Suatu Sabtu pagi di tempat kursus.
Sembari beristirahat, Saya berpikir untuk tahu berita hari ini. Anak perempuan beranjak remaja, memeluk tumpukan koran di lengan. Saya menghampiri dia dan seraya menyebutkan nama sebuah surat kabar. Ia mengambilkan dan dalam jarak dekat, ia berbicara sebagai berikut, "Kakak bisa bantu Saya? Saya belum bayar uang sekolah."
Perempuan itu menanyakan hal yang tidak kusangka di sabtu pagi.
Di suatu hari di awal puasa, saat otak masih miskin oksigen dan kata hati sebenarnya lebih memilih tempat tidur ketimbang tempat belajar.
Ia bukan mencoba menawarkan nama koran atau majalah lain sebagaimana biasa penjaja koran/majalah lakukan.
Pertanyaan yang dilontarkannya membuat otak 'metropolitan' Saya 'bekerja'.
Benarkah omongan anak ini?
Bertahun-tahun di kota Jakarta membuat Saya kebal (atau alergi?) dengan segala bentuk minta-minta, sumbangan, sedekah. Saya menjadi imun dan memprogram hal tersebut sebagai bentuk memanipulasi rasa belas kasihan.
Minta uang untuk beli nasi hari ini, tapi masih bisa membuat tatoo di badan.
Ngamen kok pakai giwang emas?
Saya saja polos tanpa perhiasan. Selain cari aman, memang saya belum punya alokasi khusus untuk membeli aksesori yang katanya berhias sambil berinvestasi itu.
Kembali pada si remaja tanggung tadi.
Mengapa dia 'memilih' Saya?
Apa Saya punya tampang 'welas asih'? Atau punya penampilan seorang filantropi?
Yang Saya lakukan hanyalah mengatakan, "Maaf ya nggak bisa bantu. Ini ambil saja sisanya buat kamu (sambil menyerahkan selembar rupiah yang nominalnya lebih besar daripada harga koran yang Saya ambil)."
Dan...Saya segera berlalu.
Hanya saja, Saya tidak bisa menghapus bayangan perempuan tanggung berambut terurai itu. Dirinya tercampur dengan materi listening dan reading yang Saya terima saat itu. "Kalau dia cuma cari duit untuk senang-senang, kenapa dia masih mau 'susah' menawarkan koran?" tanya Saya dalam hati. Kenapa tidak 'jual' suara saja atau -lebih gampang- ngamen di bis kota sembari membagikan amplop putih bertuliskan "mohon bantuan untuk bayar uang sekolah?"
Berbuat baik jangan dengan pikiran yang membuntuti.
Ikhlas.
Dan, kalau diri Saya menganggap diri sendiri dalam kategori 'susah' atau 'sulit (ekonomi sulit)', tapi Saya masih bisa mengharumkan tubuh dengan merek parfum luar negeri setiap hari. Bukan body cologne yang harganya paling-paling puluhan ribu.
Kalau Saya kategori 'susah', mengapa Saya masih bisa 'membuang' lembaran puluhan ribu untuk secangkir Macchiato? Atau double Kahlua?
Atau mengagendakan perawatan rambut dan kulit secara teratur?
Dan berbagai agenda hang-out di sela rutinitas kerja.
Dua jam kemudian, Saya melewati kembali tempat anak itu berjualan. Tapi, perempuan berambut terurai itu sudah tidak ada lagi.
Masih bisakah Saya bertemu anak tersebut minggu depan di tempat yang sama?
Saya seolah kehilangan kesempatan emas.
Bagaimana kalau cerita anak berambut terurai itu benar adanya?
Bagaimana kalau benar adanya dia tidak bisa membayar uang sekolah, dia drop-out dan berakhir seperti perempuan-perempuan di Kramat Tunggak, Pasar Kembang, sudut Simpang Lima di malam hari? (suatu kisah klasik...)
Saya berharap masih dapat bertemu dengan perempuan tanggung berambut terurai itu di minggu ini, di tempat yang sama.
Saya berharap masih punya kesempatan untuk mendengar kisahnya, bertanya namanya, sekolah di mana, agar intuisi Saya bekerja dan mengambil kesimpulan.
