Friday, September 19, 2008

Turning Point (Persiapan Lebaran)

Sudah Jumat ya?
Badanku sepertinya sudah mengirimkan sinyal-sinyal perlu di-recharge berlibur. Definisi ’liburan’ di sini : cukup pulang ke Bogor, menghirup hawa Kota Hujan, atau baca buku sembari bergelung di kasur. Ohya, juga punya niat saat ini harus melanjutkan ketikan novel fiksi yang draft-nya belum sempat kuteruskan. Eno wants to be fiction writer :D

Ohya, tapi rasanya weekend ini tidak bisa benar-benar ’menghilang’ dari aktivitas. Lebaran sudah tinggal 11 hari lagi. Berarti mulai sibuk bantu ortu –khususnya Mama- untuk persiapan Lebaran.

Bila orang berkata, enaknya menjadi anak bungsu karena paling tidak punya beban dari ortu.. hoho... ga sepenuhnya benar. Contohnya saya! Mungkin waktu saya kecil, memang betul sejumlah ’keringanan’ yang menjadi privilege menjadi si bontot. Kalau ada acara keluarga di rumah :, di hari-H cuma salam tamu dan cabut masuk kamar, dan tinggal nunggu waktu makan alias ngunyah (ga bantu masak, ga bantu beberes). Sebaliknya kalau giliran orangtua pergi ke acara keluarga, saya sepertinya lepas dari tugas menemani ortu.

Tapi sejak kakak satu persatu menikah dan punya kehidupan sendiri, praktis saya mendapat limpahan tugas.

Tiba-tiba mendapat telepon untuk menemani ibu pergi ke acara keluarga di akhir pekan, dititipin ini itu, termasuk sesekali menemani ortu yang rutin check-up ke dokter.

Untuk Lebaran yang sebentar lagi dirayakan umat muslim, berarti orangtua saya mendapat kunjungan dari keluarga besar. Mama saya yang memang jago masak, sudah pasti menunjukkan kehandalannya. Menu istimewa tahunan dari ketupat, gulai kambing, bebek panggang, malbi, nasi briani dsb. Beliau selalu menemukan ide menu masakan untuk dihidangkan di hari istimewa.

Sudah pasti kalau ada orang di rumah (baca : Saya) bakal kebagian membantu :)) Minimal belanja barang lah.... Di luar urusan masak – yang menjadi urusan Mama, kakak saya yang memang doyan masak, atau pembantu kalau kebetulan tidak mudik – saya membereskan rumah, mempersiapkan piring makan, termasuk belanja kue kering, permen, cari amplop kecil untuk angpao, dan setiap tahun kok mendapat tambahan tugas baru ya?? Seperti tahun ini berburu mencari pecahan uang kecil.

Dari sisi pribadi, saya merasa juga ada perubahan dalam diri. Sense kekeluargaan saya membaik :) Yah misalkan jadi bisa lebih bergaul dan kenal sanak saudara.

Tahun ini juga kegiatan puasa saya membaik. Ups, sori, jujur saja. Selama ini dengan alasan sakit maag, ga mampu, dan pembenaran lainnya, saya malas menjalankan puasa. Sholat juga kagak.... . Uf, memang untuk urusan relasi bersama yang Diatas, hubungan saya berlangsung ”mati-hidup”. Namun, yaaa... setiap orang kan ada masa Turning Point. Meski Turning Point saya masih tersendat-sendat dan belum 180 derajat, hanya saya bisa berkata : sudah lebih baik ketimbang sebelumnya.

Mungkin saya sudah berada pada kesadaran pribadi. Menyadari bahwa saya lupa bersyukur atas seluruh rakhmat yang dilimpahkan olehNya, yang semua itu tertutup oleh ’kerikil’ bentuk ketidak puasan diri. Masih merasa selalu kurang dan kurang, sehingga tak ingat akan rezeki yang sudah Ia berikan.

Ketika saya mampu membuang ratusan ribu untuk hal-hal duniawi seperti belanja dan nongkrong ngopi sambil chit-chat, beli baju dan kosmetik, serta mampir perawatan ke klinik kecantikan; Saya justru tidak ingat untuk membeli mukena baru, dengan hanya memiliki dua mukena andalan yang sudah berbilang tahun. Seharusnya saya kan tampil cantik di depanNYa sama halnya ingin tampil cantik di antara orang-orang.

Teman baikku tertawa karena baru pertama kali itu saya mampir ke rak buku-buku agama sewaktu kami jalan berdua ke toko buku Gramedia di Plaza Semanggi. (Haha.. Ajeng memang sudah tahu banget diriku...ya, kan, Jeng?).

Setiap orang mempunyai Turning Point-nya masing-masing. Entah itu berlangsung drastis atau perlahan. Biarkan saya sendiri yang memaknai turning point, dan seberapa besar saya mampu berubah. Selain hak (sangat) pribadi, setiap orang memiliki takaran sendiri untuk itu.

No comments: