Saat ini saya sedang merapikan kamar kos untuk pindah tempat. Kamar mungil seukuran lebih kurang 3 x 2,5 meter ini telah menjadi saksi bisu diri saya selama 5 tahun. Mulai dari bangun pagi, berdandan hendak ke kantor, pulang dan kadang masih lanjut mengetik hingga larut malam. Ada juga masanya saya melewatkan hari santai dengan membaca buku sembari mengudap cemilan, atau main game sambil lagi-lagi..mengudap cemilan!
Dari hasil inventarisasi isi kamar yang hendak dibawa pindah, saya tersadar lalu menghitung-hitung berapa banyak barang yang terbuat dari plastik.
Plastik memang mengubah gaya hidup manusia. Sifatnya yang tahan lama, praktis, awet, dan harganya lebih murah -ketimbang misalkan saya harus membeli produk yang sama dari bahan kayu- selain itu plastik juga hadir dalam warna yang menarik.
Di kamar tidur saya ada: lemari plastik satu laci sebanyak 2 buah, lemari plastik dua laci sebanyak 1 buah. Adapula 1 plastik container 50 liter untuk menyimpan baju bersih yang belum disetrika, ember-ember plastik untuk mencuci, hingga yang ‘printilan’ seperti laci tempat simpan aksesori, penganan, dan simpan ATK seperti paper clips, lem, selotep dan sebagainya. Wadah sabun mandi dan tempat khusus untuk menyimpan deterjen, cairan pelembut pakaian, pembersih lantai dan semprotan obat nyamuk.
Belum lagi kotak makanan dari plastik untuk menyimpan susu, havermut, dan gula pasir. Serta botol-botol minum dan wadah simpan air seukuran 1,5 liter.
Saya akui sejak menonton film documenter “An Inconvenient Truth” (2006) dan vonis dokter bahwa saya alergi debu, telah mengubah cara pandang saya dalam beberapa hal.
Misalkan membawa kantong kain besar dan sebisa mungkin menolak kantung plastik belanjaan. Tapi kadang saya butuh benda yang sering disebut kantong kresek itu untuk didaur ulang menjadi kantung sampah anak kos-kosan.
Lemari plastik juga menjadi jawaban penataan ruang kamar bagi anak kos seperti saya atau rumah tangga. Berfungsi sebagaimana lemari kayu dalam harga lebih terjangkau dan langsung jadi. Saya pernah berpeluh keringat selama hampir sejam untuk merakit sebuah lemari kayu teakwood yang dibeli di hipermarket. Memang ketika jadi, ada rasa bahagia dan bangga atas hasil karya, tapi ukuran-ukuran lemari berbahan kayu masih terlalu besar dibandingkan laci plastik.
Laci plastik kecil tersusun dalam beberapa deret juga berguna menyimpan berbagai benda secara terorganisir dan membuatnya tidak berantakan. Tinggal rajin melap debu yang menempel di permukaan.
Wadah Tempat Makan dan Botol Plastik
Saya juga punya koleksi wadah kotak makan dari plastik lumayan banyak. Ketika jalan bersama seorang teman yang juga anak kos, kami tertawa sendiri ketika di pusat belanjaan mata kami tertumbuk pada display yang sama. Iya! Kotak makan dari plastik aneka ukuran.
”Haha…. Ternyata dasar anak kos, ya?! Senang melihat-lihat kotak plastik,” kataku. Dia pun mengamini. “Iya, bisa menyimpan cemilan atau susu.”
Tempat sisa cemilan dan susu biasanya saya pilih yang berukuran langsing memanjang. Sedangkan yang berbentuk kotak roti –bentuknya lebar- gunanya membawa bekal dari rumah. Biasanya berupa potongan-potongan apel, yang dicemil sembari bekerja. Cemilan sehat untuk memperoleh asupan serat harian. Cara ini juga efektif menghindari keinginan ngemil coklat karena pada dasarnya saya adalah sweet tooth, alias si penggemar makanan manis-manis.
Pernah juga sehari ke kantor membawa dua wadah kotak makan. Isinya? Satu diisi buah-buahan. Satu lagi untuk bekal makan siang.
Tak bisa dipungkiri belakangan ini saya menikmati kemudahan belanja makanan secara take away dimasukkan dalam wadah styrofoam. Kehadiran convenient store 24 jam yang marak sekarang ini juga telah menyediakan wadah kertas sekali buang. Simpel sih, tinggal buang ke tempat sampah setelah dipakai. Tak perlu mencuci dan menyimpannya dalam rak khusus.
Tapi artikel ilmiah popular yang kubaca di media, membuatku ngeri. (Link rujukan: http://www.earthresource.org/campaigns/capp/capp-styrofoam.html).
Styrofoam atau dalam bahasa indutri disebut Polystyrene dibuat dari kopolimer styrene turunan dari bahan bakar minyak bumi. Karena ringan, hampir 95 persen berupa material udara, bahan styrofoam banyak digunakan untuk mengemas makanan/minuman karena minim kebocoran, ringan, dan mampu mempertahankan panas dan dingin namun tetap nyaman dipegang.
Kelebihan lain dari bahan tersebut juga mampu mempertahankan bentuknya saat dipegang, mempertahankan kesegaran isi dan bentuk bahan yang dikemas.
Malah menurutku, ketika lahan hijau semakin menyempit seperti sekarang ini, styrofoam berbiaya lebih murah dan mudah didapat ketimbang pedagang harus mencari pasokan daun-daun pisang sebagai pembungkus makanan.
Namun aspek keamanan styrofoam terhadap kesehatan mulai dipertanyakan. Juga menimbulkan masalah dalam proses daur ulangnya dan mencemari lingkungan.
Bahan baku polystyrene adalah styrene, yang bisa menimbulkan iritasi kulit, mata, saluran pernafasan, dan masalah pencernaan. Paparan terlalu banyak bisa menimbulkan depresi, sakit kepala, badan terasa letih dan lesu, bahkan yang kondisi ekstrim berupa gangguan ginjal dan darah.
Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI Jakarta, Ubaidillah mengatakan styrofoam mengandung dioctyl phthalate (DOP) yang menyimpan zat benzene, suatu zat kimia yang sulit dihancurkan oleh sistem pencernaan d tubuh manusia (Koran Republika, 16 Oktober 2010, “Demam Styrofoam!”). Benzene ini sulit dikeluarkan melalui feses (kotoran) atau urine (air kencing) sehingga zat ini semakin lama semakin menumpuk dan terbalut lemak. Inilah yang bisa memicu munculnya penyakit kanker.
Selain berefek pada kesehatan, styrofoam yang juga sama seperti bahan dasar plastik, tidak dapat diuraikan secara alami, sehingga semakin lama styrofoam dan sampah plastik menumpuk dan bisa mencemari air dan tanah. Artinya, tidak lumat di dalam tanah dan di air pun mengambang. Tak jarang benda ini menyangkut di tubuh hewan atau –lebih parah- masuk ke saluran pencernaan dan membuatnya mati.
Proses pembuatan styrofoam sendiri sebenarnya terbuat dari styrofoam lama yang dihancurkan dan diproses sedemikian rupa menjadi styrofoam baru dan digunakan kembali menjadi wadah makanan dan minuman.
Proses daur ulangnya sendiri juga bisa mencemari lingkungan. Biro Pusat Standar Penelitian Kebakaran Nasional (National Bureau of Standards Center for Fire Research) di Amerika Serikat menyebutkan proses pembuatan styrofoam menimbulkan bau tidak sedap yang mengganggu pernafasan, limbah padat dan cair, serta melepaskan 57 zat berbahaya ke udara.
Oleh karenanya Lembaga Perlindungan Lingkungan (EPA) mengategorikan proses pembuatan styrofoam sebagai penghasil limbah berbahaya terbesar ke-5 di dunia.
Jangan mencoba memanaskan makanan dikemas styrofoam ke dalam microwave, karena dapat melepaskan bahan kimia yang berbahaya bagi tubuh dan sistem reproduksi manusia.
Selain wadah makanan, plastik juga muncul sebagai bahan kemasan air minum. Bukan seperti termos air kayak zaman saya kecil, kini di toko banyak menjual botol minum yang bisa diisi dalam beberapa ukuran standar. Misalkan ada yang 250 ml, 500 ml, 600 ml, atau 1 liter. Ini membuat pengguna dapat mengukur asupan air minum ke dalam badan sudah sesuai bahkan melampaui anjuran kesehatan.
Menurut Institute of Medicine menyarankan pria dewasa untuk mengkonsumsi 3 liter (13 gelas) dan perempuan mengkonsumsi 2,2 liter (9 gelas) dari total minuman dalam sehari.
Selain itu disarankan agar botol plastik kemasan air mineral hanya dipakai satu kali. Sebagai contoh ambil botol air mineral merek Aqua 1500 mililiter (ml), dan balikkan pantat botol ke arah mata memandang. Ada lambang segitiga dengan angka 1 terdapat di dalam segitiga. Ini artinya botol kemasan tersebut hanya boleh digunakan 1 kali.
Ketika sedang semangat cinta lingkungan dan berolah fisik di gym, saya sengaja membeli sebuah botol minum plastik berwarna oranye berkapasitas 500 ml.
Namun botol oranye saya dijuluki dot bayi raksasa. Lalu lihat teman-teman di gym rata-rata membawa botol air mineral dalam kemasan. Saya pikir, “Ohyaya, simpel juga. Saya tahu takaran minum sekaligus ga perlu mencuci botol,” kataku dalam hati.
Suatu hari sepulang kerja, saya pun membawa botol air mineral yang sebenarnya sudah isi ulang dari dispenser kantor ke tempat latihan..(ups!)….. Saya meletakkan di tempat yang biasanya rekan-rekan menaruh botol, saya hafalkan posisi dan merek botol mineral. Apalagi saat itu yang sedang berlatih kurang dari jumlah hitungan jari tangan. Setelah bersepeda statis 30 menit, banjir keringat dan kehausan, perlu melepas dahaga. Eh tau-taunya botol minum saya hilang. Hmm, pasti ada yang salah mengira itu botol air mineral miliknya. Enggan juga bertanya ke orang yang saya lihat sedang meminum botol mineral yang saya kenali. Akhirnya saya minum dari gelas plastik yang tersedia di gym. (Malas sebenarnya karena membayangkan digunakan oleh banyak orang dan tidak jelas bagaimana cara mencuci gelas plastik tersebut).
Sejak kejadian itu, saya kembali menggunakan botol minum plastik berwarna oranye menyala. Dijamin tidak hilang karena lain daripada yang lain.
Bijak Memanfaatkan
Praktis sering menjadi alasan untuk menggunakan kantong plastik, kotak styrofoam dan menggunakan botol air minum dalam kemasan berulang kali.
Sebenarnya kerepotan yang saya rasakan dalam membawa bekal dari rumah, adalah menyediakan waktu khusus untuk menyiapkan bekal dan ruang di dalam tas untuk membawanya ke kantor. Cara mengakali tentu dengan semangat menyediakan waktu hanya beberapa menit untuk mengemas buah-buahan ke dalam wadah. Selain itu membawa jinjingan satu kantung kain, diluar tas kantor, untuk membawa kotak makan.
Di tempat baru nanti, saya berjanji lebih rajin menyiapkan bekal makan siang ke kantor. Di kos sekarang ini memang kesulitan di urusan dapur, paling-paling bisa membawa nasi putih dicampur abon. Dari meluangkan waktu sesekali, mungkin bakal terbiasa membawa penganan sendiri setiap hari. Membawa bekal sendiri dari rumah tentu lebih sehat, higienis, sesuai selera, dan bisa lebih hemat.
Selain itu saya harus meningkatkan diri menjadi Smart Shopping, yaitu berbelanja secara bijak dengan membawa wadah plastik khusus untuk membawa bahan makanan atau minuman, atau menyimpan makanan jadi dari toko. Sehingga, kesegaran bahan-bahan makanan akan tetap terjaga tanpa menggunakan plastik atau styrofoam sekali pakai. Bahan-bahan makanan dan minuman serta makanan jadi pun bisa langsung disimpan pada tempatnya.
Tentu saya dan kita semua tidak mau kepraktisan dalam jangka pendek, dibalas dengan ancaman kesehatan dan masalah sampah jangka panjang. Data dari Deputi Pengendalian Pencemaran Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) menyebutkan, setiap individu rata-rata menghasilkan 0,8 kilogram sampah dalam satu hari di mana 15 persennya adalah kemasan sekali pakai. Jika kita asumsikan ada sekitar 220 juta penduduk di Indonesia, maka sampah kantong plastik yang tertimbun mencapai 26.500 ton per hari; sedangkan jumlah timbunan sampah nasional diperkirakan mencapai 176.000 ton per hari.
Jumlah ini baru di Indonesia saja yang memiliki penduduk terbanyak ke-5 sedunia. Bayangkan saja sumbangan sampah plastik dari negara Cina, Amerika Serikat, India dan negara-negara lain.
Ini artinya timbunan sampah plastik secara global bakal menimbulkan masalah dalam lahan pembuangan. Dan ingat, plastik membutuhkan waktu lama untuk hancur. Kita perlu menonton dan mengambil hikmah dari “Wall-E” ketika di masa mendatang bumi tertutup timbunan sampah tak bisa didaur ulang. Film kartun yang lucu, menghibur tapi patut direnungi.
(Gambar dikutip dari: wired.com; jepretan sendiri)