Friday, July 11, 2008

Idealisme Bersama Sekotak Nasi

Dalam posting di milis/blog Mas Rio dari Trans TV membuat saya tertarik mengomentari. Ia menuliskan (saya singkat saja) pada rapat program Reportase Sore, Rabu (25/6/08) memberi teguran keras kepada reporternyaTrans TV, yang meliput sidang pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, dalam kasus Artalyta Suryani.

Artalyta dituduh memberi suap senilai sekitar Rp 6 miliar kepada jaksa, yang menangani penyelesaian kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Artalyta bahkan diduga juga sudah menyuap banyak pejabat Kejaksaan lain.

Dalam berbagai sidang pengadilan yang menghadirkan Artalyta, wanita itu selalu tampil rapi dan cantik. Bahkan, ia juga membagi-bagikan paket makanan untuk pengunjung persidangan, termasuk para wartawan yang meliput, sebagai bagian dari aksi mencari simpati.

Sekarang memang banyak wartawan muda yang cerdas dan pintar, sebagai hasil pendidikan perguruan tinggi dan kemajuan teknologi informasi yang semakin canggih. Namun, sayangnya, banyak di antara mereka tidak atau belum paham tentang “lika-liku permainan” pembentukan citra di media, yang sering dimainkan justru oleh para tersangka kasus korupsi, atau pihak-pihak yang sedang berurusan dengan hukum.

Etika jurnalistik, tentang prinsip menjaga jarak dan independensi dari narasumber (apalagi narasumber yang terkait kasus korupsi), tampaknya juga belum terlalu dihayati. Menikmati paket makanan dari Artalyta mungkin juga dianggap hal biasa saja, dengan alasan “berita toh tidak akan terpengaruh hanya oleh memakan sekotak nasi.”


Pengaruh dari era kebebasan informasi, teknologi informasi (TI), dan pengaruh televisi yang menunjukkan para presenter/reporter cantik/ganteng dan (seolah) cerdas dan kritis, menjadi salah satu poin daya tarik bagi kaum muda untuk terjun ke dunia media massa. Ini berbeda dgn kondisi dulu ketika profesi 'wartawan' bukan pilihan utama. Kadang dipandang karena tidak ada kesempatan bekerja di tempat lain, makanya masuk ke dunia ini. Image saat saya masuk ke dunia jurnalistik masih stereotipe : bakal digebukin aparat, miskin ga bisa kaya.

Memang reporter muda atau wartawan/jurnalis sekarang adalah anak-anak cerdas. Ini tentu hasil pengaruh kondisi masyarakat era 80-an yang lebih baik sehingga gizi anak-anak pun lebih bagus. Saya asumsikan anak muda yg terjun ke dunia cetak/tv/radio sekarang kan lahir di tahun 80-an.

Selain itu, mereka dari perguruan tinggi terkenal dengan penguasaan ketrampilan lebih handal. Bisa bahasa Inggris (atau malah menguasai lebih dari 1 bahasa asing), aktif di kampus, dan ada pula jebolan perguruan tinggi luar negeri. Sehingga, dengan banyaknya peminat, HRD industri media pun memiliki banyak pilihan untuk seleksi karyawannya.

Akan tetapi, mereka berangkat dgn idealisme yang berbeda (atau hilang)? karena kondisi skrng juga berbeda. Dulu, mungkin, kondisi represif dr pemerintah justru memacu semangat kebenaran, namun kondisi skrng tentu berbeda. Era TI memudahkan kita dapat sumber referensi bahkan berhubungan dengan narasumber melalui media e-mail, YM, atau tinggal klik situs resmi perusahaan untuk mencari latar belakang atau siaran pers.

Saya ingat masa-masa awal menjadi wartawan di sebuah koran ekonomi. Setiap jam 10.00 wib, saya dan teman-teman wartawan lain yang juga rata-rata fresh graduate harus cabut dari kantor. Masalah utama karena seorang redaktur senior kami bakal menegur seandainya lewat dari jam segitu kami masih di kantor. Misalkan, ”Eno, kamu kok masih di kantor? Cari dong berita di luar sana!” kata si redaktur senior yang sudah ubanan itu.

Saya dan teman-teman sebenarnya tertawa degan kelakuan bos saya tersebut yang masih beranggapan wartawan harus ke lapangan mencari berita. ”Ya ampun! Hari gini bos, kita kan bisa nelpon narasumber via handphonenya, kirim email bahkan pada narasumber TI mereka senang wawancara melalui chatting.”

