi untuk persiapan ke kantor, terus jarak tempuh rumah-kantor bisa memakan waktu 1,5-2 jam, kemudian jam pulang pun memakan waktu 2 jam bahkan lebih, rasanya berapa banyak waktu yang terbuang di jalan. Kalau sudah demikian, saya kadang berandai-andai perusahaan memperbolehkan pekerjanya untuk bekerja di rumah dan memanfaatkan kemajuan teknologi seperti Internet, fax dan telepon. Tentu saja biaya yang ditimbulkan perangkat ini menjadi komponen fasilitas yang dibayar oleh kantor :p

Apapun pilihan kerja, termasuk bertahan atau pindah, itu adalah bagian pilihan hidup. Setiap orang punya alasan menemukan dan menentukan pilihan-pilihannya.

Friday, November 02, 2007

Nasionalisme dan Produk Dalam Negeri

Suatu majalah internal pusat perbelanjaan dalam edisi 17 Agustusan mewawancarai beberapa konsumennya soal nasionalisme. Mereka ditanya bagaimana mempertahankan nasionalisme dan rata-rata menjawab dengan menggunakan produk dalam negeri.

Jika saya disuruh merealisasikan jawaban tersebut dalam sikap, tentu paling gampang adalah : memilih mengenakan daster. Iya kan. Daster batik yang memang asli dibuat di Yogyakarta, dikerjakan secara handmade oleh pengrajin batik ber-KTP D.I. Yogyakarta dengan memanfaatkan lilin malam. Sekalian saja, saya rajin mencuci batik tersebut dengan Lerak.

Tapi sekarang jadi balik bertanya, definisi produk dalam negeri itu seperti apa : merek lokal; dibuat di dalam negeri sendiri dan dihasilkan oleh SDM lokal; atau berarti menggunakan produk kerajinan UKM?

Padahal, sebut saja kita minum air mineral berlabel Aqua. Merek itu memang buatan lokal dan sumber bahan baku berasal dari mata air dalam negeri. Akan tetapi pemegang saham perusahaan kan Danone yang notabene perusahaan asing.

Semen memang berbahan baku gamping asli Sukabumi atau daerah di Indonesia lainnya. Namun apakah kita jadi tidak membangun rumah karena nama-nama pemodal asing seperti Holcim, HeidelbergCement, dan Cemex masuk di dalam jajaran pemegang saham perusahaan semen lokal?

Apa kamu, atas nama cinta dalam negeri, tidak mau memanfaatkan komunikasi via telepon selular gara-gara pemegang saham operator telekomunikasinya adalah negeri jiran dan pembangun jaringannya juga perusahaan asing? Padahal kamu tentu sudah merasakan hidup lebih mudah gara-gara yang namanya Handphone dan Internet.

Saya pribadi tentu tidak mau menukar kosmetik saya ke merek lokal demi cinta produk dalam negeri. Daripada muka saya jerawatan dan merah-merah gara-gara tidak cocok, lebih baik saya merogoh kocek untuk merek asing yang memang sesuai kulit saya.

Mungkin sebenarnya kompleks ya? Tidak sekadar slogan “Aku Cinta Produk Indonesia” yang rasanya itu sudah menjadi romantisme awal negara kemerdekaan. Dan kini kita hidup di dalam bumi yang mengenal istilah ‘kapitalis’, ‘liberalisme’, dan ‘pasar bebas’. Ketika mencomot barang belanjaan di gerai hipermarket tentu tidak (jarang) mempedulikan apakah itu dibuat oleh perusahaan PMA atau PMDN, apakah produsen taat bayar pajak. Yang penting cocok harga, cocok mutu, sesuai kebutuhan, lalu pindahkan ke keranjang belanja.

Tapi, bagaimana jika menjawab cinta tanah air dan nasionalisme melalui tidak melakukan illegal logging dan tidak membuang sampah sembarangan yang berujung pada banjir dan longsor.

Cara lain dengan meminimalkan pemakaian kantung plastik kresek dan siap sedia membawa tas tenteng dari bahan kain. Lebih memilih kemasan refill, dan mendaur ulang botol beling atau plastik untuk perangkat lain.

Tertib dalam mengantri dan tertib mematuhi perundang-undangan, maupun rambu lalu lintas. Memenuhi kewajiban membayar pajak dan juga agar pengemban uang pajak memanfaatkan dana tersebut dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat seperti slogannya.

Seandainya ada yang perhatian terhadap pembangunan ruang publik berupa taman, perpustakaan umum, scientific center dan gedung kesenian.

Apakah saya juga mesti berdamai dengan e-book gara-gara berjuta hektare pohon musti ditebang demi memenuhi kebutuhan kertas bahan baku buku, majalah, dan koran?

Wednesday, October 24, 2007

Selamat Jalan, Mbah Dauzan...

Saya ‘mengenal’ dirinya dari Kompas tahun 2004. Dan dari posting milis yang dikirimkan oleh teman, saya mengetahui bahwa beliau meninggal. Beliau yang kumaksud adalah Dauzan Farouk, sosok yang dikenal dengan Perpustakaan Keliling Majalah dan Buku Keliling Bergilir (MABULIR) meninggal di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada Sabtu pagi (6/10/2007).

Bapak delapan putra-putri kelahiran Kampung Kauman, Yogyakarta pada 1925 itu, mendirikan Mabulir karena terinspirasi dari masa kecilnya membantu ayahnya, H. Muhammad Bajuri, yang mengelola Taman Pustaka Muhammadiyah pada zaman sebelum Indonesia Merdeka.

Sosok yang saya lihat di media cetak nasional pada 3 tahunan lalu, saat itu sudah ringkih termakan usia. Namun, sebagai bookaholic, saya terpesona dengan “perjuangannya”. Pada tahun 1989 Mbah Dauzan menghabiskan uang pensiun veteran sebesar Rp 500.000 untuk membeli buku kemudian mendirikan perpustakaan bergilir bernama Mabulir. Mbah Dauzan pun berkeliling kota Gudeg mengedarkan buku-bukunya secara gratis.

Setiap hari sejak bangun tidur, lelaki tua itu membaca buku, merapikan dan memperbaiki sampul sebagian buku-bukunya yang mulai rusak. Aktifitas meminjamkan aneka buku dilakukannya sore hari dengan bersepeda atau naik bis kota. Ia mendatangi kelompok bermain anak, siswa-siswa di sekolah, remaja mesjid, dan pemuda Karang Taruna. Kelompok pengajian, tukang becak yang tengah mangkal, bahkan para ibu penjual di pasar-pasar, tak luput menjadi ‘sasaran’ untuk dipinjami buku secara gratis.

Konsistensinya membuahkan penghargaan seperti Nugra Jasadarma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional tahun 2005 , Paramadina Award 2005 dan Lifetime Achievement Award dari Sabre Foundation, sebuah NGO di Massachusetts, Cambridge. Pada April 2007 di acara World Book Day Indonesia, Mbah Dauzan Farouk mendapat gelar sebagai Pejoeang Literasi Indonesia.

Tapi tentu bukan penghargaan yang Mbah Dauzan cari. Namun tentu ini adalah kata hati yang direalisasikan dalam bentuk nyata untuk suatu nilai yang tidak kuantitatif.

Saat kecil, saya memang lumayan hidup berkecukupan aneka buku dari orangtua. Mulai dari buku pengetahuan umum, biografi ringan, komik-komik, buku dogeng, maupun majalah dan Koran. Saat berkunjung ke perpustakaan daerah saya sempat berkomentar dalam hati, “Lho, ternyata masih lebih menarik koleksi buku di rumah saya.” Tapi mohon maaf kepada siapapun yang tersinggung pada pikiran saya saat itu, karena saya baru sadar setelah beranjak dewasa bahwa tidak semua orang bernasib seperti saya. Orangtua saya, meski kondisi hidup bukan terbilang mewah, namun masih meluangkan uangnya untuk menambah khazanah pengetahuan semua anak-anaknya. Selain itu, saya kebetulan mengenyam pendidikan dari sekolah dasar hingga menengah atas di sekolah yang perpustakaan nya memadai dari segi fisik ruangan maupun koleksi.

