Wednesday, October 24, 2007

Selamat Jalan, Mbah Dauzan...

Saya ‘mengenal’ dirinya dari Kompas tahun 2004. Dan dari posting milis yang dikirimkan oleh teman, saya mengetahui bahwa beliau meninggal. Beliau yang kumaksud adalah Dauzan Farouk, sosok yang dikenal dengan Perpustakaan Keliling Majalah dan Buku Keliling Bergilir (MABULIR) meninggal di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada Sabtu pagi (6/10/2007).

Bapak delapan putra-putri kelahiran Kampung Kauman, Yogyakarta pada 1925 itu, mendirikan Mabulir karena terinspirasi dari masa kecilnya membantu ayahnya, H. Muhammad Bajuri, yang mengelola Taman Pustaka Muhammadiyah pada zaman sebelum Indonesia Merdeka.

Sosok yang saya lihat di media cetak nasional pada 3 tahunan lalu, saat itu sudah ringkih termakan usia. Namun, sebagai bookaholic, saya terpesona dengan “perjuangannya”. Pada tahun 1989 Mbah Dauzan menghabiskan uang pensiun veteran sebesar Rp 500.000 untuk membeli buku kemudian mendirikan perpustakaan bergilir bernama Mabulir. Mbah Dauzan pun berkeliling kota Gudeg mengedarkan buku-bukunya secara gratis.

Setiap hari sejak bangun tidur, lelaki tua itu membaca buku, merapikan dan memperbaiki sampul sebagian buku-bukunya yang mulai rusak. Aktifitas meminjamkan aneka buku dilakukannya sore hari dengan bersepeda atau naik bis kota. Ia mendatangi kelompok bermain anak, siswa-siswa di sekolah, remaja mesjid, dan pemuda Karang Taruna. Kelompok pengajian, tukang becak yang tengah mangkal, bahkan para ibu penjual di pasar-pasar, tak luput menjadi ‘sasaran’ untuk dipinjami buku secara gratis.

Konsistensinya membuahkan penghargaan seperti Nugra Jasadarma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional tahun 2005 , Paramadina Award 2005 dan Lifetime Achievement Award dari Sabre Foundation, sebuah NGO di Massachusetts, Cambridge. Pada April 2007 di acara World Book Day Indonesia, Mbah Dauzan Farouk mendapat gelar sebagai Pejoeang Literasi Indonesia.

Tapi tentu bukan penghargaan yang Mbah Dauzan cari. Namun tentu ini adalah kata hati yang direalisasikan dalam bentuk nyata untuk suatu nilai yang tidak kuantitatif.

Saat kecil, saya memang lumayan hidup berkecukupan aneka buku dari orangtua. Mulai dari buku pengetahuan umum, biografi ringan, komik-komik, buku dogeng, maupun majalah dan Koran. Saat berkunjung ke perpustakaan daerah saya sempat berkomentar dalam hati, “Lho, ternyata masih lebih menarik koleksi buku di rumah saya.” Tapi mohon maaf kepada siapapun yang tersinggung pada pikiran saya saat itu, karena saya baru sadar setelah beranjak dewasa bahwa tidak semua orang bernasib seperti saya. Orangtua saya, meski kondisi hidup bukan terbilang mewah, namun masih meluangkan uangnya untuk menambah khazanah pengetahuan semua anak-anaknya. Selain itu, saya kebetulan mengenyam pendidikan dari sekolah dasar hingga menengah atas di sekolah yang perpustakaan nya memadai dari segi fisik ruangan maupun koleksi.

Akan tetapi, tentu tidak semua bisa seperti saya kecil. Ongkos produksi buku yang terus menerus melambungkan harga jual, begitu banyak pilihan buku yang tidak bisa diikuti kondisi finansial, atau karena kebutuhan primer yang mau tidak mau harus dicukupi sehingga buku menjadi prioritas tersier, masalah aksesbilitas bacaan, dan problematika mencerdaskan bangsa, tentu menjadi salah satu dari sekian banyak alasan mengapa kita membutuhkan banyak Mbah Dauzan.

Mbah Dauzan selalu membaca semua buku sebelum dipinjamkan kepada para pelanggan, walaupun untuk membacanya harus menggunakan kaca pembesar, sebagai bentuk ingin memberikan bacaan yang terbaik.

