Setelah renovasi rumah dan kamar berjalan lebih kurang 4 bulan, awal Mei lalu saya mulai “mengisi kamar”.
Pusat kebahagiaan baru saya di kamar itu adalah sebuah lemari buku berdiri manis di salah satu sudut kamar. Lemari buku ini barang lama milik mamaku kemudian dibetulkan dan dipernis oleh tukang kayu. Semula lemari kayu itu agak terkelupas, warna kayu yang redup dan tidak berpintu. Saya minta agar dipasangkan pintu kaca di lemari tersebut untuk meminimalkan penumpukan debu diatas permukaan buku-buku, karena saya alergi debu.
Kemudian permintaan saya yang lain kepada tukang kayu agar dipasangkan kunci pada pintu-pintu tersebut.
Saya menjadikan koleksi buku sebagai milik berharga. Daripada buku atau majalah berpindah ke tangan-tangan peminjam yang lupa mengembalikan, karena kamar jarang saya tempati, lebih baik lemari buku itu dikunci.
Sebelum punya lemari buku pribadi, koleksi hanya tersimpan di rak-rak kecil atau disimpan di dalam kardus. Minggu kemarin, dibantu beberapa asisten, kardus-kardus itu dimasukkan ke dalam kamar supaya saya gampang membuka dan menyusun isinya ke dalam lemari di waktu luang nanti.
Mang Sugi, salah seorang asisten, berceletuk, “Isi kardus ini semuanya buku, mbak?
“Ya,” jawabku.
“Dibaca semua mbak?”
“Iya,” jawabku lagi.
“Hebat. Bisa jadi Bu Guru. Kalau saya jadi guru, buku-buku ini pasti saya jual,” katanya.
LOL….kontan saya tertawa spontan mendengar celetukannya. Mungkin maksudnya, buku identik sebagai sumber ilmu. Guru pun sebagai sumber ilmu, biasanya punya banyak buku dan bahan referensi agar menjadi orang yang lebih pintar daripada murid.
Amin…amin.. kalau buku-buku yang banyak itu menjadikan benak saya berisi informasi dan pengetahuan. Tapi buku-buku kumiliki untuk dijual alias diloakkan?? Hmmm… saya masih susah melakukannya.