Sabtu ini (22/10/2011), saya mau hunting Jakarta menggunakan bis. Sejak pindah ke apartemen di wilayah Jakarta Pusat, praktis saya mengalami kondisi berbeda dari sebelumnya yang hanya jalan kaki kantor-kos sekitar 15 menit.
Ketika aku ceritakan rencana ini kepada Ak, dia berkomentar, “Hah? Ga salah denger?”.
Alasanku kan aku baru pindah. Selama ini mengandalkan taksi. Atau mobil dan seorang supir siap mengantarkan. Alasanku selain mencoba tahu rute sekitar tempat tinggal, misalnya mikrolet, poin perhentian dan terminal setempat.
”Lagian kan dulu jadi anak sekolahan biasa gitu. Liputan (sebagai wartawan-Eno) ngebis juga,” kilahku.
Sebagai catatan, saya tidak bisa membawa kendaraan bermotor, baik motor atau mobil. Hanya bisa mengayuh sepeda tapi tidak punya keberanian untuk mencoba gowes di ibukota.
Kaus hitam, jeans kelam, ransel besar, dan sepatu kets menjadi padanan siap menjadi busana wisata transportasi massal Jakarta.
Jam 10.30 wib saya mampir di Apotik-Optik Melawai Salemba, tebus resep sakit maag sekaligus mencari kacamata baru. Selesai urusan disana, naik mikrolet M01 jurusan Senen-Kampung Melayu, berkilah turun di Gramedia Matraman. Akhirnya hanya mampir makan siang dan melirik stan sebuah merek komputer yang ada disana.
Pulang pun memilih mikrolet jurusan menuju Senen. Dalam hati yang semula mau membatalkan niat, akhirnya berpikir karena hari cerah tidak ada salahnya untuk lanjut naik mikrolet ini hingga ke terminal Senen.
Di terminal saya menyusuri lorong pasar berisi penjual buku-buku dan majalah bekas, lanjut lihat bis AC, ”Nah! Ada bis ACjurusan Senen ke Ciputat via Blok M.”
Selama di bis, banyaknya tukang jualan sih saya pahami. Bis ngetem lama saya maklumi: tidak ada urusan buru-buru. Tapi ini yang saya benci, ketika bis AC keluar dari mulut terminal dan baru beberapa meter, di depan pintu kolam renang naiklah 3 pria muda. Tidak nyanyi, tidak baca puisi, hanya berpidato. Tapi dengar koar-koar tiga pria yang kuperkirakan berusia 20-tahunan itu menyebalkan atau mengancam.
”Hidup di Jakarta susah..... bla..bla.. (lha, jadi kuli pasar, tukang batu, atau pindah aja ke kota lain menjadi ......) “ ,.....”Daripada kami menodong bla...bla...bla.. (naj*s masuk neraka aja kalian sekalian)... dst ..dsb..” dan mulai minta duit satu persatu kepada penumpang. Saya hanya menyorongkan telapak tangan seraya berkata maaf (tidak memberi) sambil menatap mata pria tersebut. Laki-laki itu pun berlalu.
”Hidup di Jakarta susah..... bla..bla.. (lha, jadi kuli pasar, tukang batu, atau pindah aja ke kota lain menjadi ......) “ ,.....”Daripada kami menodong bla...bla...bla.. (naj*s masuk neraka aja kalian sekalian)... dst ..dsb..” dan mulai minta duit satu persatu kepada penumpang. Saya hanya menyorongkan telapak tangan seraya berkata maaf (tidak memberi) sambil menatap mata pria tersebut. Laki-laki itu pun berlalu.
Dari kaca jendela saya melihat tiga pria itu turun, menghitung recehan yang mereka terima. Saya tidak kasihan, malah membatin semoga orang tak berguna seperti itu jadi korban tabrak lari di malam hari. Kemudian menjadi mayat percobaan bedah anak-anak kedokteran *ada amalnya* Saya sempat berpikir ternyata Jakarta Pusat bukan hanya kawasan cantik Menteng, MH Thamrin, melainkan si kumuh Senen, bioskop tua dengan tayangan film tidak bagus tapi bingung kenapa banyak yang nongkrong disitu, kantung-kantung yang cenderung bagai bronx kota Jakarta.
Sesampai di Blok M saya iseng menyusuri kios buku di bawah Blok M Square. Masih mau lanjut ke PIM? Atau tempat lain? ternyata jam 16.00 wib, Blok M basah diguyur hujan, kaki yang pegal, cape, sampai lupa apa sebenarnya yang mau dicari. Akhirnya saya putuskan balik saja. Jika saya naik taksi, berarti saya masih bisa rileks atau menikmati berenang sore hari di apartemen.
Tapi saya pikir yaudah pilih saja Kopaja 19 yang kalau tidak salah melewati Grand Indonesia (GI). Saya mau ngaso, makan dan lihat-lihat laptop model baru disana. (Biasanya kalau masuk mall ber-AC dengan suasana interior nyaman, pasti penat hilang..terbayang tumbler saya diisi secangkir kopi hangat Starbucks, nge-sushi or what else...dst...dsb).
Saya pilih duduk di pojok kiri pas dekat pintu depan Kopaja. Wanita cantik yang duduk di sebelah saya, turun di Karet. Tiba-tiba seorang pria dari belakang duduk di kursi kosong yang ditinggalkan wanita itu... Plass... Pria tersebut kenapa tidak membawa aura menyenangkan, ya?!. Kemudian naik dua atau tiga pengamen cilik yang seolah menambah penuh bis.
Tahu-tahu kejadian aneh terjadi.. seorang pemuda yang duduknya di seberang kanan saya, mau turun. Gubrak.. pria itu terjatuh terjengkang di dalam bis. Pria yang duduk di samping saya berteriak kaget, dan seorang pria (X) yang sejajar seberangan tempat duduk saya seolah membantu. Tapi tunggu, mengapa saya melihat X menunduk dan tangannya menarik ujung bawah celana si pria muda itu?
Saat pria itu jatuh kaget, si X seolah membantu membangunkan pria dengan tangannya memegang bagian sekitar pantat si pria muda?
Aih saya mulai tidak enak… Saya dekapkan ransel. Mata mulai awas. Tapi rasanya tempat pemberhentian kok tidak nyaman? Sahid (eh tidak ada halte lagi?), di Indocement/Landmark naik tiga wanita muda berpenampilan manis pakai rok (jauh dari penampilan backpacker gaya saya) (eh kok bis ini cepat berlalu?), pria itu bangkit dan mempersilahkan salah satu perempuan duduk di samping saya. Dua teman wanitanya duduk di kursi sejajar kanan.
(* cerita yg saya tambahkan di dalam kurung, karena saya baru menyadari kondisi pendukung itu terasa aneh, ketika menulis blog ini.. saya jadi curiga apa supir bis sudah bekerjasama?)
Stasiun Dukuh Atas yang biasanya orang banyak turun, ternyata berbeda kondisi di Sabtu sore, tapi rasanya sekitar wilayah itu seorang pria mau turun dari bis. Jletak.. kacamata dilemparkan X/seseorang dari arah belakang. (btw, X pindah ke satu baris belakang), si pria jatuh. Lagi-lagi ujung celana bagian bawah ditarik, lalu X membantu bangkit.
Hah?! Ini sudah pasti komplotan pencopet! Wanita di sebelah saya mencium gelagat tidak menyenangkan. Saya juga memastikan diri turun saat itu juga! Gedung UOB atau batas awal Thamrin atau biasa disebut halte Tosari atau apapun halte harus menjadi perhentian saya. Ternyata (kebetulan) seorang pria dari samping supir turun, saya menyusul, dan wanita sebelah saya ikut bangkit sembari mengisyaratkan teman-temannya untuk turun.
Saya mendekap erat ransel saya dan memperhatikan bagian kaki saya. Ransel pada posisi dada menutup pandangan mata kita ke lantai bawah, tapi dengan melihat modus operandinya, kita harus perhatikan tempat kita melangkah karena bisa-bisa bandit mengeluarkan jurus lempar barang, tarik ujung celana dsb seperti sebelumnya.
Saya turun dari pintu depan dan bergegas menjauh. Saya perhatikan pengamen cilik ikut turun dari pintu belakang bis, tapi saya tidak peduli ketika tiga wanita itu ’menginterogasi’ pengamen cilik. Tidak ingin mendengarkan ceritanya. Saya menatap kopaja, baru nyadar, wauw mengapa di bagian belakang bis rasanya penuh orang berdiri? Padahal saya yang duduk di bagian depan merasa bis itu masih meluangkan banyak tempat untuk orang lain duduk.
Ketika Kopaja Setan itu berlalu, saya menjauh dan jalan pelan-pelan seolah mau masuk ke Jalan Baturaja, dan setelah lewat beberapa menit bis sudah tak terlihat, saya baru berani berjalan kaki menuju Grand Indonesia (GI). Menyusuri jalur yang ada 7-Eleven, menyeberang ke gedung BCA, dan menyusur jalan setapak yang maha lega. Saya shock.. saya seperti keluar dari kotak sempit penantian nasib.
Saya segera mengabarkan kepada Ak, teman yang amazing dengan rencana hunting Jakarta saya, tentang kejadian yang membuat shock tadi. Ak bakal menjemput saya dan makan malam dulu di GI.
Saya juga segera kirim blackberry messenger ke teman saya Ajeng menceritakan hal ini.
Menyusuri jalan setapak yang lega, beraspal mulus, saya jadi teringat kenyamanan jalan kaki negeri Singapura atau Kuala Lumpur Malaysia . Mobil-mobil bagus bersliweran membuat saya membatin, “Pantas saja orang Jakarta berusaha membeli kendaraan bermotor. Karena kendaraan umum tidak menjamin kenyamanan dan keamanan penumpang.”
Dalam hati saya berencana menuju East Mall, areal GI favorit saya, dan membayangkan segera ke toilet umum untuk mencuci muka yang rasanya sudah lengket ini.
Dan ketika sampai di lobby utama East Mall, mata saya nanar : tiga mobil sedan sport terparkir di lobby. Porsche Carrera, Maserati dan satu lagi model sport yang tidak saya kenali (belakangan saya ketahui Mercedes Benz) karena tertutup dua mobil lainnya.
Asli saya mau mengeluarkan air mata. Jlebbb.. pengalaman saya barusan menaiki transportasi massal rasanya njomplang dan perih ketika memandang tiga mobil jenis Rp 6 miliar keatas terparkir manis di lobby mal kelas atas itu.
Tiga mobil itu menantang gagah bagi mata memandang, menyimbolkan keberhasilan individu membeli kemewahan transportasi Jakarta , berbanding terbalik dengan kami yang bekerja siang malam demi moda angkutan umum recehan yang tidak nyaman dan tidak aman!