Hujan selalu membawa lamunan.
Ketika di dalam taksi, menikmati kemacetan jalan raya di Jumat malam jam 20.00
wib lebih. Iya. Nikmati saja daripada kesal hanya membawa sesak dada.
"Masih di kantor kamu?"
Whatsapp ini pertanyaan senada hampir setiap malam. Kecuali di akhir
pekan.
Mungkin ini nasib kisah kasih orang dewasa di belantara
Jakarta. Bukan lagi tentang tanya lagi dimana kah, sudah makan kah, bukan pula
tentang betapa 'what the hell' hari ini.
Kesibukan kerja. Kemacetan Jakarta. Tidak ada curhat
tentang kerja yang rempong. Karena daripada ngomong dan berbagi omelan, mending
diatasi.
Waktu yang singkat bagi kami terlalu sayang untuk digilas
emosi gara-gara masalah ga penting. Masalah itu ga selesai dengan curhat, tapi
dengan aksi dan hati yang lapang.
Kerjakan dan temukan solusi. Dia juga turut membantu
mengubah sifat kewanitaanku yang tukang gerutu dan berceloteh lepas.
Sebenarnya Saya mau cerita apa?
Tidak ada.
Hanya sekadar menikmati sisa hujan, kemacetan jalan raya.
Hanya sepenggal kisah kecil menunjukkan diri ini berubah.
Termasuk dalam cara menikmati hujan.
Hujan telah berkali-kali menjadi sumber inspirasi menulis.
Hujan bak derai tangis langit yang hendak melarungkan debu dan kotoran ke antah
berantah. Namun derai air dari langit sangat spesial untuk menjadi pembangkit
cerita.
Jakarta,
Jumat 12 Februari 2016