Sunday, December 04, 2005

Perenungan

Pernah mendengar kalimat kurang lebih seperti ini, “Yang terbaik menurut kita, belum tentu yang terbaik menurut Tuhan” ?

Saya termasuk yang pernah. Dan, sejujurnya, sampai saat ini masih susah untuk menerimanya. Walaupun dalam pengalaman hidup (ku) sepertinya memang mengabsolutkan pernyataan tersebut.

Merasa bahwa Dia “bercanda” dengan kehidupanku. Dan itu sering. Sepertinya apa yang kumau, tidak diridhoi. Langkah-langkah yang kurasa telah kupikirkan matang, ternyata tidak tuntas. Lebih sering gagal tidak sesuai kemauan.

Seperti hal terakhir ini. Temanku mengatakan saya kurang meng-Amini.
Ah, temanku itu memang sering menggunakan kalimat tersirat.

Apa salahnya kalau saya keukeuh? Memang saya suka ngotot. Kalau ingin sesuatu, dikejar! Tidak peduli saran dan pendapat orang bahwa tidak cocok, saya tetap konstan dengan ide, “Gua mau! Gua kudu dapat!” Bahkan meski logika pernah mengirimkan pikiran bahwa ‘itu tidak pantas’.

“Saya mau yang itu!”
Seperti anak kecil ingin pedang-pedangan yang ada di rak teratas toko mainan. Meski penjaga toko mengatakan mainan itu tidak pantas untuk anak manis seperti saya. Meski menurut Mama boneka beruang lebih menarik. Meski terlarang tapi saya akan panjat. Ada kepuasan tersendiri jika mendapat apa keinginan kita. Bukan begitu teman?

Temanku berkata kurang meng-Amini dalam arti aku tidak bersyukur dengan yang ada. Yang sudah ada, masih kurang. Kalau ada kesulitan, aku segera marah. Ohh, …apakah itu berarti aku kurang menerima?

Temanku berkata, Tuhan baik kepadaku. Berarti Ia bukan yang terbaik buatku. Berarti Ia tidak ingin aku terluka karena dia memang hadir hanya untuk menyakitiku.

Saya mulai menangis. Saya bukan anak yang cengeng. Tapi emosional. Kesedihan membuat airmataku mengalir, kematian membuat mataku berkaca-kaca, luapan kemarahan juga membuat bendungan di pelupuk mata jebol. Bila marah, saya lebih baik membalikkan badan dan pergi, ketimbang orang melihat lelehan bening mulai mengalir dari sudut indera penglihatanku ini.

"Saya mau."

"Kenapa?"

"Ya....karena saya suka."

Temanku kembali mengeluarkan sejumlah kata-kata tersirat.

Teman saya mengatakan bahwa diriku harus bisa. Saya berkata, “Ya! Saya mencoba untuk meresapi bahwa yang baik menurut.....”

“Menurut kita, belum tentu yang terbaik menurut Tuhan,” tukas temanku menyambung omonganku. Sambil menatapku tajam. Saya suka jengah dengan tatapannya. Sepertinya ia mampu menelanjangi diriku dengan bola matanya. Memang iya. Itu sebenarnya. Ia mampu menjabarkan keresahan hatiku meski aku susah menguraikannya karena benteng ego menahanku untuk mengakui. Tapi saya seperti addict untuk curhat dengannya.

“Sebelum torehan perasaan terlalu dalam, sebelum melangkah terlalu jauh, sebelum bibit disemai, lebih baik kita hentikan. Rela. Ini pembelajaran dalam hidup. “

Lintasan obrolan itu sudah terjadi dua minggu lalu. Dan, hari ini otak saya penuh dengan lintasan kata-kata yang terlontar saat itu. Berupaya mengingat dan mencerna kembali.

Bendungan ini kembali jebol. Lelehan bening mulai mengalir dari sudut mata. Segera saya beranjak mengambil sejadah, mukena dan berwudhu. Ah....ketika saya gundah, saya teringat denganNYA.

I have learnt my lesson well
But my soul still dwelling in nowhere
Don’t look back and never regret
There will be the day
Someday....

No comments: