Jabrix hadir dalam kehidupanku sejak Agustus 2010.
Dan mati Sabtu 14 April 2012.
Kucing jantan ini sepanjang usianya
memang sakit-sakitan. Mulai dari sakit mata (seperti belekan) yang diobati
dengan salep Erlamycetin. Hilang sehari semalam dan ternyata jatuh ke got. Akibat
terperosok tanpa bisa bangkit lagi, tidak makan seharian, mengakibatkan Jabrix
terkena flu kucing yang membuat dia harus berobat ke drh. Dudung Abdullah, SM,
SKH. Sejak itu pula dia menjadi pasien langganan beliau.
Terakhir, Desember tahun lalu Jabrix
harus menjalani rawat inap selama hampir 3 minggu karena ginjal. Pasca penyembuhan
tersebut, Jabrix sempat gemuk, besar, hingga aku memanggilnya, “Si kucing
berbulu itu”. Hihihi.. Kucing Arab :p
Namun April kemarin, Tuhan YME telah
memanggil Jabrix. Mungkin itu yang terbaik bagi Jabrix daripada melewati
tahun-tahun dengan badan ringkih dan penuh pengobatan. Mungkin ini yang terbaik karena akhirnya Jabrix bisa berkumpul bersama induknya yang mati tertabrak sepeda motor. Awalnya kami sekeluarga memelihara Jabrix bersaudara karena induknya yang kucing liar melahirkan di pojok garasi rumah, dan suatu hari induk tersebut tidak pernah muncul dan 4 ekor anak kucing pun berjalan kesana-kemari mencari makan dan tempat berteduh.
Sedangkan bagi diriku yang terakhir
secara khusus memelihara kucing sekitar 25 tahun lalu, rasa kehilangan hewan
kesayangan : sangat menyakitkan.
Seperti halnya kehilangan sesuatu yang kita sayangi teramat sangat. Bedanya,
ketika putus pacaran, saya simpan pedih di dalam hati, sementara ketika kucing
yang meninggal, tangisan dan mata bengkak bebas saya tunjukkan di depan
orangtua, kakak-kakak, keponakan, supir, pembantu rumah tangga yang membantu
penguburan.
Saya sempat memasang foto Jabrix
sebagai pic profile di BlackBerry Messenger dengan status “Jabrix kucingku: RIP”
… Namun lama-kelamaan saya tidak kuat juga untuk setiap kali menangis melihat
fotonya dan bercerita tentang kematiannya kepada teman-teman di list kontak-ku.
Seorang teman yang bukan penyayang
hewan, meskipun dia berusaha memahami kesedihanku, tapi membuatku merasa seolah
aku lebay….. tapi memang kenyataannya karena saya sayang dan dia salah satu
motivasiku untuk bekerja cari duit (demi pengobatan dan perawatannya yang
ekstra spesial).
Kini tidak ada lagi kucing mengeong
nyaring saat menyambutku datang dan melengos pergi saat saya menenteng tas
besar tanda saya pulang ke Jakarta selama sepekan atau lebih. Sejauh ini saya tidak
ingin punya kucing kesayangan, dan mengalihkan perhatian pada kucing-kucing
lain yang kebetulan memang ada di rumah, selain si kakak tua jambul kuning yang
sudah kumiliki dari kecil.