Akan tetapi, memang tidak sepenuhnya bos saya yang beda zaman itu salah. Di ’lapangan’ kita mengenal teman seperjuangan alias rekan reporter dari media lain. Dari mereka kadang kita mendapat ilmu, belajar cara berinteraksi dan teknik wawancara, kondisi berita yang sedang bergulir, hingga adanya acara di suatu tempat yang bisa kita liput.

Lapangan adalah ’medan gerilya’ mencari berita sebenarnya, dan bukan di belakang meja.

Kemajuan Public Relation (PR) pun berpengaruh. Sekarang mereka bukan lagi menyodorkan amplop, tapi bentuk-bentuk lain atau perhatian yg mungkin kl dinominalkan akan setara dgn duit yg diselipkan di amplop.

Saya sendiri selama 4,5 thn berstatus wartawan jg jadi belajar dr pengalaman.Pernah ada PR yang sangat baik hati dan -saya kira- mereka/dia baik kepada saya krn kami tidak sekadar kenal dan profesional. akan tetapi akrab di luar kerja. Namun, ternyata, ketika saya tidak berstatus wartawan di desk yg kebetulan dia tdk gawangi dr sisi PR, maka saya pun 'didepak'. Sakit hati? Lumayan walaupun ga inget2 banget sama 'teman' itu krn masih banyak rekan-rekan di liputan yg lebih tulus. Ia tetap saya anggap teman saya dalam kategori 'kenalan'. Tapi saya jadi belajar 'itulah hidup di dunia jurnalistik'.

Adapula yg tanpa tedeng aling-aling langsung mematikan telpon ketika saya berkata, "Oh maaf, mas/mbak, saya tidak di ...(nama media).... " klek! mati. Tidak ada basa-basi untuk bertanya saya skrng bekerja di mana, di media mana.

Tapi seorang PR perusahaan IT di negeri ini pernah pula bercerita, mereka mndpt pertanyaan dari prinsipal di luar negeri. Prinsipal di negeri jiran itu aneh dgn konsep jumpa pers di Indonesia. Menurut si prinsipal, wartawan di negara nya datang on time di acara jumpa pers, mendengarkan penjelasan dr pihak narasumber, nanya2 dan jika sudah mendapat semua bahan tulisan yg dibutuhkan, pulang! Tidak ada acara coffe break, tidak ada acara makan siang sembari ngobrol ngalur ngidul di antara narasumber dan wartawan. Yah si PR mengatakan, "Inilah adat Indonesia."

Ya mungkin ini ada salahnya budaya pula. Adat Indonesia kan ketika pengundang menyuguhi makan dan minum, sementara di sisi lain si tamu juga merasa sungkan kl tidak makan/minum penganan yg disuguhkan. ”Ga enak kalau tidak makan karena sudah ditawarkan,” batin sang tamu yang berstatus wartawan. Akhirnya, dari perbincangan saat lunch mungkin barrier antara jurnalis vs narasumber itu pun mencair. Apalagi jika si jurnalis memang di plot untuk menggawangi desk dimana narasumber itu bergerak. Nah, pastilah nanti timbul perasaan "tidak enak, tidak enak...karena sudah akrab"?

Jika wartawan posting di desk liputan yang tidak menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti liputan Gaya Hidup, Teknologi Informasi, atau Resensi Film/Budaya, mungkin tak masalah. Akan tetapi, apa yang terjadi jika ini terjadi pada desk liputan Nasional, departemen, Ekonomi? Cerita bisa lain....

Nah, disinilah mungkin wartawan muda juga terjebak. Ga berpikir ini nasi kotak dari siapa? Apa maksud si Anu ngasih nasi kotak? Atau mereka juga sayang mengeluarkan uang di dompet mereka karena kebetulan ada nasi gratis di depan mata? (Nah, perlu ditelaah juga soal gaji jurnalis).

Tapi, yah itu tadi. Mungkin idealisme dan sikap kritis mereka kurang tergali. Sikap kritis mereka sebatas "kalau manusia gigit anjing, itu baru berita". Seperti yg pernah saya lihat di tayangan berita sebuah stasiun televisi swasta, si presenter dgn gencar menyudutkan kepala sekolah institusi kelautan dlm kasus penganiayaan murid baru. Saya tidak membela si kepala sekolah, hanya saja dari cara bertanya si presenter kita bisa membaca bahwa di benak si presenter 'kepala sekolah bersalah'. Itu juga sudah menyalahi etika jurnalisme kan? Ketika prinsip tak berpihak dan cover both side lupa dipegang oleh si presenter.

Yah ini sekelumit pikiran dari mantan wartawan yang kini jadi penulis iklan.

1 comment:

Restituta Arjanti said...

kangen juga ke lapangan...