Lelaki yang tidak menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Sastra Timur Universitas Gadjah Mada itu telah mengambil peran dalam mencerdaskan manusia melalui buku bacaan yang dipinjamkan dari satu tangan ke tangan lain. Namun satu hal yang harus diingat pula, ketika berurusan dengan ‘pinjam meminjam buku’ maka problem lainnya adalah kadang pembaca buku tidak memperlakukan buku dengan layak. Pernah menemukan buku perpustakaan yang disobek pada halaman tertentu? (Bahkan saya pernah menemukan hal ini di koleksi skripsi S1 di perpustakaan). Pernah mendapat buku yang dikembalikan dalam kondisi lecek, keriting, atau, lebih parah, terkena minyak? Nah, saatnya kita juga memulai menumbuhkan semangat “Sayang Buku”. Meski itu bukan milik kamu pribadi.

Namun, sosok seperti Mbah Dauzan tidak berpikir materi. Ia meminjamkan dengan sistem bergilir, yang disebutnya sebagai sistem multilevel reading. "Mengelola perpustakaan keliling adalah bisnis dengan keuntungan abstrak. Landasannya kepercayaan sehingga aturannya tidak perlu birokratis. Dagangan Tuhan. Tidak perlu ada KTP atau apa.
Sesama manusia saudara, harus bisa dipercaya," ujarnya seperti dikutip dari Kompas.

Perjuangan Mbah Dauzan telah berhenti hingga hembusan nafas terakhir dan jazad dimakamkan di Makam Pejuang 45, Gamping Sleman Yogyakarta. Selamat jalan Pejuang Literasi Indonesia….

(sebagian sumber tulisan dikutip dari www. muhammadiyah. or.id dan Kompas)

Sunday, October 21, 2007

Merenungi Hidup (Umur Tambah Setahun)



Selang sehari setelah hari ulangtahun, Saya justru jatuh sakit. Dimulai dari demam, dan diikuti perut perih. Kukira radang tenggorokan biasa, hingga akhirnya perutku semakin melilit (hm, kurasa maag kambuh), pusing, dan lemas.

Hingga membuat diriku merasakan terbaring di IGD rumah sakit. Pertama kalinya merasakan jarum infus membantu pemulihan cairan di dalam tubuh.

Membuat saya ingat bahwa lagi-lagi saya belum menghargai hidup. Si kopi addict ini masih melanggar aturan, dan masih ‘bermain-main’ dengan hembusan nafas karunia Tuhan. Ia ‘menampar’ diriku kalau saya perlu merawat diri, belum banyak rencana yang kurealisasikan, dan semua itu bakal tak terwujud jika kesehatan tidak dijaga.

Tambah usia artinya tambah bijak, tambah cantik, tambah banyak rezeki, tambah tabah dalam cobaan. Semua harap itu pasti akan direstui olehNya.

Hehehe… terima kasih kepada orangtua, kakak, abang, keponakan, sahabat-sahabat, mantan teman kuliah, maupun teman kantor yang mengucapkan selamat ulang tahun kepada diriku. Terima kasih atas doanya :)

Friday, October 19, 2007

Aku dan Bintang (Berharap Bertaut)



Aku dan Bintang terpisah rentang
Berharap bercengkerama di padang ilalang
Menikmati kelam, mengecup kasih
Berteman langit malam

Aku dan Bintang tengah mengatup harap
Menyebutkan satu permintaan
Semoga kisah ini abadi

Aku dan Bintang bertemu di padang ilalang
Merajut mimpi, mengait degup
Hingga sang mentari membunuh ksatria kejora

Monday, October 01, 2007

Mumet

Tik tok
Tik tok
Sejumlah menit berganti jam
Tampilan layar di depan mata masih kosong
Tiada kata terpampang
Agh! Ga punya ide nih!

Maaf, Kalau Blog Ini Lama Dikosongkan

Maaf kalau blog ini lama dikosongkan.
Bukan saya melupakan ranah pribadi tempat mencoret-coret segala yang saya mau.
Cuma karena keterbatasan net, tidak punya ide, dsb....