Suatu Minggu siang di halte Transjakarta Salemba UI. Saat itu tengah hari bolong di suatu musim
panas. Suasana di dalam halte relatif sepi, hanya ada dua orang petugas karcis
di dalam loket, beberapa penjaga plang pintu dan nyaris tidak ada penumpang
lain sedang menunggu TransJakarta.
Saya bertanya ke salah seorang bapak penjaga palang pintu.
“Pak, ada yang ke Atrium Senen?”
“Ada. Nanti naik aja bis yang abu-abu panjang.”
Oke. Saya pun masuk setelah kartu e-money berhasil diproses di mesin pembaca kartu. Menanti tidak
pasti memang bikin resah. Saya pun tidak sabar setiap kali ada busway abu-abu
berhenti. Sebagai bukan pengguna rutin moda bus khas ibukota ini, tapi definisi
“yang panjang” tidak tergambar jelas di benak ini.
Setiap TransJakarta berhenti di halte, saya akan bertanya ke
kondektur bus yang biasanya akan berdiri di samping pintu bus TransJakarta saat
pintunya terbuka. Dan jawabannya cuma pendek, “Bukan.”
Sudah dua bus abu-abu berlalu dan bukan “si panjang”. Lalu dua
remaja putri yang berpenampilan meyakinkan, definisi ‘meyakinkan’ bagi saya: sepertinya
sudah pakar dengan moda transportasi TransJakarta.
“Mbak, kalau yang ke Atrium Senen yang mana ya?”
“Oh yang bus-nya cakep, mbak”
(melongo)... Ini
rasanya makin blunder, batinku.
Akhirnya, TransJakarta merah-kuning (yang belakangan saya
ketahui menuju Gunung Sahari-Mangga Dua) lewat, dan ketika saya mengajukan
pertanyaan sama, mbak petugas pintu di dalam busway menarik saya dan mengatakan
nanti turun saja di Halte Senen untuk kemudian berganti dengan yang ke arah
Atrium Senen.
Dan....akhirnya setelah turun di Halte Senen Sentral, saya
pun mengerti yang dimaksud ‘si abu-abu panjang’ adalah TransJakarta berwarna abu-abu berbentuk bus gandeng.
*tepok jidat* Hadeh, ternyata miskomunikasi kata nih.. akibat asumsi dan pemahaman yang tidak berada dalam satu jalur yang sama :D