(Saya membuat tulisan ini pada 11 April 2011….tapi baru sekarang mengembangkan dan mempostingnya)
Saya bekerja di media. Tapi belakangan ini saya selalu jengah usai membaca koran, majalah, atau laman berita di internet. Saya muak dengan berita-berita yang tampil. Rasanya saya ingin menabok Gayus, Malinda Dee dan anggota DPR.
Gayus Tambunan punya gaji dan tunjangan Rp 2,4 juta, renumerasi sekitar Rp 8,2 juta, dan imbalan prestasi kerja rata-rata Rp 1,5 juta perbulan. (dikutip dari: link ini )
Cukupkah? Jika mengandalkan uang gaji plus istri yang juga bekerja untuk hidup di perumahan elit Kelapa Gading, menunggang Alphard, istri maunya rutin keluar masuk klinik kecantikan kelas A+: tentu tidak!
Tapi jelas masih banyak yang penghasilan bulanan dibawah Gayus Tambunan, punya istri, punya anak, kadang orangtua sendiri atau mertua yang masih ditanggung.
Ibu Malinda Dee, konon mendapat gaji Rp 70 juta per bulan, belum lagi bonus yang didapat mantan Senior Relationship Manager Citibank ini bisa mencapai Rp 250 juta per tiga bulan.
Selain itu, Malinda yang telah bekerja selama 22 tahun di Citibank memperoleh sejumlah fee dari perusahaan asuransi, dari hasil investasi dan gaji komisaris di perusahaan miliknya (Majalah Tempo, 17 April 2011).
Anggota DPR? Pembangunan gedung baru DPR senilai Rp 1,164 triliun. Atau yang sedang heboh sejak Jumat pekan lalu, anggota DPR bernama Arifinto yang kedapatan dipotret fotografer media sedang asyik menonton video porno. Kejadiannya saat sedang sidang paripurna dan menyaksikan video tersebut dari layar iPad. Wuih saya hanya pakai laptop murah cicilan 70 : 30 dari kantor, tapi rasanya saya bisa unjuk gigi kalau lebih memaksimalkan pemanfaatan gadget dalam bekerja ketimbang pak Arifinto yang iseng lihat video bokep melalui komputer tablet yang canggih, mahal, dan dibeli dari gaji (yang berasal dari uang rakyat).
Mama saya berpesan, “Hidup jangan selalu melihat ke atas. Bersyukurlah,” tapi saya yakin bersyukur juga harus diimbangi tidak berpuas diri supaya kemarin adalah masa lalu, sekarang lebih baik daripada kemarin, dan masa depan harus lebih bagus.
Tapi saya cuma merasa muak dengan ketimpangan. Ketika kita masih merasa kurang secara nyata, ada orang lain yang justru berlebih dan masih mengatakan kurang.
Dari sisi materi memang hidup di Jakarta tidak gampang. Pakar ekonomi cuap-cuap tentang perbaikan ekonomi Indonesia dan tingkat GDP, inflasi yang masih membayangi produk pangan, rupiah yang stabil, bla..bla… Tapi inflasi itu dalam kacamata saya adalah beberapa tahun lalu saya cukup mengeluarkan Rp 50 ribu untuk belanja bulanan yang terdiri dari produk sabun mandi, pasta gigi, pembersih muka, pembalut wanita, tisu saku, menu sarapan pagi dan cemilan… lalu dari tahun ke tahun dengan masih di kebutuhan yang sama tapi saya harus merogoh kocek lebih dalam –menjadi Rp 100 ribu, Rp 150 ribu, …. - ini semua untuk kebutuhan primer dan sekunder di perlengkapan rumah tangga.
Katanya siasat bisa dilakukan dengan : memperbesar penghasilan atau memperkecil pengeluaran.
Cara memperbesar penghasilan: melakukan aktivitas yang bisa meningkatkan pendapatan.
Cara memperkecil pengeluaran antara lain dengan mensubstitusi produk yang biasa Anda beli dengan benda lain yang fungsinya sejenis tapi harganya lebih murah.
Tinggal pilih cara mana yang paling efektif dilaksanakan, lalu tentukan kembali gaya hidup seperti apa yang ingin kita jalani. Selama masih masih banyak mau, maka kebutuhan vs keinginan selalu bersaing di dalam pikiran.