Memberi, memberi atau memberi?
Tuesday, October 11, 2005
Friday, October 07, 2005
You’re the Owner of My Heart
Pernahkah kamu jatuh cinta dengan cara berbeda?
Mmm......maksudku, tetap ada yang sama. Namun, ada yang lain.
Yang sama : jantung berdebar-debar, hari selalu cerah dan senyum selalu tersungging.
Yang berbeda, kini saya merindukan pagi.
Merindukan kecupan dan rengkuhan.
Merindukan dia.
Kalau kamu 'click' dengan seseorang, katanya jangan lagi tunda sampai malam menjelang.
Saya rindu rumah untuk bersarang.
Bersama dia yang menyejukkan.
Apakah dia sadar bahwa saya merasa dia adalah 'mentari pagi-ku'?
Mmm......maksudku, tetap ada yang sama. Namun, ada yang lain.
Yang sama : jantung berdebar-debar, hari selalu cerah dan senyum selalu tersungging.
Yang berbeda, kini saya merindukan pagi.
Merindukan kecupan dan rengkuhan.
Merindukan dia.
Kalau kamu 'click' dengan seseorang, katanya jangan lagi tunda sampai malam menjelang.
Saya rindu rumah untuk bersarang.
Bersama dia yang menyejukkan.
Apakah dia sadar bahwa saya merasa dia adalah 'mentari pagi-ku'?
Monday, October 03, 2005
Dimana Bisa Beli Percaya Diri?
Kata teman, Saya seorang narsis.
Tapi menurut Saya, itu beda tipis dengan Percaya Diri.
Dan sepertinya Saya belum punya yang namanya Percaya Diri.
Seseorang mengatakan, “Kamu punya kemampuan. Kenapa tidak Percaya Diri, sih?”
Saya lahir sebagai perempuan. Mau tidak mau, selama bumi berputar, orang menempati kecantikan fisik perempuan pada prioritas lebih dibanding terhadap pria.
Dan, Saya lahir dengan yang apa yang disebut manusia “cacat fisik.”
Tapi, Saya lahir dengan otak normal. Maka sedari kecil Saya tahu, Saya harus menggunakan otak Saya. Bukan fisik Saya.
Saya pernah bikin patah hati seorang perempuan.
Karena katanya Saya merebut pacarnya.
Namun, Saya juga pernah menjadi obyek taruhan.
Makanya, Saya bangun benteng keangkuhan.
“Meski Saya begini, Saya bukan untuk dipermainkan,” batin Saya.
Saya tetap tidak bisa menipu diri.
Saya meninggikan dagu. Ketika melihat orang memandang diri Saya, Saya langsung merasa : Pasti orang itu dalam hatinya tengah mengasihani Saya karena Saya lahir “begini.”
Lelaki tetap memilih perempuan lain.
Mungkin mereka lebih butuh yang enak dipandangi dan dinikmati.
Bukan otak Saya yang mungkin bisa memperbaiki keturunan mereka.
Mungkin Saya dalam daftar “teman kencan.” Bukan dalam daftar “pasangan hidup (baca : istri).”
Makanya, sedari kecil Saya tidak suka Cinderella, Putri Salju, atau aneka dongeng yang senantiasa menggunakan kalimat, “Kemudian, putri cantik dan pangeran tampan hidup bahagia bersama selama-lamanya.”
Logika Saya menolak. “Kenapa hanya orang cantik dan ganteng saja yang berhak punya nasib bagus?”
Saya lebih memilih bermimpi menjadi anggota Fantastic Four, atau Putri Leia dari Star Wars, atau Emma Peel dari film ‘The Avengers’.
Bolehkah Saya marah kepada Tuhan?
Saya bertanya mengapa Saya lahir begini dan Ia tidak menjawab.
Saya menyusun rencana dan Ia juga menggagalkan rencana Saya.
Heran?
Lihat nilai Agama di rapor Saya. Tapi itu sekedar angka.
Namun, sekarang Saya menelaah dari sudut pandang berbeda.
Bukankah Ia baik hati memberikan Saya kecerdasan?
Karena kecantikan fisik akan keriput tersapu usia.
Ia memberikan Saya orangtua dan saudara-saudara yang melindungi dan menyayangi Saya.
