Tuesday, October 11, 2005

Semoga Masih Ada Kesempatan (Bertemu Perempuan Berambut Terurai itu)

Suatu Sabtu pagi di tempat kursus.
Sembari beristirahat, Saya berpikir untuk tahu berita hari ini. Anak perempuan beranjak remaja, memeluk tumpukan koran di lengan. Saya menghampiri dia dan seraya menyebutkan nama sebuah surat kabar. Ia mengambilkan dan dalam jarak dekat, ia berbicara sebagai berikut, "Kakak bisa bantu Saya? Saya belum bayar uang sekolah."

Perempuan itu menanyakan hal yang tidak kusangka di sabtu pagi.
Di suatu hari di awal puasa, saat otak masih miskin oksigen dan kata hati sebenarnya lebih memilih tempat tidur ketimbang tempat belajar.

Ia bukan mencoba menawarkan nama koran atau majalah lain sebagaimana biasa penjaja koran/majalah lakukan.

Pertanyaan yang dilontarkannya membuat otak 'metropolitan' Saya 'bekerja'.
Benarkah omongan anak ini?
Bertahun-tahun di kota Jakarta membuat Saya kebal (atau alergi?) dengan segala bentuk minta-minta, sumbangan, sedekah. Saya menjadi imun dan memprogram hal tersebut sebagai bentuk memanipulasi rasa belas kasihan.
Minta uang untuk beli nasi hari ini, tapi masih bisa membuat tatoo di badan.
Ngamen kok pakai giwang emas?
Saya saja polos tanpa perhiasan. Selain cari aman, memang saya belum punya alokasi khusus untuk membeli aksesori yang katanya berhias sambil berinvestasi itu.

Kembali pada si remaja tanggung tadi.
Mengapa dia 'memilih' Saya?
Apa Saya punya tampang 'welas asih'? Atau punya penampilan seorang filantropi?

Yang Saya lakukan hanyalah mengatakan, "Maaf ya nggak bisa bantu. Ini ambil saja sisanya buat kamu (sambil menyerahkan selembar rupiah yang nominalnya lebih besar daripada harga koran yang Saya ambil)."
Dan...Saya segera berlalu.

Hanya saja, Saya tidak bisa menghapus bayangan perempuan tanggung berambut terurai itu. Dirinya tercampur dengan materi listening dan reading yang Saya terima saat itu. "Kalau dia cuma cari duit untuk senang-senang, kenapa dia masih mau 'susah' menawarkan koran?" tanya Saya dalam hati. Kenapa tidak 'jual' suara saja atau -lebih gampang- ngamen di bis kota sembari membagikan amplop putih bertuliskan "mohon bantuan untuk bayar uang sekolah?"

Berbuat baik jangan dengan pikiran yang membuntuti.
Ikhlas.
Dan, kalau diri Saya menganggap diri sendiri dalam kategori 'susah' atau 'sulit (ekonomi sulit)', tapi Saya masih bisa mengharumkan tubuh dengan merek parfum luar negeri setiap hari. Bukan body cologne yang harganya paling-paling puluhan ribu.
Kalau Saya kategori 'susah', mengapa Saya masih bisa 'membuang' lembaran puluhan ribu untuk secangkir Macchiato? Atau double Kahlua?
Atau mengagendakan perawatan rambut dan kulit secara teratur?
Dan berbagai agenda hang-out di sela rutinitas kerja.

Dua jam kemudian, Saya melewati kembali tempat anak itu berjualan. Tapi, perempuan berambut terurai itu sudah tidak ada lagi.
Masih bisakah Saya bertemu anak tersebut minggu depan di tempat yang sama?
Saya seolah kehilangan kesempatan emas.
Bagaimana kalau cerita anak berambut terurai itu benar adanya?
Bagaimana kalau benar adanya dia tidak bisa membayar uang sekolah, dia drop-out dan berakhir seperti perempuan-perempuan di Kramat Tunggak, Pasar Kembang, sudut Simpang Lima di malam hari? (suatu kisah klasik...)

Saya berharap masih dapat bertemu dengan perempuan tanggung berambut terurai itu di minggu ini, di tempat yang sama.
Saya berharap masih punya kesempatan untuk mendengar kisahnya, bertanya namanya, sekolah di mana, agar intuisi Saya bekerja dan mengambil kesimpulan.
Memberi, memberi atau memberi?

No comments: