Friday, November 02, 2007

Nasionalisme dan Produk Dalam Negeri

Suatu majalah internal pusat perbelanjaan dalam edisi 17 Agustusan mewawancarai beberapa konsumennya soal nasionalisme. Mereka ditanya bagaimana mempertahankan nasionalisme dan rata-rata menjawab dengan menggunakan produk dalam negeri.

Jika saya disuruh merealisasikan jawaban tersebut dalam sikap, tentu paling gampang adalah : memilih mengenakan daster. Iya kan. Daster batik yang memang asli dibuat di Yogyakarta, dikerjakan secara handmade oleh pengrajin batik ber-KTP D.I. Yogyakarta dengan memanfaatkan lilin malam. Sekalian saja, saya rajin mencuci batik tersebut dengan Lerak.

Tapi sekarang jadi balik bertanya, definisi produk dalam negeri itu seperti apa : merek lokal; dibuat di dalam negeri sendiri dan dihasilkan oleh SDM lokal; atau berarti menggunakan produk kerajinan UKM?

Padahal, sebut saja kita minum air mineral berlabel Aqua. Merek itu memang buatan lokal dan sumber bahan baku berasal dari mata air dalam negeri. Akan tetapi pemegang saham perusahaan kan Danone yang notabene perusahaan asing.

Semen memang berbahan baku gamping asli Sukabumi atau daerah di Indonesia lainnya. Namun apakah kita jadi tidak membangun rumah karena nama-nama pemodal asing seperti Holcim, HeidelbergCement, dan Cemex masuk di dalam jajaran pemegang saham perusahaan semen lokal?

Apa kamu, atas nama cinta dalam negeri, tidak mau memanfaatkan komunikasi via telepon selular gara-gara pemegang saham operator telekomunikasinya adalah negeri jiran dan pembangun jaringannya juga perusahaan asing? Padahal kamu tentu sudah merasakan hidup lebih mudah gara-gara yang namanya Handphone dan Internet.

Saya pribadi tentu tidak mau menukar kosmetik saya ke merek lokal demi cinta produk dalam negeri. Daripada muka saya jerawatan dan merah-merah gara-gara tidak cocok, lebih baik saya merogoh kocek untuk merek asing yang memang sesuai kulit saya.

Mungkin sebenarnya kompleks ya? Tidak sekadar slogan “Aku Cinta Produk Indonesia” yang rasanya itu sudah menjadi romantisme awal negara kemerdekaan. Dan kini kita hidup di dalam bumi yang mengenal istilah ‘kapitalis’, ‘liberalisme’, dan ‘pasar bebas’. Ketika mencomot barang belanjaan di gerai hipermarket tentu tidak (jarang) mempedulikan apakah itu dibuat oleh perusahaan PMA atau PMDN, apakah produsen taat bayar pajak. Yang penting cocok harga, cocok mutu, sesuai kebutuhan, lalu pindahkan ke keranjang belanja.

Tapi, bagaimana jika menjawab cinta tanah air dan nasionalisme melalui tidak melakukan illegal logging dan tidak membuang sampah sembarangan yang berujung pada banjir dan longsor.

Cara lain dengan meminimalkan pemakaian kantung plastik kresek dan siap sedia membawa tas tenteng dari bahan kain. Lebih memilih kemasan refill, dan mendaur ulang botol beling atau plastik untuk perangkat lain.

Tertib dalam mengantri dan tertib mematuhi perundang-undangan, maupun rambu lalu lintas. Memenuhi kewajiban membayar pajak dan juga agar pengemban uang pajak memanfaatkan dana tersebut dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat seperti slogannya.

Seandainya ada yang perhatian terhadap pembangunan ruang publik berupa taman, perpustakaan umum, scientific center dan gedung kesenian.

Apakah saya juga mesti berdamai dengan e-book gara-gara berjuta hektare pohon musti ditebang demi memenuhi kebutuhan kertas bahan baku buku, majalah, dan koran?

No comments: