Pertama kali membaca berita tentang susu bayi mengandung melamine di Cina, saya telusuri merek susu yang mengandung bahan baku plastik itu. Lalu saya pun merasa lega. Rasanya berita itu jauuuuuuuh karena nama merek yang ’aneh’ dan tidak familiar dalam ingatan saya yang sering berbelanja di supermarket. Selain itu, berita di situs itu menyebutkan negara tujuan susu diekspor dimana Indonesia tidak termasuk.
Tapi, semalam saya kaget saat menyaksikan tayangan berita malam di TV. Badan POM melakukan sweeping produk susu dari Cina dan turunannya ke supermarket. Tampak beberapa merek yang cukup familiar untuk ditarik dan diperiksa : coklat M&M’s, Sneakers, dan Oreo Wafer.
Wah semua itu pernah saya makan (sambil membayangkan, semoga usus saya tidak selicin pantat mangkuk melamin)! Dari tayangan berita, alasan M&M’s ditarik dari peredaran untuk diperiksa, karena pabrikan berada di Cina.
Nah, dalam hal ini dalil belanja ”Ada harga ada kualitas” rontok! Sebungkus coklat M&M’s jauh lebih mahal ketimbang coklat Cha-Cha yang berbentuk nyaris sama –coklat dibalut gula manis. Coklat Sneakers yang dipadu dengan karamel dan kacang didalamnya punya rasa lebih nendang ketimbang Silver Queen. Tapi sayangnya beli satu Sneakers bakal habis sekali lahap ketimbang si SQ yang terdiri dari 6 kubik coklat... saya bisa mematahkan sepotong demi sepotong, sehingga makannya terasa lebih lama :)
Merek yang berasal dari luar negeri, belum tentu lebih baik ketimbang yang dari negeri sendiri. Akhirnya sebagai konsumen harus lebih hati-hati dalam memperhatikan kemasan di label. Termasuk, dalam kandungan nilai gizi dan asal negara, kejelasan perusahaan pengimpor jika produk itu dari luar negeri, atau nama produsen.
Saya sering ragu membeli produk makanan yang hanya mencantumkan nama pabrik tanpa pencantuman alamat pabrikan yang jelas, serta penulisan ”Telah disetujui oleh Depkes RI” pada kemasan. Bahkan sering pula tidak menyebutkan tanggal produksi dan tanggal kadaluwarsa. Biasanya ini terjadi pada produk (buatan) rumahan.
Sudah berapa lama saya terbiasa dengan makanan dalam kemasan. Meski menyadari mengonsumsi makanan dalam kemasan berarti berurusan dengan bahan pengawet. Tapi yah! Pertimbangan kepraktisan.
Jadi teringat kejadian di sore harinya. Ketika saya berteriak Mayday! untuk menstruasi hari pertama. Badan yang pegal-pegal dan perut melilit ini membuat saya teringat satu merek sari asam dalam kemasan, lalu langsung menitip belikan pada kakak saat ia mau berbelanja.
Namun, Mama saya melarang. Lebih baik yang alami dan menyuruh saya untuk membuat sendiri jamu. Bahan baku berupa kunyit dan asam sudah tersedia di dapur!
Haduh! Perut sudah mulas, dan masih harus mengolahnya sendiri? Saya yang anak kos-kosan sudah terbiasa yang instan. Selain unsur kepraktisan, tentu lebih gampang menyimpan. Istilahnya : Tinggal glek! Tinggal seduh! (silahkan teruskan sendiri dengan menyebut semua tagline minuman/makanan dalam kemasan).
Tapi tak ada salahnya mulai memilah apa yang masuk ke dalam badan. Apakah perlu mengonsumsi satu produk makanan tertentu, dalam bentuk kemasan seperti apa.
Memang yang alami lebih baik. Hanya saja....lalu saya berpikir....apa saya harus memelihara sapi betina dan memerah susu supaya dapat yang fresh?!
Thursday, September 25, 2008
Tuesday, September 23, 2008
Pintu Hati
Satu pintu hati tertutup
Dan buka pintu yang lain
Lalu banyak cerita silih berganti
Si romantis sejati duduk termangu
"Sebut aku si romantis sejati, merindukan ksatria cahaya dan bintang jatuh. Mencari danau bening di ujung pelangi"
Dan buka pintu yang lain
Lalu banyak cerita silih berganti
Si romantis sejati duduk termangu
"Sebut aku si romantis sejati, merindukan ksatria cahaya dan bintang jatuh. Mencari danau bening di ujung pelangi"
Friday, September 19, 2008
Turning Point (Persiapan Lebaran)
Sudah Jumat ya?
Badanku sepertinya sudah mengirimkan sinyal-sinyal perlu di-recharge berlibur. Definisi ’liburan’ di sini : cukup pulang ke Bogor, menghirup hawa Kota Hujan, atau baca buku sembari bergelung di kasur. Ohya, juga punya niat saat ini harus melanjutkan ketikan novel fiksi yang draft-nya belum sempat kuteruskan. Eno wants to be fiction writer :D
Ohya, tapi rasanya weekend ini tidak bisa benar-benar ’menghilang’ dari aktivitas. Lebaran sudah tinggal 11 hari lagi. Berarti mulai sibuk bantu ortu –khususnya Mama- untuk persiapan Lebaran.
Bila orang berkata, enaknya menjadi anak bungsu karena paling tidak punya beban dari ortu.. hoho... ga sepenuhnya benar. Contohnya saya! Mungkin waktu saya kecil, memang betul sejumlah ’keringanan’ yang menjadi privilege menjadi si bontot. Kalau ada acara keluarga di rumah :, di hari-H cuma salam tamu dan cabut masuk kamar, dan tinggal nunggu waktu makan alias ngunyah (ga bantu masak, ga bantu beberes). Sebaliknya kalau giliran orangtua pergi ke acara keluarga, saya sepertinya lepas dari tugas menemani ortu.
Tapi sejak kakak satu persatu menikah dan punya kehidupan sendiri, praktis saya mendapat limpahan tugas.
Tiba-tiba mendapat telepon untuk menemani ibu pergi ke acara keluarga di akhir pekan, dititipin ini itu, termasuk sesekali menemani ortu yang rutin check-up ke dokter.
Untuk Lebaran yang sebentar lagi dirayakan umat muslim, berarti orangtua saya mendapat kunjungan dari keluarga besar. Mama saya yang memang jago masak, sudah pasti menunjukkan kehandalannya. Menu istimewa tahunan dari ketupat, gulai kambing, bebek panggang, malbi, nasi briani dsb. Beliau selalu menemukan ide menu masakan untuk dihidangkan di hari istimewa.
Sudah pasti kalau ada orang di rumah (baca : Saya) bakal kebagian membantu :)) Minimal belanja barang lah.... Di luar urusan masak – yang menjadi urusan Mama, kakak saya yang memang doyan masak, atau pembantu kalau kebetulan tidak mudik – saya membereskan rumah, mempersiapkan piring makan, termasuk belanja kue kering, permen, cari amplop kecil untuk angpao, dan setiap tahun kok mendapat tambahan tugas baru ya?? Seperti tahun ini berburu mencari pecahan uang kecil.
Dari sisi pribadi, saya merasa juga ada perubahan dalam diri. Sense kekeluargaan saya membaik :) Yah misalkan jadi bisa lebih bergaul dan kenal sanak saudara.
Tahun ini juga kegiatan puasa saya membaik. Ups, sori, jujur saja. Selama ini dengan alasan sakit maag, ga mampu, dan pembenaran lainnya, saya malas menjalankan puasa. Sholat juga kagak.... . Uf, memang untuk urusan relasi bersama yang Diatas, hubungan saya berlangsung ”mati-hidup”. Namun, yaaa... setiap orang kan ada masa Turning Point. Meski Turning Point saya masih tersendat-sendat dan belum 180 derajat, hanya saya bisa berkata : sudah lebih baik ketimbang sebelumnya.
Mungkin saya sudah berada pada kesadaran pribadi. Menyadari bahwa saya lupa bersyukur atas seluruh rakhmat yang dilimpahkan olehNya, yang semua itu tertutup oleh ’kerikil’ bentuk ketidak puasan diri. Masih merasa selalu kurang dan kurang, sehingga tak ingat akan rezeki yang sudah Ia berikan.
Ketika saya mampu membuang ratusan ribu untuk hal-hal duniawi seperti belanja dan nongkrong ngopi sambil chit-chat, beli baju dan kosmetik, serta mampir perawatan ke klinik kecantikan; Saya justru tidak ingat untuk membeli mukena baru, dengan hanya memiliki dua mukena andalan yang sudah berbilang tahun. Seharusnya saya kan tampil cantik di depanNYa sama halnya ingin tampil cantik di antara orang-orang.
Teman baikku tertawa karena baru pertama kali itu saya mampir ke rak buku-buku agama sewaktu kami jalan berdua ke toko buku Gramedia di Plaza Semanggi. (Haha.. Ajeng memang sudah tahu banget diriku...ya, kan, Jeng?).
Setiap orang mempunyai Turning Point-nya masing-masing. Entah itu berlangsung drastis atau perlahan. Biarkan saya sendiri yang memaknai turning point, dan seberapa besar saya mampu berubah. Selain hak (sangat) pribadi, setiap orang memiliki takaran sendiri untuk itu.
Badanku sepertinya sudah mengirimkan sinyal-sinyal perlu di-recharge berlibur. Definisi ’liburan’ di sini : cukup pulang ke Bogor, menghirup hawa Kota Hujan, atau baca buku sembari bergelung di kasur. Ohya, juga punya niat saat ini harus melanjutkan ketikan novel fiksi yang draft-nya belum sempat kuteruskan. Eno wants to be fiction writer :D
Ohya, tapi rasanya weekend ini tidak bisa benar-benar ’menghilang’ dari aktivitas. Lebaran sudah tinggal 11 hari lagi. Berarti mulai sibuk bantu ortu –khususnya Mama- untuk persiapan Lebaran.
Bila orang berkata, enaknya menjadi anak bungsu karena paling tidak punya beban dari ortu.. hoho... ga sepenuhnya benar. Contohnya saya! Mungkin waktu saya kecil, memang betul sejumlah ’keringanan’ yang menjadi privilege menjadi si bontot. Kalau ada acara keluarga di rumah :, di hari-H cuma salam tamu dan cabut masuk kamar, dan tinggal nunggu waktu makan alias ngunyah (ga bantu masak, ga bantu beberes). Sebaliknya kalau giliran orangtua pergi ke acara keluarga, saya sepertinya lepas dari tugas menemani ortu.
Tapi sejak kakak satu persatu menikah dan punya kehidupan sendiri, praktis saya mendapat limpahan tugas.
Tiba-tiba mendapat telepon untuk menemani ibu pergi ke acara keluarga di akhir pekan, dititipin ini itu, termasuk sesekali menemani ortu yang rutin check-up ke dokter.
Untuk Lebaran yang sebentar lagi dirayakan umat muslim, berarti orangtua saya mendapat kunjungan dari keluarga besar. Mama saya yang memang jago masak, sudah pasti menunjukkan kehandalannya. Menu istimewa tahunan dari ketupat, gulai kambing, bebek panggang, malbi, nasi briani dsb. Beliau selalu menemukan ide menu masakan untuk dihidangkan di hari istimewa.
Sudah pasti kalau ada orang di rumah (baca : Saya) bakal kebagian membantu :)) Minimal belanja barang lah.... Di luar urusan masak – yang menjadi urusan Mama, kakak saya yang memang doyan masak, atau pembantu kalau kebetulan tidak mudik – saya membereskan rumah, mempersiapkan piring makan, termasuk belanja kue kering, permen, cari amplop kecil untuk angpao, dan setiap tahun kok mendapat tambahan tugas baru ya?? Seperti tahun ini berburu mencari pecahan uang kecil.
Dari sisi pribadi, saya merasa juga ada perubahan dalam diri. Sense kekeluargaan saya membaik :) Yah misalkan jadi bisa lebih bergaul dan kenal sanak saudara.
Tahun ini juga kegiatan puasa saya membaik. Ups, sori, jujur saja. Selama ini dengan alasan sakit maag, ga mampu, dan pembenaran lainnya, saya malas menjalankan puasa. Sholat juga kagak.... . Uf, memang untuk urusan relasi bersama yang Diatas, hubungan saya berlangsung ”mati-hidup”. Namun, yaaa... setiap orang kan ada masa Turning Point. Meski Turning Point saya masih tersendat-sendat dan belum 180 derajat, hanya saya bisa berkata : sudah lebih baik ketimbang sebelumnya.
Mungkin saya sudah berada pada kesadaran pribadi. Menyadari bahwa saya lupa bersyukur atas seluruh rakhmat yang dilimpahkan olehNya, yang semua itu tertutup oleh ’kerikil’ bentuk ketidak puasan diri. Masih merasa selalu kurang dan kurang, sehingga tak ingat akan rezeki yang sudah Ia berikan.
Ketika saya mampu membuang ratusan ribu untuk hal-hal duniawi seperti belanja dan nongkrong ngopi sambil chit-chat, beli baju dan kosmetik, serta mampir perawatan ke klinik kecantikan; Saya justru tidak ingat untuk membeli mukena baru, dengan hanya memiliki dua mukena andalan yang sudah berbilang tahun. Seharusnya saya kan tampil cantik di depanNYa sama halnya ingin tampil cantik di antara orang-orang.
Teman baikku tertawa karena baru pertama kali itu saya mampir ke rak buku-buku agama sewaktu kami jalan berdua ke toko buku Gramedia di Plaza Semanggi. (Haha.. Ajeng memang sudah tahu banget diriku...ya, kan, Jeng?).
Setiap orang mempunyai Turning Point-nya masing-masing. Entah itu berlangsung drastis atau perlahan. Biarkan saya sendiri yang memaknai turning point, dan seberapa besar saya mampu berubah. Selain hak (sangat) pribadi, setiap orang memiliki takaran sendiri untuk itu.
Tuesday, September 16, 2008
Usaha Mencari Pecahan Rp 1000-an
Senin, 15 Sept’08 :
“Mbak, bisa tukar uang?”
”Sudah habis, Mbak. Stok kami terbatas. Besok saja datang lagi,” kata mbak di petugas Service Counter (SC) BCA.
Tentu dia mengerti di musim jelang Lebaran seperti sekarang, yang dimaksud dengan ’tukar uang’ adalah menukarkan sejumlah duit menjadi pecahan kecil seperti Rp 1000, Rp 5000 dst dalam lembaran mulus.
”Mungkin harus lebih pagi ya, Mbak?” tanyaku. Memang waktu itu jam sudah menunjukkan pukul 11.00 lewat.
”Besok saja datang jam 10-an.”(
Dalam hati agak ragu, namun saya pikir mungkin persediaan uang dari pusat baru datang jam segitu, dan si mbak yang bernama sama dengan nama saya tersebut tentu lebih tahu kondisi internal bank).
Selasa, 16 Sept’08 :
(Tepat jam 10-an)
“Mbak, mau tukar pecahan Rp 1000, ada?” tanyaku sambil menyunggingkan senyum ramah meski cukup lama mengantri. (Namanya juga bulan puasa, musti belajar bersabar hehe.. Apalagi buat yang model ”sumbu kompor pendek” alias meledak-ledak dan bukan penyabar).
”Wah kalau yang Rp 1000 sudah habis. Cepat, Mbak. Besok saja coba datang lagi,” kata si Service Counter (SC). Orang yang bertugas kebetulan berbeda dengan yang kemarin.
(Gimana sih? Kemarin dengan gaya meyakinkan suruh saya datang jam 10-an saja. Tapi... benar kan dugaanku.. harusnya datang lebih pagi!)
”Oh, ya sudah! Kalau tukaran Rp 5000-an ada kan?”
Mbak itu mengangguk. Lalu, setelah ia kembali ke depan meja counter sembari membawa permintaanku, kami berbasa-basi sebentar.
”Cepat ya mbak habisnya yang 1000-an. Habis sudah mau Lebaran sih,” kataku
”Iya nih, Mbak. Padahal Lebaran masih 2 minggu lagi. (Bank) ini dekat pasar sih, jadi uang pecahan seribuan selalu habis,” kata si Mbak SC.
Saya tersenyum seraya mengangguk. Penjelasannya masuk akal. Bank ini memang berada di Pasar Mayestik.
Kemudian, saya berjalan menuju BNI yang letaknya berdekatan. Jawabannya juga sama. Pecahan Rp 1000-an sudah habis.
Rabu, 17 Sept’08 :
Bakal mencoba lagi. Bangun dan nongol di Bank, harus lebih pagi... :))
Baru tahun ini saya harus ’berburu’ recehan 1000 ke bank. Selama ini, untuk kebutuhan pecahan ’salam tempel’ di hari Lebaran, saya dan ortu biasanya titip kepada kakak yang menukarkan bareng dengan kebutuhan kantornya.
Nah! Berhubung kakak saya sekarang sudah resign dan total jadi ibu rumah tangga, saya yang kini menggantikan tugas itu.
Duh! Saya jadi teringat kalau di luar Hari Raya, punya tumpukan Rp 1000-an di dompet tanda SOS. Sudah sekarat. Tapi kalau bulan Ramadan –menjelang Lebaran- uang itu berharga. Bahkan, menjadi obyek buruan saya 2 hari ini :))
Yah! Kalau sudah mentok, saya tukar nantinya ke ibu-ibu yang biasa menawarkan jasa tukar duit di terminal Lebak Bulus.
“Mbak, bisa tukar uang?”
”Sudah habis, Mbak. Stok kami terbatas. Besok saja datang lagi,” kata mbak di petugas Service Counter (SC) BCA.
Tentu dia mengerti di musim jelang Lebaran seperti sekarang, yang dimaksud dengan ’tukar uang’ adalah menukarkan sejumlah duit menjadi pecahan kecil seperti Rp 1000, Rp 5000 dst dalam lembaran mulus.
”Mungkin harus lebih pagi ya, Mbak?” tanyaku. Memang waktu itu jam sudah menunjukkan pukul 11.00 lewat.
”Besok saja datang jam 10-an.”(
Dalam hati agak ragu, namun saya pikir mungkin persediaan uang dari pusat baru datang jam segitu, dan si mbak yang bernama sama dengan nama saya tersebut tentu lebih tahu kondisi internal bank).
Selasa, 16 Sept’08 :
(Tepat jam 10-an)
“Mbak, mau tukar pecahan Rp 1000, ada?” tanyaku sambil menyunggingkan senyum ramah meski cukup lama mengantri. (Namanya juga bulan puasa, musti belajar bersabar hehe.. Apalagi buat yang model ”sumbu kompor pendek” alias meledak-ledak dan bukan penyabar).
”Wah kalau yang Rp 1000 sudah habis. Cepat, Mbak. Besok saja coba datang lagi,” kata si Service Counter (SC). Orang yang bertugas kebetulan berbeda dengan yang kemarin.
(Gimana sih? Kemarin dengan gaya meyakinkan suruh saya datang jam 10-an saja. Tapi... benar kan dugaanku.. harusnya datang lebih pagi!)
”Oh, ya sudah! Kalau tukaran Rp 5000-an ada kan?”
Mbak itu mengangguk. Lalu, setelah ia kembali ke depan meja counter sembari membawa permintaanku, kami berbasa-basi sebentar.
”Cepat ya mbak habisnya yang 1000-an. Habis sudah mau Lebaran sih,” kataku
”Iya nih, Mbak. Padahal Lebaran masih 2 minggu lagi. (Bank) ini dekat pasar sih, jadi uang pecahan seribuan selalu habis,” kata si Mbak SC.
Saya tersenyum seraya mengangguk. Penjelasannya masuk akal. Bank ini memang berada di Pasar Mayestik.
Kemudian, saya berjalan menuju BNI yang letaknya berdekatan. Jawabannya juga sama. Pecahan Rp 1000-an sudah habis.
Rabu, 17 Sept’08 :
Bakal mencoba lagi. Bangun dan nongol di Bank, harus lebih pagi... :))
Baru tahun ini saya harus ’berburu’ recehan 1000 ke bank. Selama ini, untuk kebutuhan pecahan ’salam tempel’ di hari Lebaran, saya dan ortu biasanya titip kepada kakak yang menukarkan bareng dengan kebutuhan kantornya.