Akan tetapi, tentu tidak semua bisa seperti saya kecil. Ongkos produksi buku yang terus menerus melambungkan harga jual, begitu banyak pilihan buku yang tidak bisa diikuti kondisi finansial, atau karena kebutuhan primer yang mau tidak mau harus dicukupi sehingga buku menjadi prioritas tersier, masalah aksesbilitas bacaan, dan problematika mencerdaskan bangsa, tentu menjadi salah satu dari sekian banyak alasan mengapa kita membutuhkan banyak Mbah Dauzan.

Mbah Dauzan selalu membaca semua buku sebelum dipinjamkan kepada para pelanggan, walaupun untuk membacanya harus menggunakan kaca pembesar, sebagai bentuk ingin memberikan bacaan yang terbaik.

Lelaki yang tidak menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Sastra Timur Universitas Gadjah Mada itu telah mengambil peran dalam mencerdaskan manusia melalui buku bacaan yang dipinjamkan dari satu tangan ke tangan lain. Namun satu hal yang harus diingat pula, ketika berurusan dengan ‘pinjam meminjam buku’ maka problem lainnya adalah kadang pembaca buku tidak memperlakukan buku dengan layak. Pernah menemukan buku perpustakaan yang disobek pada halaman tertentu? (Bahkan saya pernah menemukan hal ini di koleksi skripsi S1 di perpustakaan). Pernah mendapat buku yang dikembalikan dalam kondisi lecek, keriting, atau, lebih parah, terkena minyak? Nah, saatnya kita juga memulai menumbuhkan semangat “Sayang Buku”. Meski itu bukan milik kamu pribadi.

Namun, sosok seperti Mbah Dauzan tidak berpikir materi. Ia meminjamkan dengan sistem bergilir, yang disebutnya sebagai sistem multilevel reading. "Mengelola perpustakaan keliling adalah bisnis dengan keuntungan abstrak. Landasannya kepercayaan sehingga aturannya tidak perlu birokratis. Dagangan Tuhan. Tidak perlu ada KTP atau apa.
Sesama manusia saudara, harus bisa dipercaya," ujarnya seperti dikutip dari Kompas.

Perjuangan Mbah Dauzan telah berhenti hingga hembusan nafas terakhir dan jazad dimakamkan di Makam Pejuang 45, Gamping Sleman Yogyakarta. Selamat jalan Pejuang Literasi Indonesia….

(sebagian sumber tulisan dikutip dari www. muhammadiyah. or.id dan Kompas)

Sunday, October 21, 2007

Merenungi Hidup (Umur Tambah Setahun)



Selang sehari setelah hari ulangtahun, Saya justru jatuh sakit. Dimulai dari demam, dan diikuti perut perih. Kukira radang tenggorokan biasa, hingga akhirnya perutku semakin melilit (hm, kurasa maag kambuh), pusing, dan lemas.

Hingga membuat diriku merasakan terbaring di IGD rumah sakit. Pertama kalinya merasakan jarum infus membantu pemulihan cairan di dalam tubuh.

Membuat saya ingat bahwa lagi-lagi saya belum menghargai hidup. Si kopi addict ini masih melanggar aturan, dan masih ‘bermain-main’ dengan hembusan nafas karunia Tuhan. Ia ‘menampar’ diriku kalau saya perlu merawat diri, belum banyak rencana yang kurealisasikan, dan semua itu bakal tak terwujud jika kesehatan tidak dijaga.

Tambah usia artinya tambah bijak, tambah cantik, tambah banyak rezeki, tambah tabah dalam cobaan. Semua harap itu pasti akan direstui olehNya.

Hehehe… terima kasih kepada orangtua, kakak, abang, keponakan, sahabat-sahabat, mantan teman kuliah, maupun teman kantor yang mengucapkan selamat ulang tahun kepada diriku. Terima kasih atas doanya :)

Friday, October 19, 2007

Aku dan Bintang (Berharap Bertaut)



Aku dan Bintang terpisah rentang
Berharap bercengkerama di padang ilalang
Menikmati kelam, mengecup kasih
Berteman langit malam

Aku dan Bintang tengah mengatup harap
Menyebutkan satu permintaan
Semoga kisah ini abadi

Aku dan Bintang bertemu di padang ilalang
Merajut mimpi, mengait degup
Hingga sang mentari membunuh ksatria kejora

Monday, October 01, 2007

Mumet

Tik tok
Tik tok
Sejumlah menit berganti jam
Tampilan layar di depan mata masih kosong
Tiada kata terpampang
Agh! Ga punya ide nih!

Maaf, Kalau Blog Ini Lama Dikosongkan

Maaf kalau blog ini lama dikosongkan.
Bukan saya melupakan ranah pribadi tempat mencoret-coret segala yang saya mau.
Cuma karena keterbatasan net, tidak punya ide, dsb....

Sunday, September 30, 2007

Bercabang


Kau tawarkan senyum indah
Saat aku merindu dia
Ku menikmati sanjungan
Setiap degup rinduku terbagi

Thursday, September 20, 2007

Renungan Ramadhan


Saya lagi tidak puasa, tapi harus menahan haus dan lapar. Alasannya, saya harus menghormati yang sedang menjalankan ibadah tersebut. Ketika saya mulai berpuasa, tidak ada yang memahami saya baru tahap penyesuaian, sementara orang sudah menghitung hari ke-4.

Para penjaja makanan dekat kantor rata-rata pulang kampung, tanpa berpikir masih ada peluang konsumen (dengan kata lain, ada peluang penghasilan). Kenapa orang harus mudik di saat awal Ramadan, padahal masih ada waktu lebih kurang 30 hari berjualan buat tambahan uang pulang saat Lebaran?

Di antara 12 bulan dalam setahun, kenapa hanya 1 bulan menjadi momen kita beramal dan beribadah?

Dan kenapa hanya 1 bulan, kita harus menahan emosi, memilih tutur kata untuk dilontarkan, menata perilaku, di atas menahan haus & lapar?

Berapa kali kamu membicarakan orang, baik kelebihan maupun kekurangannya? Berapa kali sehari kamu berkeluh kesah yang ujung-ujungnya menunjuk orang lain sebagai biang problematika? Berapa kali kamu ‘menginjak’ orang demi kesenangan dan kenyamanan pribadi?

Mengapa harus saya yang menahan diri, padahal orang itu menyebalkan? Katanya emosi gampang meledak kalau lagi menjalankan ibadah puasa, tapi aku rasa di luar bulan Ramadan pun ada kelakuan seseorang yang sudah dari sononya……. Harus orang tersebut yang bercermin dan mengubah perilaku, dan bukan kita (saya dan orang lain di sekitarnya).

Jadi, mending saya cabut tidak usah melihat mukanya. Terserah momen Ramadan akan berlanjut menjadi perayaan Idul Fitri untuk bermaaf-maafan, tapi kadang ada perilaku yang tidak bisa dibasuh dengan bersidekap tangan dan cium pipi kiri dan kanan, lalu mengucapkan “Mohon Maaf Lahir dan Batin.” Lebih baik saya angkat kaki, dan mencari keteduhan di tempat lain.

(photo by : Eno)
(location : Pantai Senggigi, Lombok, 9 Nov'06)

Wednesday, September 05, 2007

Dreams (2)



Mau lanjutin lagi cerita Mimpi Saya...
Oke, Mimpi no.2 saya adalah bisa membeli dan memakai Sepatu Manolo Blahnik :p Tahukah kamu kalau sepatu tinggi adalah lambang keseksian seorang wanita? I wish I could buy Manolo Blahnik tanpa rasa bersalah :p

[mungkin gara-gara kejadian yang saya posting di http://auraazzura.multiply.com/journal/item/5/Kaki_Orang_Kaya_?replies_read=2 ]

Sekolah lagi : Saya pengen kembali ke bangku kuliah. Mengambil strata S2 dari dulu ga kesampaian. Hehehe.. saya kadang terkesan doyan kursus. Tapi walaupun pembelajaran bisa didapat dari mana saja (komunikasi, pengalaman hidup, baca dsb) tapi rasanya saya masih ingin menaikkan pendidikan saya secara formal. Sudah pernah mengalami mencari info sana sini dan prepare TOEFL, tapi trus dapat kesempatan kerja. "Bukankah bekerja adalah kesempatan tidak datang 2 kali, sementara belajar alias kuliah bisa dikejar di lain waktu?" pikir saya dulu begitu. Akan tetapi, pekerjaan memang membuat waktu saya tersita. Ups, saat ini membangkitkan semangat untuk sekolah lagi saja susah. Membayangkan kuliah sambil kerja, rasanya tidak sanggup deh! Saya mengaku salut kepada temanku Hazis yang berani memutuskan meninggalkan pekerjaan & serius dgn studi S2-nya:) Yap! tapi itu tadi kan? Keinginan boleh saja saya tuliskan. Semoga suatu hari terealisasi... :)

Keinginan lain, jika saya memiliki waktu luang adalah mencoba belajar menjahit. Mama dan kakak-kakak perempuan saya rata-rata jago memasak. Setidaknya masing-masing punya keahlian mengolah bumbu2 dan bergaul dengan panci dan sodet. Kalau saya? Hmm, memang belum pernah dibuktikan. Walaupun sewaktu sekolah di SD Tarakanita II, saya pernah mendapatkan pelajaran tambahan tsbt, namun saya termasuk tidak minat pelajaran tsbt. Namun, ketika di SMP saya mendapat pelajaran Menjahit, saya menyukainya. Rasanya ketrampilan yang identik dunia wanita tsbt sama spt saya membuat prakarya. Nilai menggambar pola dan kerapihan menjahit saya termasuk tinggi. Saya menyukai kain, pakaian indah, dan meski sekarang paling terbatas membuatkan gambar wanita lengkap dgn busananya untuk ponakan saya, Rani, yang sangat girly. Niat lainnya, seandainya punya suami dan anak, bakalan saya buatkan mereka baju jahitan saya sendiri.. (tips hemat ala Eno hehe).

Tuesday, September 04, 2007

Dreams (1)

Sori ya kalau judulnya saja yang berbahasa Inggris. Dalam artikel ini saya menempatkan “Dreams” atau “Impian” sebagai etalase hal2 yang ingin kita capai dalam kehidupan kita. Katanya, kalau kita punya impian, maka kita termotivasi untuk bekerja merealisasikannya.

Saya sendiri merasa lagi hilang motivasi setelah menabung untuk membeli laptop secara tunai sudah tercapai, dan bekerja menjadi copywriter di institusi media yang dulu saya idamkan.

Saat ini saya sangat menikmati pola “let it flow” dan saat ini tengah ketakutan bakal terhanyut. Maka saya berniat menuliskan daftar impian saya. Boleh saja gila-gilaan, karena namanya juga Mimpi. Mana yang akan saya realisasikan atau prioritas untuk dikejar, tentu berdasarkan logika dan itu urusan pribadiku. Saya cuma mencoba men-share kepada teman-teman yang membaca blog ini.

Salah satu keinginan adalah Punya Rumah Pribadi.
Waktu kecil saya sering berenang di kolam ikan di rumah ortu. Benar! kolam ikan kebetulan berbentuk persegi panjang. Untuk tubuh saya yang saat itu SD kelas 1, berenang di dalamnya bisa membuat 3 kali gerakan gaya kodok untuk bergerak dari ujung yang satu mencapai ujung lain. Meski tante dan nenek saya sering memarahi kebiasaan saya, karena sering berujung jadi pilek:p Saya sempat berkhayal punya rumah yang dihuni sendirian dan punya kolam renang pribadi (supaya tidak ada yang marah2 kalau saya nyemplung). Hanya saja, sekarang saya tahu kalau kolam renang pribadi itu high maintenance dan harga rumah juga selangit, maka sekarang impian memiliki Rumah mungil dengan taman berumput hijau, dipenuhi pada beberapa bagian dengan bunga-bunga seperti anyelir dan dahlia hasil bercocok tanam sendiri.

Sunday, September 02, 2007

Pengingkaran Rencana

Rencananya sih, Sabtu mau ke kantor. Rajin? Lagi banyak kerjaan, butuh merapikan meja kantor dan file, dan semua hal yang lebih enak di saat sendiri, tanpa ada rekan-rekan kerja di sekeliling kita. Namun, ternyata godaan pulang kampung lebih besar:D Jadinya, Sabtu siang saya segera mengemas kerjaan, my pal Buttercup, dan tumpukan cucian, cabut ke terminal Lebak Bulus.

Akhirnya, sih saya memang begadang. Tapi begadang untuk browsing Internet dan menulis blog ini.. Ah, memang 1 minggu itu idealnya kerja selama 5 hari, 1 hari libur, dan 1 hari tambahan untuk istirahat sebelum memulai daywork.

Rencana lain, saya sudah berencana pada Sabtu untuk membuat bola-bola coklat. Satu resep yang simpel, membutuhkan bahan terdiri dari biskuit regal yang ditumbuk jadi tepung, mentega cair, susu coklat, dan meses. Tapi, lagi-lagi tidak terealisasi. Masalahnya, saya sampai sekitar jam 1 siang di terminal Baranangsiang Bogor. Rencana mampir ke Giant di Botani Square yang tidak terlalu jauh dari terminal. Namun siang yang terik, kemacetan lalu lintas ditambah kondisi gerah di angkot sudah membuat saya malas untuk turun dan menyeberang ke pusat belanja tsbt. Yah, toh masih ada hari libur dan hari istirahat lainnya.

Monday, August 20, 2007

Nama Pena

Sayap patah?
Dudy funny clown?

Hmm…otak saya segera memikirkan berbagai ide nama, yang pasti konyol, ketika saya disuruh mencantumkan "Nama Pena” untuk keperluan penulisan puisi.

Nama Pena? Pilot, Zebra, Standard, … hehe dasar dodol. Tentu bukan nama Merek pena dalam arti harfiah.

Tetapi saya memang ‘kering otak’ dan tidak punya ide kalau harus mencari nama samaran yang indah untuk diri sendiri. Nama penulis yang harus kucantumkan bersama karya yang kubuat. Yang setidaknya bisa membuat orang termehek-mehek atau ‘eye-catching’ dan berlanjut menjadi ‘ear-catching’ saat melihat dan menyebut Nama Pena-ku. (Toh sekarang era penulis online, jadi perlu melihat, baca dan sebut…) lalu membaca karyaku..

Dan, membaca nama-nama cantik yang tercantum dalam milis puisi yang kuikuti, semakin membuatku terintimidasi....Mungkin karena, “hari gini pake nama samaran?”
Meski kadang sampai sekarang aku masih sering dapat pertanyaan atas namaku yang tidak nyambung, memakai nama yang lazim digunakan 2 suku di Indonesia, tapi saya hanya tersenyum dan begitulah nama pemberian dari ortu saya.

Walaupun nama saya pasaran, tapi saya tetap punya panggilan sayang dari keluarga. Makanya saya ingin mencantumkan nama “Dudy”… walaupun saya bukan pelawak di keluarga …But, that’s my nick name.

Argh, apalah artinya nama? Ah, Shakespeare asal ngecap tuh! Jelas-jelas supaya ga salah manggil orang. Misalkan, jika kita mencari yang namanya Dewi di kantor, orang akan memastikan lagi, siapa yang dicari. Dewi Retno, Retno Dewi, Restu Dewi, Dewi Sulistyowati, dsb… atau Dewi yang kerja di divisi apa? (Rasanya lama-lama memang selain nama, job desk dan jabatan menjadi berperan besar).

Gimana kalau, “Menanti Pagi?”
Karena saya –cenderung- makhluk nocturnal. Pemalas di pagi hari, dan baru menemukan semangat bekerja ketika mentari mulai terbenam. Bukankah Pagi identik dengan ‘kebahagiaan’, ‘awal yang baru’, ‘sesuatu yang bagus’, sementara malam identik dengan kelam?

Dan, nama adalah doa. Seperti orang tua yang menaruh doa kebahagiaan dan harapan di nama sang anak. Jika saya mencantumkan nama “Menanti Pagi” maka kerjaan saya menunggu melulu……… :p

Hmm… Hmmm… Saya suka tokoh mandiri Srikandi. Gimana kalau “Srikandi Pena” hua haha lebih huancur lagi… Kayak julukan di zaman bela negara dan kemerdekaan deh!

Duh! Belum nemu ide nih. So far ya sudahlah nama sesuai KTP dan nama blog ini saja ya....

[Saya mulai menulis lagi setelah sekian lama tidak menulis blog]