Dia tidak sedang bad mood ketika menciptakan diriku.
Mungkin supaya Saya tidak sombong.
Supaya Saya bertutur kata manis dan berperilaku baik.
Memiliki empati.
Kalau tidak demikian, apa lagi yang dilihat dari Saya?
Oke, sekarang Saya ‘berdamai’ dengan Tuhan.
Saya minta maaf kepadaNya.
Tapi bagaimana ‘mencuci otak’ Saya supaya Saya Percaya Diri?
Ada yang mengatakan kebahagiaan tidak terbeli dengan uang.
Apakah orang tersebut bisa menjawab pertanyaan Saya, “Dimana Saya bisa beli Percaya Diri?”
Tapi menurut Saya, itu beda tipis dengan Percaya Diri.
Dan sepertinya Saya belum punya yang namanya Percaya Diri.
Seseorang mengatakan, “Kamu punya kemampuan. Kenapa tidak Percaya Diri, sih?”
Saya lahir sebagai perempuan. Mau tidak mau, selama bumi berputar, orang menempati kecantikan fisik perempuan pada prioritas lebih dibanding terhadap pria.
Dan, Saya lahir dengan yang apa yang disebut manusia “cacat fisik.”
Tapi, Saya lahir dengan otak normal. Maka sedari kecil Saya tahu, Saya harus menggunakan otak Saya. Bukan fisik Saya.
Saya pernah bikin patah hati seorang perempuan.
Karena katanya Saya merebut pacarnya.
Namun, Saya juga pernah menjadi obyek taruhan.
Makanya, Saya bangun benteng keangkuhan.
“Meski Saya begini, Saya bukan untuk dipermainkan,” batin Saya.
Saya tetap tidak bisa menipu diri.
Saya meninggikan dagu. Ketika melihat orang memandang diri Saya, Saya langsung merasa : Pasti orang itu dalam hatinya tengah mengasihani Saya karena Saya lahir “begini.”
Lelaki tetap memilih perempuan lain.
Mungkin mereka lebih butuh yang enak dipandangi dan dinikmati.
Bukan otak Saya yang mungkin bisa memperbaiki keturunan mereka.
Mungkin Saya dalam daftar “teman kencan.” Bukan dalam daftar “pasangan hidup (baca : istri).”
Makanya, sedari kecil Saya tidak suka Cinderella, Putri Salju, atau aneka dongeng yang senantiasa menggunakan kalimat, “Kemudian, putri cantik dan pangeran tampan hidup bahagia bersama selama-lamanya.”
Logika Saya menolak. “Kenapa hanya orang cantik dan ganteng saja yang berhak punya nasib bagus?”
Saya lebih memilih bermimpi menjadi anggota Fantastic Four, atau Putri Leia dari Star Wars, atau Emma Peel dari film ‘The Avengers’.
Bolehkah Saya marah kepada Tuhan?
Saya bertanya mengapa Saya lahir begini dan Ia tidak menjawab.
Saya menyusun rencana dan Ia juga menggagalkan rencana Saya.
Heran?
Lihat nilai Agama di rapor Saya. Tapi itu sekedar angka.
Namun, sekarang Saya menelaah dari sudut pandang berbeda.
Bukankah Ia baik hati memberikan Saya kecerdasan?
Karena kecantikan fisik akan keriput tersapu usia.
Ia memberikan Saya orangtua dan saudara-saudara yang melindungi dan menyayangi Saya.
Dia tidak sedang bad mood ketika menciptakan diriku.
Mungkin supaya Saya tidak sombong.
Supaya Saya bertutur kata manis dan berperilaku baik.
Memiliki empati.
Kalau tidak demikian, apa lagi yang dilihat dari Saya?
Oke, sekarang Saya ‘berdamai’ dengan Tuhan.
Saya minta maaf kepadaNya.
Tapi bagaimana ‘mencuci otak’ Saya supaya Saya Percaya Diri?
Ada yang mengatakan kebahagiaan tidak terbeli dengan uang.
Apakah orang tersebut bisa menjawab pertanyaan Saya, “Dimana Saya bisa beli Percaya Diri?”
Subscribe to:
Posts (Atom)