Libur 5 hari di pertengahan Agustus kemarin membuat Saya kembali menyentuh dan membuka buku. Maklum, dengan alasan kesibukan kerja, Saya lebih cocok disebut hobi membeli ketimbang membaca buku. Untuk menyelesaikan 1 buku berbentuk novel mungkin Saya butuh waktu berbulan-bulan (bahkan ada buku yang sudah dibeli beberapa tahun sebelumnya, tapi sampai saat ini belum Saya baca!).
Pilihan saya membaca “Perempuan di Titik Nol” karya Nawal el-Saadawi. Ups, terlambat menjadi feminis? Ah, bukan. Saya membaca karya dokter perempuan asal Mesir itu sebagai penggemar sastra semata. Dan ini sentuhan pertama Saya dengan buah tulisan el-Saadawi yang memposisikan dirinya sebagai penulis & pengarang feminis.
Isi buku tentang wanita bernama Firdaus, seorang pelacur yang sedang menanti hukuman mati karena membunuh seorang germo (catat : jenis kelaminnya laki-laki). Ia justru menolak mengajukan grasi kepada presiden. Menurutnya, vonis ini justru merupakan satu-satunya jalan menuju kebebasan sejati.
Firdaus adalah perempuan yang sedari kecil tidak menerima perlakuan baik dari kaum lelaki. Pelecehan, perkawinan paksa supaya tidak jadi tanggungan sang Paman, dan setiap perlindungan harus dibayar dengan layanan tempat tidur. Belum lagi kekecewaan yang dialami saat jatuh cinta. Sang pujaan hati justru memilih menikah dengan putri direktur tempatnya bekerja. Yap, Firdaus kalah telak karena Ia cuma punya badan. Tidak harta, tidak nama orangtua untuk mengatrol jabatan si pria.
“Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur bebas daripada seorang istri yang diperbudak,” kata Firdaus. Tapi, mungkin Ia lupa berpikir kalau menjadi “Pelacur” ia tetap di bawah kuasa kaum pria. Dunia yang diciptakan kaum Adam dari adonan libido dan uang.
Hanya saja, mungkin menjalani profesi itu dianggap Firdaus yang terbaik bagi dirinya dari berbagai rangkaian kejadian yang dialami dalam hidupnya. Katakanlah Firdaus adalah contoh perempuan yang tidak punya kesempatan mengenyam pendidikan tinggi sehingga tidak bisa menjajal pekerjaan yang membutuhkan ijazah sekolah. Atau, dia pun tidak punya keterampilan yang bisa ditawarkan untuk menghasilkan uang. Kecuali jualan fisik…
Bukan disengaja, pada liburan yang sama, Saya juga menonton film “Human Trafficking.” Yap ide cerita tentang kasus penjualan perempuan. Mereka ditipu, diculik, dan diintimidasi untuk menjadi pemuas kaum pria! Bukan karena kesadaran diri sendiri. Nadia mengikuti lomba model dengan tawaran go internasional. Ternyata, ketika sampai di negeri Paman Sam, dijadikan pelacur dan pemeran video bokep. Helena yang bekerja siang malam demi anak dan ibunya, diiming-imingi cinta tapi kemudian disekap dan dipaksa untuk menjadi perek. Bahkan, seorang anak dibawah 17 tahun diculik untuk dijadikan pemuas bapak tua gembrot. Yaks!
Aduh, mengapa ada pria-pria yang tidak pakai akal seperti itu? Menipu remaja miskin dan menjadi kaya dari tangisan perempuan dan rusaknya masa depan seseorang? Atau, adakah pria pengguna yang akan melakukan wawancara terlebih dahulu sebelum ‘memakai’ sang perempuan? Apakah “Pemakai” sebelum “Memakai” bertanya mengapa dan bagaimana awalnya perempuan itu menjadi pelacur?
Saat liburan pula, Saya menonton berita dalam negeri, beberapa cewek ABG berhasil melepaskan diri dari sindikat penjual wanita berkedok tawaran kerja.
Kemiskinan adalah alasan terjadinya pelacuran. Rendahnya tingkat pendidikan dan pengangguran menjadi alasan seorang perempuan menjadi pelacur menjual badan. Tapi apa latar belakang ‘human trafficking’? Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya atau homo homini lupus?
Mungkin kepada pelaku penjualan harus ditanyakan, apakah ia keluar dari rahim perempuan? (Dalam tulisan ini saya lebih suka menyebut kata ‘perempuan’ ketimbang sinonim lainnya karena asal katanya adalah ‘empu’ yang mengandung pengertian penuh kehormatan dan kesaktian.)
Melacurkan otak = memberikan ide untuk kemajuan perusahaan tempat bekerja dan mendapat gaji setiap bulan; melacurkan tangan = punya usaha kerajinan dan menjadikannya benda menarik berdaya jual; adalah contoh-contoh ‘pelacuran’ dalam segi positif, tapi please bagaimana menghentikan pelacuran dalam konotasi asusila?
Dan malam ini, sebelum terlelap, saya menjadi mengucapkan syukur kepadaNya atas perlindunganNya. Jadi menghargai wajah standar saya tapi masih punya otak yang bisa dioperasikan, bisa melahirkan ide-ide dan dibayar untuk itu. Serta, bersyukur memiliki keluarga dan teman-teman yang menyayangi saya.
No comments:
Post a Comment