Tuesday, December 29, 2009

Pergi ke Panti Asuhan

Akmal mengintip dari balik tubuh Teteh. Mata nan bundar berusaha ingin tahu tentang siapa yang ada di depannya.
Lalu berturut-turut datang Rizka dan Kemal. Kepala pelontos Rizka membuat mata memandang mengira dirinya anak laki-laki. Minus anting-anting pula sebagai penanda anak perempuan. Hanya jika kita memandang raut wajahnya yang manis serta baju pink yang membalutnya siang itu menandakan dia perempuan.

“Kemarin ada benjolan seperti bisul di kepala. Jadi rambutnya kami potong supaya (bisulnya) gampang diobati,” kata Teteh.

Rizka dan Akmal pun beraksi di depan kami yang duduk di ruang tamu. Mereka mondar-mandir membawa tas sekolah ber-troli, kemudian kejar-kejaran bersama bocah tetangga yang datang menimbrung.

Teriakan mereka pun memecah konsentrasi saat bercakap-cakap, meski tak menyulut kemarahan. Senyum dan sapaan sesekali kuarahkan pada mereka. Rizka pun bereaksi tertawa dan mau mendekat. Hanya Akmal memilih melihat dari jauh, namun kami sadar dia mencari perhatian kami.

Akmal dan Rizka adalah anak penghuni suatu Panti Asuhan Yatim Piatu berada di Bogor. Meski tidak tinggal dan hanya kebetulan bermukim di sekitar panti, kisah Kemal pun tak kalah mengharukan. Ibunya meninggal tertabrak kereta api, dan sang ayah justru menikah lagi dengan wanita lain. Ibu tirinya kejam, senang memaki dan marah-marah, sehingga Kemal pun akhirnya diurus oleh sang kakek nenek di Bogor.

“Kemal sudah pintar mengaji tapi tak mau sekolah,” kata Teteh tentang si ikal berumur 4 tahun. Agh, mungkin tak ada orang yang mau menganyomi membujuk Kemal ke sekolah?

Siang itu saya ‘hanya’ mampir. Bocah-bocah lain penghuni panti yang total mencapai 15 anak sedang pergi memetik rambutan di kebun sekolah yang satu yayasan dengan panti itu.

Cari perhatian! Itu pendapat saya tentang mereka. Saya membayangkan diri ini hanya salah satu sosok yang datang dan pergi. Sama seperti puluhan tamu lain yang tertera di Buku Tamu, menghantarkan sesuatu dan berlalu.

Hari itu saya diketukkan sesuatu : Indahnya Berbagi dan Mengasihi.

Monday, December 14, 2009

Bekerja Keras

……”She is fantastic and I love her and I wish her the best,” Ellen told her audience. “She deserves to rest. She has worked really, really hard.”

Demikian komentar Ellen DeGeneres –pemandu acara talkshow bertitel sama dengan namanya- kepada para pemirsa acaranya, atas keputusan Oprah Winfrey untuk pensiun dan mengakhiri talkshow-nya pada 2011. Berakhirnya acara Oprah Show yang menginspirasi banyak orang ini sebagai penanda karier Oprah selama 25 tahun di dunia pertelevisian.

Pernyataan diatas membuat saya berpikir dan membalikkan kepada diri sendiri : sejauh mana kamu sudah bekerja maksimal hingga disebut orang lain “kamu telah bekerja keras?”

Kemudian, bekerja (sangat) keras tentu perlu memiliki hal-hal terukur sebagai penanda keberhasilan. Lalu, berapa lama kamu ingin bekerja dan pada usia berapa kamu menetapkan usia pensiun serta ingin menikmati buah pekerjaanmu selama ini.

Sensasi Rasa Ini

Sedang kangen rasa ini Kangen rasa semangat meletup
Kangen sensasi kupu-kupu menari di perutku
Menari dalam pusaran angin
Menyatu bersama semesta


Sedang merindu rasa rindu di suatu masa
Menganyam benang menjala asa
Ketika pendar di mata menyetrum ke dada


Sedang kangen rasa ini
Kangen saat kukecup dunia bersama senyum
Kini kududuk menikmati pajangan usang
Kusulut api menebar bara
Hilang …. berputar ke awal


* Perlu kembali ke titik nol *