Akhir Juli lalu, saya punya kesempatan menjejakkan kaki di
Sulawesi Selatan (Sulsel). Ini bukan kesempatan pertama kali berada di provinsi
di ujung selatan Pulau Sulawesi karena saya pernah ikut orangtua bertugas di
ibukota provinsi, Makassar atau dulu dikenal dengan nama kota Ujung Pandang. Tapi
apalah arti ingatan masa kecil?
Kesempatan lain hanya untuk transit di bandara internasional
Sultan Hasanuddin juga untuk kemudian lanjut ke kota lain. Nah, sekitar jam
8.25 wita pada 24 Juli 2012 lalu, saya bersama pesawat dari Jakarta mendarat di
bandara internasional yang terlihat lebih efisien dalam hal penataan ketimbang bandara
Soekarno-Hatta ini.
Dari bandara internasional yang berada di kabupaten Maros
ini saya bersama rekan-rekan menaiki kendaraan roda empat menuju Kabupaten
Enrekang. Jarak tempuh dari bandara-kota Enrekang, ibukota kabupaten, sekitar
230 kilometer atau 5 jam perjalanan.
Sulawesi Selatan di peta memang berbentuk seperti jantung,
dan Kabupaten Enrekang (Enrekang) berada di jantung jazirah dan merupakan pintu
masuk ke Kabupaten Tana Toraja. Dalam arti, jika Anda ingin menuju daerah
wisata Tana Toraja maka Anda harus melewati dulu Enrekang.
Ketika saya mendapat penugasan ke kabupaten Enrekang juga
seperti “wish come true” karena sebelumnya saya menulis artikel dengan bahan
wawancara dan bahan-bahan tertulis tentang Kabupaten Enrekang ini, saya sebagai
si pencinta kopi langsung jatuh cinta dengan wilayah penghasil kopi arabika
ini. Melihat foto-foto daerah melalui berselancar di Internet juga membuat saya
membatin semoga bisa kesana. (baca:
Pemerintah Kabupaten Enrekang - Potensi Daerah Seharum Kopi Arabika)
Menyusuri jalan darat menuju Enrekang ternyata berbeda
dengan kota di Jawa, karena sepanjang jalan menyaksikan pantai/laut dan sawah
yang menunjukkan kontur topografi wilayah tersebut relatif datar. Adapun kabupaten
yang kami harus lewati antara lain berturut-turut Maros, Pangkep (Pangkajene dan
Kepulauan), Barru, Parepare, Pinrang dan
Enrekang.
Tiba di Enrekang, saya malah teringat dengan kampung ayah
saya di Tapanuli Selatan yang kaya perbukitan dan masyarakatnya mayoritas
mengandalkan hidup dari pertanian. Enrekang berasal dari bahasa Bugis yang
berarti daerah pegunungan, memang hampir
85 persen dari luas wilayah dikelilingi oleh gunung dan bukit yang membentang
di kabupaten seluas 1.786,01 kilometer persegi.
Topografi terdiri dari pegunungan, perbukitan, diikuti
lembah dan sungai dengan ketinggian antara 47-3.293 meter di atas permukaan
laut, tanpa wilayah pantai, justru membuat saya menikmati keindahan alam yang
mayoritas hijau. Selama di sana menjadi kesempatan saya menggunakan Canon G-12
milik pribadi mengasah minat fotografiku.
Wisata andalan di kabupaten yang juga dikenal dengan sebutan
Massenrempulu (artinya: daerah pinggiran gunung atau menyusur gunung) adalah
menikmati pemandangan Buntu Kabobong di
lereng gunung Bambapuang, berupa lereng gunung berada di sisi kanan jalan poros
Tana Toraja dan disebut juga Gunung Nona karena menyerupai kelamin wanita
*silahkan interpretasi sendiri dari gambar yang foto yang sempat dibuat saat saya berdiri dengan Buntu Kabobong dari kejauhan*
Adapula pemandian alam air terjun Lewaja, atau situs kuburan
batu Tontonan yang berada pada tebing gunung batu.
Sayang, selama di sana saya tidak sempat menyesap Kopi Arabica typica asal Enrekang yang
terkenal. Tapi jangan lupa mencicip dangke, makanan khas terbuat dari susu sapi
atau susu kerbau sehingga citarasa seperti keju. Bisa menjadi olahan seperti
tahu dan kini Pemkab mengembangkan kripik dangke yang rasanya manis gurih.
Selain itu liputan selama masa puasa Ramadan membuat suasana
di wilayah yang mayoritas beragama Islam ini tidak maksimal. Misalkan aktivitas yang bergeser ke lebih sore, atau saat mengunjungi instansi seperti UPTD Balai Pengembangan Teknologi Tekstil, sentra penggilingan kopi dan Kebun Raya Enrekang ternyata sudah tutup karena jam kerja pegawai negeri sipil hanya sampai jam 14.00 wita selama bulan suci Ramadan.