Nah! Berhubung kakak saya sekarang sudah resign dan total jadi ibu rumah tangga, saya yang kini menggantikan tugas itu.
Duh! Saya jadi teringat kalau di luar Hari Raya, punya tumpukan Rp 1000-an di dompet tanda SOS. Sudah sekarat. Tapi kalau bulan Ramadan –menjelang Lebaran- uang itu berharga. Bahkan, menjadi obyek buruan saya 2 hari ini :))
Yah! Kalau sudah mentok, saya tukar nantinya ke ibu-ibu yang biasa menawarkan jasa tukar duit di terminal Lebak Bulus.
Thursday, September 11, 2008
Putri Kecil Ayah
Aku zat kecil di jagad raya
Ketika ditangkap tangan maya
Dan terbang bersama bangau
Mengetuk pintu rumahmu
Aku menjadi putri kecilmu
Ada saat kurindu pangkuanmu
Kumabuk wangi aftershavemu
Lalu ku pun berlari
Mencari kedamaian di pelukmu
Ada saat ku menjadi elang liar
Enggan pulang ke sarang
Langkah ku yakin dari restumu
Meski ......entah.... kamu ikhlas atau elus dada
Kini ku berdiri di depan gerbangmu
Sembari mendesiskan bisik
Aku selalu menjadi ”Daddy’s little girl”
(PS : Tiba-tiba kangen dengan ayahku)
Jakarta, 10 September 2008
P.E.R.C.A.Y.A
:Sinis (?)
Bengong-bengong longok kotak mimpi
Pandangi artis berbalut kerudung
Bulan lalu masih kulihat ber-hot pants di Citos
Oh ya! Satu bulan Nona tutup aurat
Bulan berikut terserah anda.....
Panjang pendek kain cita memang urusan pribadi
Pencet-pencet remote control
Terpana cantiknya Shahnaz berjilbab
Kubayangkan pake baju sama di hari Lebaran
Dapat pujian ’super soleha’ dari camer.... Aih!
Lho! Habis siraman rohani, ada undian berhadiah pula?
Bukan lotere, bukan judi
Uff..uf.. itu namanya rezeki di bulan suci
Ada Super Toy di kanal berita
Namanya juga ’toy’ atau ’mainan’
Super sotoy.. super main-main
Jadi mainan di sawah tetangga
Aku berjingkat usai bedug bertalu
Bongkar lemari meraih mukena beraroma kamper
Baca kompas jangan salah arah, sejadah kugelar
Lamat-lamat aku berbisik, ”Hanya Pada-Mu Aku P.E.R.C.A.Y.A”
Jakarta, 7 September 2008
Bengong-bengong longok kotak mimpi
Pandangi artis berbalut kerudung
Bulan lalu masih kulihat ber-hot pants di Citos
Oh ya! Satu bulan Nona tutup aurat
Bulan berikut terserah anda.....
Panjang pendek kain cita memang urusan pribadi
Pencet-pencet remote control
Terpana cantiknya Shahnaz berjilbab
Kubayangkan pake baju sama di hari Lebaran
Dapat pujian ’super soleha’ dari camer.... Aih!
Lho! Habis siraman rohani, ada undian berhadiah pula?
Bukan lotere, bukan judi
Uff..uf.. itu namanya rezeki di bulan suci
Ada Super Toy di kanal berita
Namanya juga ’toy’ atau ’mainan’
Super sotoy.. super main-main
Jadi mainan di sawah tetangga
Aku berjingkat usai bedug bertalu
Bongkar lemari meraih mukena beraroma kamper
Baca kompas jangan salah arah, sejadah kugelar
Lamat-lamat aku berbisik, ”Hanya Pada-Mu Aku P.E.R.C.A.Y.A”
Jakarta, 7 September 2008
Tuesday, September 09, 2008
September
Aku menyukai September
Ia membelaiku dalam jemari hujan
Bersenandung nyanyian bumi di telinga
Mengetuk lamunan saat ku berkerudung senja
Menanti yang tak kunjung tiba
Kau sibuk menggores hari namun lupa berdansa
Saksikan aku menari bersama harum tanah di bawah temaram bulan
Oktober, November, Desember... aku panggil nama kalian
Namun aku semakin tenggelam bersama September
Jakarta, 8 September 2008
Ia membelaiku dalam jemari hujan
Bersenandung nyanyian bumi di telinga
Mengetuk lamunan saat ku berkerudung senja
Menanti yang tak kunjung tiba
Kau sibuk menggores hari namun lupa berdansa
Saksikan aku menari bersama harum tanah di bawah temaram bulan
Oktober, November, Desember... aku panggil nama kalian
Namun aku semakin tenggelam bersama September
Jakarta, 8 September 2008
Monday, September 08, 2008
Narsis
“Yang ini kayak pake konde di depan,” komentar teman sambil menunjuk salah satu foto.
”Lha.. abis fotografernya ga kasih kesempatan dandan dulu,” kataku. Haha... memang dasarnya gembil.. ya tetap gembil aja. Padahal komentar teman itu sih bukan soal ’pipi’, tetapi soal ’rambut poni ga jelas’ di atas mataku itu.
Sudahlah.. yang penting ternyata tampangku bisa masuk media ... Jadi ingat cerita-cerita masa wartawan dulu, katanya ada teman yang sering sengaja berdiri melakukan wawancara di belakang sang narasumber. Usai sesi wawancara guyub (alias, rame-rame) bersama berbagai media dari televisi, cetak, radio, bahkan internet, sang teman wartawan itu nelpon ke keluarga di rumah. ”Mak.. Anakmu masuk tipi.... ntar liat siaran berita.......”
Thursday, September 04, 2008
Patah (Episode I-III)
Episode I (Musnah)
Ia…
Hanya ujung bintang berekor
Melesat, mempesona……
Musnah
**
Episode II (Emosi)
Ouch!
It’s hurt!
Aduh!
Patah!
Ada yang punya perekat?
**
Episode III (Stabil)
Remah-remah kenangan terbakar jadi abu
Ku larung ke sungai menderas
Mengaliri dua belah pipi hingga mengering
Jakarta, awal 2008
Ia…
Hanya ujung bintang berekor
Melesat, mempesona……
Musnah
**
Episode II (Emosi)
Ouch!
It’s hurt!
Aduh!
Patah!
Ada yang punya perekat?
**
Episode III (Stabil)
Remah-remah kenangan terbakar jadi abu
Ku larung ke sungai menderas
Mengaliri dua belah pipi hingga mengering
Jakarta, awal 2008
Tuesday, September 02, 2008
Work.. Aholic..
Jangan katakan ini hari apa
Aku tahu! Ini Jum’at
Badan juga sudah mengirimkan alarm
Tulang berdentam-dentam terasa remuk
Berharap ada tidur panjang Sabtu besok
Jangan telpon aku
Jangan katakan waktu mencuri usia kita
Hingga lupa bercinta dan berpeluk
Aku memang kecanduan Senin sampai Jumat
Membuka agenda usang berjudul ’Demi Karir’
Karir dan gaji, sebenarnya tak tau demi yang mana
”Cinta, kamu lupa cinta kita,” kata kamu suatu waktu
Aku mau jawab, ”Bekerja lebih gampang ketimbang memahami kamu”
Jakarta, Jumat 29 Agustus 2008
Aku tahu! Ini Jum’at
Badan juga sudah mengirimkan alarm
Tulang berdentam-dentam terasa remuk
Berharap ada tidur panjang Sabtu besok
Jangan telpon aku
Jangan katakan waktu mencuri usia kita
Hingga lupa bercinta dan berpeluk
Aku memang kecanduan Senin sampai Jumat
Membuka agenda usang berjudul ’Demi Karir’
Karir dan gaji, sebenarnya tak tau demi yang mana
”Cinta, kamu lupa cinta kita,” kata kamu suatu waktu
Aku mau jawab, ”Bekerja lebih gampang ketimbang memahami kamu”
Jakarta, Jumat 29 Agustus 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)