Saya : perempuan, umur 30-an dan belum menikah.
Dan lagi-lagi mendapat pertanyaan yang cukup standar, ”Sudah menikah atau belum?”
Nah, kebetulan yang bertanya adalah kenalan baru. Seorang perempuan yang mantan teman satu kantor sepupu saya. Kenalan via bbm, saya kira semula dia adalah penulis lepas yang ingin diperkenalkan oleh kawan saya, dan ternyata dia pun karena ingin menambah kawan yang terlink dalam jaring bbm group dibuat oleh sepupu saya.
Saya jawab pertanyaannya bahwa saya belum menikah.
Dia lalu melemparkan teks yang intinya kurang lebih: pasti kamu cantik dan pandai, hingga pandai milih-milih dan akhirnya belum married.
Dan kemudian menambahkan kata di bbm-nya ... ”Rasain...”
Ohohoho...secara pilihan kata, sangat ...sangat... judging under social culture. Walaupun bercanda atau bagi dia adalah standar berakrab diri? Entahlah.
Kenapa orang selalu menuding ”terlalu pilih-pilih” terhadap perempuan lain yang belum menikah di usia cukup umur?
Tanyakan kepada perempuan yang menikah, apakah dia melakukan pilihan terhadap pria sebelum melangkah ke pelaminan? Pacaran pun tahap pilih-pilih.
Tanyakan kepada perempuan yang menikah, apakah dia melakukan pilihan terhadap pria sebelum melangkah ke pelaminan? Pacaran pun tahap pilih-pilih.
Bukankah saat kita bangun tidur dan memilih baju yang akan dikenakan pun merupakan ”pilihan”? Memilih sepatu pun harus pas di kaki dan nyaman di kaki saat melangkah. Demikian pula dalam kehidupan kita pasti melakukan sejumlah pilihan.
Tetapi ketika menuding wanita yang belum menikah akibat dia terlalu pilih-pilih, itu berarti terlalu mengeneralisir keadaan.
Terlebih saya menyayangkan yang menyatakan ”terlalu pilih-pilih” adalah kaum sesama jenis dengan diri saya. Saya tidak marah. Saya hanya membalas perkatannya dengan menyatakan bahwa jalan hidup orang memang berbeda-beda. Saya dengan sepupu saya saja berbeda. Cerita cinta saya cukup menjadi konsumsi pribadi.
Tapi semoga dengan menuliskan ini memberi inspirasi kepada siapa saja dalam memandang pilihan menikah seseorang.
Saya yakin setiap wanita punya tahap seperti diri saya. Saat lahir pasti mengenal cinta dan kasih sayang keluarga, lalu masuk sekolah mengenal arti teman: ada teman berbagi dan merasa kehilangan ketika dia tiada. Kemudian beranjak ke masa puber ketika mengenal cinta antar lawan jenis, dan mencoba membangun mimpi-mimpi pribadi maupun bersama.
Ketika agama menyatakan bahwa menikah dan berpasangan-lah, pasti juga Tuhan ingin kita hidup bahagia dalam pernikahan. Jatuh cinta dan menikah pun menjadi satu pilihan. Akan tetapi, bayangkan jika sebelum menikah Anda telah menemukan ketidakcocokan prinsip atau perilaku? Atau apa Anda bakal mau melanjutkan ke pelaminan jika sebelum menikah pun pasangan Anda sangat posesif dan tidak bakal mendukung Anda mencapai mimpi-mimpi pribadi?
Itu sebagai contoh lho.... (Maaf kepada para mantan pengisi ruang hatiku: saya mengatakan ini bukan berarti menuding kalian pernah melakukan kekerasan fisik atau verbal. Mereka justru memperkaya otak dan pengalaman batinku. Tulisan di atas hanya mewakili pikiran saya secara umum.
Hanya saja langkah hubungan seseorang ada yang tidak seperti penutup dongeng “..and they live happily ever after.. the end”. Sebenarnya pendongeng malas meneruskan cerita kehidupan setelah perkawinan. *Smile*
Di abad 21 saat ini memang perjalanan kehidupan yang klasik tetap bertahan: lahir, sekolah, pacaran, menikah, lalu mati.
Akan tetapi, memang jalan hidup orang berbeda-beda. Mungkin ada orang (wanita) yang cukup smooth menjalani episode dari pacaran, menikah, lalu menjalani kehidupan berpasangan dan beranak cucu dengan lancar.
Balik kepada perempuan kenalan baru tersebut, dia berusia hampir 40 tahun, sudah menikah, punya anak 4 orang. Saya cuma tidak ingin menghabiskan energi negatif dengan menjelaskan bahwa saya punya kehidupan bahagia meskipun belum menikah.
Nasehat saya secara umum kepada rekan yang single: meski tidak atau belum menikah adalah hidup yang Anda jalani, coba lihat dari sisi positif : punya keluarga yang selalu menyayangi, sahabat sesama wanita yang selalu siap ’memeluk’ di saat gundah dan bahagia, dan pasti tetap ada rekan lawan jenis yang mencerdaskan dan membuatmu menerapkan istilah ”di balik wanita tangguh, ada pria yang menginspirasi” .
Dan teman-teman, coba biasakan mulai sekarang jangan judging under social culture terhadap orang lain yang belum menikah di usia matang. Mungkin saja si rekan belum menikah punya sejumlah alasan mengapa demikian: memang bahagia dengan pilihan hidupnya, memang menemukan ”belang” calon pasangan hidup yang tidak mungkin dikompromikan, sedang mengejar mimpi lain (karir atau sekolah lagi), ingin membahagiakan kedua orangtua dulu, anti-berbagi kasur tidur, sedang giat mengumpulkan duit untuk membeli rumah, telah divonis dokter tidak bisa memiliki anak dan belum bertemu pria yang siap tidak memiliki keturunan dalam pernikahan, ........... (silahkan isi titik-titik dengan jawaban telaah positif dan empati).