Tulisan ini berdasarkan pengalaman yang saya alami pada Sabtu 24 Juli lalu, di sebuah seminar. Mungkin masih ada penyelenggara/panitia seminar yang bingung menghadapi kedatangan seorang penulis dari media.
Seorang jurnalis/penulis biasanya menjadikan seminar sebagai suatu ajang berkenalan atau kesempatan bertemu dengan narasumber, memperoleh informasi terkini, dan menambah wawasan di suatu bidang.
Sehingga ketika kami pertama kali membaca suatu acara seminar yang biasanya dipublikasikan di media massa atau elektronik, atau memang ada undangan dikirim ke redaksi, maka di otak kami akan segera melihat judul seminar, apa materi presentasi dan siapa tokoh yang berbicara, lalu kira-kira apakah topik sesuai dengan bidang liputan yang digarap. Tentu saja lokasi dan waktu acara menjadi pertimbangan.
Seperti Sabtu kemarin saya datang ke acara seminar yang diselenggarakan di suatu perguruan tinggi yang berlokasi di Depok. Seminar ini menyajikan tema peran profesi X di era pasar bebas AFTA. Suatu topik yang rasanya cukup menarik karena saya kebetulan akan membuat artikel tentang profesi dan kebutuhan sumber daya manusianya.
Sebenarnya bagai orang mau kulo nuwon ke hajatan seseorang, sehari sebelumnya saya mengirimkan surat elektronik berisi keinginan untuk datang dan konfirmasi ke alamat e-mail panitia yang tertera di iklan seminar tersebut. Iklan itu terdapat di dalam website perguruan tinggi terkait. (Tapi ternyata memang baru sampai di hari Minggu …thanks to office network*lemot’mode’on*).
Kemudian di hari-H saya pun datang ke tempat acara seminar sekitar pukul 09.00 wib. Di depan pintu saya disambut oleh panitia dan saya pun memperkenalkan diri dari institusi media dan menyampaikan maksud ingin mengikuti seminar tersebut.
“Tapi berarti mbak kan mau meliput?” kata panitia perempuan yang mengajak saya bicara.
Di otak saya segera melintas definisi “meliput” berarti saya akan mengulas acara seminar ini.
“Iya saya masih mencari informasi, mbak,” balas saya kepada panitia berjilbab berperawakan padat tersebut. Ini jawaban standar pula karena kami para jurnalis biasanya malas menerima pertanyaan beberapa hari atau minggu kemudian dari penyelenggara acara, apakah liputan sudah naik cetak atau belum. Ini secara tidak langsung membebani perasaan seolah suatu acara yang didatangi sudah pasti layak muat.
“Tapi mbak, kami sudah punya media partner,” balasnya.
Lha…!
Memang suatu seminar membutuhkan dana dan publikasi. Makanya panitia menggandeng sponsor acara untuk memberikan dana berupa uang tunai maupun non tunai, termasuk punya media rekan kerjasama sebagai tempat mempublikasikan acara guna menggaet peserta seminar. Media partner ini biasanya juga akan memuat liputan dari penyelenggaraan acara. Tapi bukan berarti seminar itu menjadi privilege media partner sehingga wartawan media lain tidak boleh datang dan meliput selama kegiatan berlangsung.
Akan tetapi, saya rasanya lebih terbiasa jika panitia minta kartu nama atau silahkan juga jika ingin melihat ID-card (meskipun yang ada cuma ID-card untuk absensi kantor). Seandainya saya menjadi panitia acara, ini adalah cara sopan atau tersamar untuk mengetahui apakah orang di depan saya adalah jurnalis benar atau gadungan.
Atau mendengar pertanyaan penyelenggara acara, “Oh, Mbak/Mas dari media ini ….. Kenal sama mbak Y? (atau mas X masih disana?)”
Atau mendengar pertanyaan penyelenggara acara, “Oh, Mbak/Mas dari media ini ….. Kenal sama mbak Y? (atau mas X masih disana?)”
Nah, biasanya jurnalis yang ditanya akan menjawab misalkan bahwa nama tersebut sudah pindah ke desk liputan lain atau mengakui dirinya anak bawang sementara nama yang disebutkan panitia adalah senior.
Tapi memang saya dipersilahkan untuk mengikuti kegiatan seminar. Lalu saya pun duduk di kursi baris belakang. Ahya, kursi baris belakang favorit para wartawan karena dekat dengan pintu keluar. Ketika kami merasa bahan tulisan sudah cukup maka kami bisa berlalu pulang dengan mudah tanpa mendapat pandangan mata dari peserta lain. Alasan lain duduk di baris tepi supaya gampang mencegat pembicara keluar ruangan.
Saat itu presentasi sedang berlangsung…dan voila, kuping saya mendengar penyaji materi mengucapkan kalimat, “Kompetensi yang dibutuhkan seorang (profesi) di saat ini ….” wauw pas dengan hal yang saya butuhkan. Saya pun segera sibuk mencatat, tapi tiba-tiba seseorang menyapa saya, “Maaf kursi paling belakang ini untuk panitia,” seorang perempuan panitia berambut lurus sebahu berperawakan ramping berkata demikian. Suaranya sopan dan ramah, tapi tetap saya setengah tidak percaya dengan perkataan wanita tersebut. Muka bengong saya membuat dia kembali mengeluarkan kata-kata yang kurang lebih sama.
“Tapi gapapa kan saya disini dulu? Oh ya kalau memang saya diusir suruh pindah juga bilang saja,” kata saya seraya melihat sisi kiri kanan bangku sederetan yang masih kosong melompong. (memancing bad mood di pagi hari ….)
Akhirnya perempuan itu mengiyakan dan berlalu. Selama mengikuti presentasi saya menyapu pandangan, dan melihat pria maupun perempuan berdiri di pinggir ruangan dalam jumlah cukup banyak dan tersebar. Di belakang saya pun ada yang berdiri dan duduk berbaur bersama meja penjualan produk sponsor. Mereka berpakaian seragam dalam atasan batik berwarna kelam, seperti baju yang dikenakan oleh dua wanita yang tadi berbicara dengan saya. Berarti mereka adalah panitia.
Saya jadi berpikir, panitia seperti apa yang tidak mengharapkan peserta seminar datang membludak dan berharap bisa duduk di kursi?
Lama-lama saya tidak merasa nyaman. Mungkin memang saya tidak diterima sejak awal? Tidak ada inisiatif panitia untuk memberikan saya materi presentasi. Saya pun sudah enggan bertanya dan lebih baik meminjam materi presentasi dari rekan sebelah saya. Seorang jurnalis pantang pulang tanpa bawa hasil, menjadi pikiran saya saat itu mengingat perjuangan datang dan rencana awal datang ke seminar.
Setelah puas membaca cepat materi presentasi para pembicara yang dikemas dalam satu buku seukuran buku tulis, mencatat poin-poin penting dan memotret materi dengan kamera BlackBerry, saya pun berlalu pergi.
Tulisan ini saya buat bukan ingin jurnalis disanjung ketika datang ke suatu acara. Ini bukan pikiran bijaksana di era media sudah membludak jumlahnya dan di sisi lain masyarakat bisa menyerap informasi dari media mainstream, microbloging dan web forum.
Akan tetapi semoga tulisan ini bisa menjadi cerita kecil yang cukup berguna jika lain kali datang ke peliputan acara atau suatu waktu saya atau Anda menjadi panitia kegiatan seminar.
Saya jadi berpikir apakah panitia seminar lebih mengharapkan kehadiran peserta yang membayar daripada seorang jurnalis yang ingin cari informasi gratis? Saya memang terlambat berpikir tentang hal ini, tapi jika dari awal panitia mengatakan harus membayar untuk masuk, tentu akan ada pertimbangan untuk merogoh kocek dengan asumsi perusahaan media tempat saya bekerja akan mengganti biaya tersebut demi kepentingan bahan penulisan.
*Terima kasih kepada panitia yang telah memberikan minuman air kelapa F***** yang mengguyur haus tenggorokan, tapi sekaligus menyesal telah mengunyah pizza P*** *** yang dibagikan. Dalam perjalanan pulang saya merasa telah menjadi seorang tamu tak diundang mencari makan siang gratis.