Sunday, October 23, 2011

Susahnya Nge-bis Nyaman di Jakarta-2

Sabtu ini (22/10/2011), saya mau hunting Jakarta menggunakan bis. Sejak pindah ke apartemen di wilayah Jakarta Pusat, praktis saya mengalami kondisi berbeda dari sebelumnya yang hanya jalan kaki kantor-kos sekitar 15 menit.

Ketika aku ceritakan rencana ini kepada Ak, dia berkomentar, “Hah? Ga salah denger?”.

Alasanku kan aku baru pindah. Selama ini mengandalkan taksi. Atau mobil dan seorang supir siap mengantarkan. Alasanku selain mencoba tahu rute sekitar tempat tinggal, misalnya mikrolet, poin perhentian dan terminal setempat.

”Lagian kan dulu jadi anak sekolahan biasa gitu. Liputan (sebagai wartawan-Eno)  ngebis juga,” kilahku.


Sebagai catatan, saya tidak bisa membawa kendaraan bermotor, baik motor atau mobil. Hanya bisa mengayuh sepeda tapi tidak punya keberanian untuk mencoba gowes di ibukota. 

Kaus hitam, jeans kelam, ransel besar, dan sepatu kets menjadi padanan siap menjadi busana wisata transportasi massal Jakarta.

Jam 10.30 wib saya mampir di Apotik-Optik Melawai Salemba, tebus resep sakit maag sekaligus mencari kacamata baru. Selesai urusan disana, naik mikrolet M01 jurusan Senen-Kampung Melayu, berkilah turun di Gramedia Matraman. Akhirnya hanya mampir makan siang dan melirik stan sebuah merek komputer yang ada disana.

Pulang pun memilih mikrolet jurusan menuju Senen. Dalam hati yang semula mau membatalkan niat, akhirnya berpikir karena hari cerah tidak ada salahnya untuk lanjut naik mikrolet ini hingga ke terminal Senen.

Di terminal saya menyusuri lorong pasar berisi penjual buku-buku dan majalah bekas, lanjut lihat bis AC, ”Nah! Ada bis ACjurusan Senen ke Ciputat via Blok M.”

Selama di bis, banyaknya tukang jualan sih saya pahami. Bis ngetem lama saya maklumi: tidak ada urusan buru-buru. Tapi ini yang saya benci, ketika bis AC keluar dari mulut terminal dan baru beberapa meter, di depan pintu kolam renang naiklah 3 pria muda. Tidak nyanyi, tidak baca puisi, hanya berpidato. Tapi dengar koar-koar tiga pria yang kuperkirakan berusia 20-tahunan itu menyebalkan atau mengancam.

”Hidup di Jakarta susah..... bla..bla.. (lha, jadi kuli pasar, tukang batu, atau pindah aja ke kota lain menjadi ......) “ ,.....”Daripada kami menodong bla...bla...bla.. (naj*s masuk neraka aja kalian sekalian)... dst ..dsb..” dan mulai minta duit satu persatu kepada penumpang. Saya hanya menyorongkan telapak tangan seraya berkata maaf (tidak memberi) sambil menatap mata pria tersebut. Laki-laki itu pun berlalu.

Dari kaca jendela saya melihat tiga pria itu turun, menghitung recehan yang mereka terima. Saya tidak kasihan, malah membatin semoga orang tak berguna seperti itu jadi korban tabrak lari di malam hari. Kemudian menjadi mayat percobaan bedah anak-anak kedokteran *ada amalnya* Saya sempat berpikir ternyata Jakarta Pusat bukan hanya kawasan cantik Menteng, MH Thamrin, melainkan si kumuh Senen, bioskop tua dengan tayangan film tidak bagus tapi bingung kenapa banyak yang nongkrong disitu, kantung-kantung yang cenderung bagai bronx kota Jakarta.

Sesampai di Blok M saya iseng menyusuri kios buku di bawah Blok M Square. Masih mau lanjut ke PIM? Atau tempat lain? ternyata jam 16.00 wib, Blok M basah diguyur hujan, kaki yang pegal, cape, sampai lupa apa sebenarnya yang mau dicari. Akhirnya saya putuskan balik saja. Jika saya naik taksi, berarti saya masih bisa rileks atau menikmati berenang sore hari di apartemen.

Tapi saya pikir yaudah pilih saja Kopaja 19 yang kalau tidak salah melewati Grand Indonesia (GI). Saya mau ngaso, makan dan lihat-lihat laptop model baru disana. (Biasanya kalau masuk mall ber-AC dengan suasana interior nyaman, pasti penat hilang..terbayang tumbler saya diisi secangkir kopi hangat Starbucks, nge-sushi or what else...dst...dsb).

Saya pilih duduk di pojok kiri pas dekat pintu depan Kopaja. Wanita cantik yang duduk di sebelah saya, turun di Karet. Tiba-tiba seorang pria dari belakang duduk di kursi kosong yang ditinggalkan wanita itu... Plass... Pria tersebut kenapa tidak membawa aura menyenangkan, ya?!. Kemudian naik dua atau tiga pengamen cilik yang seolah menambah penuh bis.

Tahu-tahu kejadian aneh terjadi.. seorang pemuda yang duduknya di seberang kanan saya, mau turun. Gubrak.. pria itu terjatuh terjengkang di dalam bis. Pria yang duduk di samping saya berteriak kaget, dan seorang pria (X) yang sejajar seberangan tempat duduk saya seolah membantu. Tapi tunggu, mengapa saya melihat X menunduk dan tangannya menarik ujung bawah celana si pria muda itu?

Saat pria itu jatuh kaget, si X seolah membantu membangunkan pria dengan tangannya memegang bagian sekitar pantat si pria muda?

Aih saya mulai tidak enak… Saya dekapkan ransel. Mata mulai awas. Tapi rasanya tempat pemberhentian kok tidak nyaman? Sahid (eh tidak ada halte lagi?), di Indocement/Landmark naik tiga wanita muda berpenampilan manis pakai rok (jauh dari penampilan backpacker gaya saya) (eh kok bis ini cepat berlalu?), pria itu bangkit dan mempersilahkan salah satu perempuan duduk di samping saya. Dua teman wanitanya duduk di kursi sejajar kanan.

(* cerita yg saya tambahkan di dalam kurung, karena saya baru menyadari kondisi pendukung itu terasa aneh, ketika menulis blog ini.. saya jadi curiga apa supir bis sudah bekerjasama?)

Stasiun Dukuh Atas yang biasanya orang banyak turun, ternyata berbeda kondisi di Sabtu sore, tapi rasanya sekitar wilayah itu seorang pria mau turun dari bis. Jletak.. kacamata dilemparkan X/seseorang dari arah belakang. (btw, X pindah ke satu baris belakang), si pria jatuh. Lagi-lagi ujung celana bagian bawah ditarik, lalu X membantu bangkit.

Hah?! Ini sudah pasti komplotan pencopet! Wanita di sebelah saya mencium gelagat tidak menyenangkan. Saya juga memastikan diri turun saat itu juga! Gedung UOB atau batas awal Thamrin atau biasa disebut halte Tosari atau apapun halte harus menjadi perhentian saya. Ternyata (kebetulan) seorang pria dari samping supir turun, saya menyusul, dan wanita sebelah saya ikut bangkit sembari mengisyaratkan teman-temannya untuk turun.

Saya mendekap erat ransel saya dan memperhatikan bagian kaki saya. Ransel pada posisi dada menutup pandangan mata kita ke lantai bawah, tapi dengan melihat modus operandinya, kita harus perhatikan tempat kita melangkah karena bisa-bisa bandit mengeluarkan jurus lempar barang, tarik ujung celana dsb seperti sebelumnya.

Saya turun dari pintu depan dan bergegas menjauh. Saya perhatikan pengamen cilik ikut turun dari pintu belakang bis, tapi saya tidak peduli ketika tiga wanita itu ’menginterogasi’ pengamen cilik. Tidak ingin mendengarkan ceritanya. Saya menatap kopaja, baru nyadar, wauw mengapa di bagian belakang bis rasanya penuh orang berdiri? Padahal saya yang duduk di bagian depan merasa bis itu masih meluangkan banyak tempat untuk orang lain duduk.

Ketika Kopaja Setan itu berlalu, saya menjauh dan jalan pelan-pelan seolah mau masuk ke Jalan Baturaja, dan setelah lewat beberapa menit bis sudah tak terlihat, saya baru berani berjalan kaki menuju Grand Indonesia (GI). Menyusuri jalur yang ada 7-Eleven, menyeberang ke gedung BCA, dan menyusur jalan setapak yang maha lega. Saya shock.. saya seperti keluar dari kotak sempit penantian nasib.

Saya segera mengabarkan kepada Ak, teman yang amazing dengan rencana hunting Jakarta saya, tentang kejadian yang membuat shock tadi. Ak bakal menjemput saya dan makan malam dulu di GI.

Saya juga segera kirim blackberry messenger ke teman saya Ajeng menceritakan hal ini.

Menyusuri jalan setapak yang lega, beraspal mulus, saya jadi teringat kenyamanan jalan kaki negeri Singapura atau Kuala Lumpur Malaysia. Mobil-mobil bagus bersliweran membuat saya membatin, “Pantas saja orang Jakarta berusaha membeli kendaraan bermotor. Karena kendaraan umum tidak menjamin kenyamanan dan keamanan penumpang.”

Dalam hati saya berencana menuju East Mall, areal GI favorit saya, dan membayangkan segera ke toilet umum untuk mencuci muka yang rasanya sudah lengket ini.

Dan ketika sampai di lobby utama East Mall, mata saya nanar : tiga mobil sedan sport terparkir di lobby. Porsche Carrera, Maserati dan satu lagi model sport yang tidak saya kenali (belakangan saya ketahui Mercedes Benz) karena tertutup dua mobil lainnya. 

Asli saya mau mengeluarkan air mata. Jlebbb.. pengalaman saya barusan menaiki transportasi massal rasanya njomplang dan perih ketika memandang tiga mobil jenis Rp 6 miliar keatas terparkir manis di lobby mal kelas atas itu.

Tiga mobil itu menantang gagah bagi mata memandang, menyimbolkan keberhasilan individu membeli kemewahan transportasi Jakarta, berbanding terbalik dengan kami yang bekerja siang malam demi moda angkutan umum recehan yang tidak nyaman dan tidak aman!



Susahnya Nge-bis Nyaman di Jakarta-1

Stresnya Jalanan

Sejak tiga minggu lalu saya tidak ngekos di dekat kantor. Efeknya tentu saja perjalanan kantor-tempat tinggal yang baru memakan waktu lama.

Saya masih jetlag alias kesiangan melulu …. Dan praktis solusi mengatasi keterlambatan beraktivitas dilakukan dengan memilih naik taksi.. Oh no! berat di-ongkos !! *seka keringat*

Saya mencoba melakukan pengenalan lingkungan secara perlahan. Dari mulai rute dekat naik ojek dan bajaj. Lalu Jumat  ini (30/9/2011) saya melakukan persiapan lebih matang. Bangun jam 6 kurang (setelah berkali-kali alarm berbunyi, saya matikan, dan menambah jam tidur).

Saya mulai berangkat dari tempat tinggal jam 8.10 WIB. Naik bajaj menuju Terminal Senen lebih dulu. Lalu pilih rute bis AC Bianglala dan tiba di kantor pada jam absensi 9.29 WIB.

Dan dari kesimpulan perjalanan perdana, saya menjadi sadar mengapa orang Jakarta gampang stres, meledak dan emosian.

Melihat terminal yang kumuh, macet, dan ngetem yang lama, dan di akhir perjalanan saat saya turun di dekat kantor, kondektur berkata : "Kaki kiri dulu sayang...."

Ugh…rasanya ingin memaki : Sompret lu ! tapi yah saya tahan diri karena masih setiap hari membutuhkan bis dan bertemu dengan orang-orang sama. Biarkan kalimat itu bagai angin lalu, daripada membuat emosi diri di pagi hari. 

Wednesday, October 19, 2011

Belajar dari Cara Menkes Memberi Pidato Sambutan yang Menarik

Selasa 18 Oktober 2011 saya datang ke sebuah acara yang berlangsung di kawasan Thamrin Jakarta Pusat. Acara tersebut diselenggarakan oleh sebuah optik  terkemuka di Indonesia dan saya tentu hadir dalam kapasitas sebagai penulis iklan (copywriter). Optik tersebut mengadakan kontrak kerjasama pembuatan advertorial.

Acara berupa donasi kacamata bagi 1000 anak-anak ini dalam undangan ditulis berlangsung dari jam 09.30 pagi, namun ternyata hingga hampir jam 11.00 wib acara belum mulai. Semua sudah gelisah. Tamu-tamu cilik alias murid-murid sudah tampak suntuk dan adapula yang sempat menangis resah sehingga ditenangkan oleh guru. Rombongan anak Sekolah Dasar yang berasal dari Jakarta Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Pusat itu padahal sudah datang dari jam 8.00 wib.

Ngaret terjadi karena menunggu tamu kehormatan yang terdiri dari Menteri Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH dan istri Gubernur DKI Jakarta, Tatiek Fauzi Bowo yang juga menjabat sebagai Kepala Penggerak PKK Provinsi DKI Jakarta, belum juga datang.

Anak-anak media pun mulai bosan. Kami bahkan melemparkan joke mungkin ibu-ibu itu masih sibuk mensasak rambut. Dan ketika rombongan datang tepat jam 11.00 wib, otomatis mata saya mengarah pada kepala. ”Hey.. kedua ibu ini tidak mengenakan sasak atau sanggul tinggi,” batinku.

Kedua ibu berambut pendek. ”Ohhh bukan sasakan dong yaa....”.

Setelah pidato pembukaan dari Lions Club, Menkes Endang Rahayu maju ke podium untuk memberikan kata sambutan. Saya belum pernah meliput acara dengan Menkes ini sebagai pemberi pidato sambutan. Saat melihat parasnya saat maju ke podium, saya membayangkan seorang yang tegas, dan gaya tenang memberikan salam pembuka dan sebagainya hingga Menkes berkata, ”Adik-adik kok wajahnya lesu. Sudah datang jam berapa kesini?”

Anak-anak itu secara polos menjawab nyaring datang pada jam 8.00 wib. Ibu berkacamata itu tersenyum tipis dan berkata, “Maaf tadi saya harus ke Jakarta Timur dulu untuk meresmikan imunisasi campak dan polio. Kalau kacamata ini untuk anak Sekolah Dasar (...dia ingat garis besar Donasi ditujukan bagi anak SD....). Adik-adik sudah dapat imunisasi? Lupa ya karena masih kecil. Bedanya imunisasi ini untuk anak balita. Di rumah coba tanyakan apa adik kecilnya sudah dapat imunisasi itu bedanya kalau campak berbentuk suntikan, sedangkan polio dalam bentuk tetes yang manis rasanya,” suaranya tenang menjelaskan.

Saya pribadi pun menjadi duduk manis menyimak. Sebagai audiens saya tertarik dengan caranya minta maaf atas keterlambatannya dan masuk ke bahasan lain yang membuat kita mulai lupa ‘kesalahan terlambat’ dan menggiringnya ke topik lain yang informatif.

Menkes lalu menyinggung slide presentasi yang ditampilkan sebelumnya, dan menyebutkan kalau gambaran khas tentang anak-anak adalah senyumnya. Kemudian Menkes mengajak anak-anak tersenyum bahkan tertawa memamerkan gigi. ”Tidak ompong ternyata,” kurang lebih dia berkata demikian. Anak-anak ketawa. Apa ini maksudnya menyindir sekedar cari lelucon? Ternyata ibu itu menjelaskan anak berusia kelas 1-2 SD khas dengan 2 gigi besar di depan atau gigi kelinci, sedangkan yang tertawa di hadapannya punya tampilan gigi rapi sehingga dia memperkirakan kelas 4 s/d 6 yang kemudian diamini pihak Optik kalau anak-anak yang hadir duduk di kelas 3, 4, dan 5.

*she got the clue: blend her medicine background into information to the public.

Saya kembali terpesona…. Wanita itu memasukkan informasi yang membuat kita manggut-manggut dan membatin, “panteslah dia mengerti..wong dia dokter,” … intonasi suaranya tegas sekaligus tenang. Dengan artikulasi yang jelas.

Menkes secara akrab menasehati murid sekolah dasar itu resep mata sehat, yaitu agar tidak membaca buku di dalam kondisi pencahayaan ruangan yang kurang.

Ia melanjutkan himbauan kepada guru atau kepala sekolah yang mendampingi murid-murid agar memperhatikan pencahayaan di ruangan dalam kelas. “Jangan memilih cat tembok berwarna gelap, lebih baik warna terang. Hal lain yang bisa diupayakan pencahayaan langsung matahari dan atap tinggi,” katanya.

Endang pun menyisipkan kinerja kementerian dengan mengatakan tahun depan akan memasukkan  penyakit gigi dan mata sebagai salah satu yang dicegah dalam program kampanye promotif dan preventif penyakit tidak menular.
Saya merasa selama berpuluh kali meliput, baru kali menemukan gaya pidato menteri yang rileks, tidak perlu text-minded,  tidak harus angka-angka kinerja perusahaan (kementerian/departemen), dan gaya yang tenang.

Saya membagi pengalaman ini murni karena (merasa) gaya pidatonya bisa menjadi masukan ketika kita menjadi pembicara di depan audiens. Berikut tips yang coba kurangkum:
- Sebagai perempuan tidak perlu bergaya orator berapi-api (karena kodrat perempuan suaranya juga tidak mungkin bariton tinggi menggelegak),
- masukkan humor atau informasi ringan yang mengena,
- sikap diri yang tenang,
- tahu audiens-nya siapa... terlihat Ibu Menteri ini lebih memusatkan pidato kepada audiens cilik yang berada di samping kanan saat ia berdiri di podium. Endang Rahayu menyampaikan informasi yang menarik perhatian anak-anak (baca: audiens-nya) bak guru TK mendongengkan cerita khayal yang bukan pengantar tidur, justru membuat anak menyimak apa akhir dari cerita,
- Dia juga berhasil ‘menyihir’ rekan-rekan lain dari bangku media dan penyelenggara acara. Ingat: fokus pada salah satu sayap peserta tapi sebagai pemberi pidato dia juga sesekali melakukan sapuan mata ke seluruh audiens yang hadir di dalam ruangan.  



(Gambar dikutip dari: SINDO) 

Thursday, October 13, 2011

Perubahan (Oktober 2011)

Blog saya tampilannya beda sejak Rabu lalu (12 Oktober 2011). Sebenarnya karena ‘kecelakaan’, karena Eno yang agak-agak gaptek ini dengan berani-beraninya mengklik suatu pilihan yang kalau diterjemahkan kurang lebih berarti “desain baru”.

Klik.

Abrakadabra…..! Tampilan pun baru. Ciamik! Tapi kaget karena ada format berubah, berantakan, saling menimpa, dan akhirnya saya menghilangkan kolom Jejak Pesan yang difasilitasi oleh oggix.com, semata karena saya bingung mengubah format html.

Saya mengucapkan maaf sebesar-besarnya kepada rekan-rekan yang pernah mengisi di Jejak Pesan…. L … Namun sekiranya blog ini tetap menarik dikunjungi dan dibaca oleh teman-teman pengunjung.


Hidup Memang Dinamis

Tapi hidup memang dinamis, seperti halnya saya juga menikmati perubahan perwajahan blog pribadiku per Oktober 2011.

Blog aura-azzura ini ibarat taman hatiku. Aku tanami cerita, kusiram dengan berbagai kisah (meski tidak setiap hari diperbaharui), dan kesibukan seringkali membuatku tidak mengasuh taman dan dia pun terbengkalai.

Azzura berarti warna biru dalam bahasa Italia, dan kukembalikan blog ke nuansa biru. Sedangkan Aura dalam pengertian bebas sebagai cerminan dari sifat sejati kita setiap saat.

Biru bisa bahagia, bisa pula berarti sedih. Saya membuka blog ini dengan puitis mewakili perasaan diri yang jatuh cinta, patah, jatuh, cinta, cinta, patah…cinta.. dst.. Maka tidak heran di awal-awal blog penuh dengan puisi.

Namun sepertinya kemampuan menggores puisi ini semakin tumpul, terbukti kalau puisi (tags: coretan sastra) semakin berkurang hadir. Hanya saja, saya tetap yakin bahwa kemampuan menulis puisi bisa hadir berkat tekun dilatih…. Cuma keinginan atau diri ini sedang berubah dan meminati hal lain. Konsentrasi ke hal yang satu dan dengan berat memang terpaksa membuat saya melupakan sejenak fokus untuk menjadi peramu puisi.

Saya menikmati dinamisnya hidup saya. Menjalani hidup harus punya tujuan yang ingin dicapai. Seperti mengutip pesan seorang dosen Manajemen Strategi, untuk mencapai tujuan kita harus merumuskan dan mengimplementasikan strategi. Dan strategi itu untuk mencapai sebuah tujuan berjangka pendek, menengah dan panjang.

Dan jangan takut untuk berubah demi mencapai tujuan. Dengan catatan semua perubahan itu positif dan menuju diri yang lebih baik. 

Friday, October 07, 2011

Film Horror Indonesia Dibahas di TIME

Awal pekan saya membeli majalah Time edisi 3 Oktober 2011. Terbungkus rapi dalam plastik, dan berita utama mengangkat topik krisis ekonomi Eropa dengan sudut pandang Jerman sebagai negara pengguna mata uang Euro yang kuat.

Hanya saja baru semalam jelang weekend saya akhirnya bisa membuka majalah tersebut. Menelusuri dari awal halaman, mulai dari melintasi iklan Louis Vuitton dengan Sir Sean Connery sebagai model iklannya, lanjut ke iklan penawaran berlangganan majalah selama 1 atau 2 tahun yang berhadiah sebuah tote bag cantik. (Benar. Saya mengaguminya…).

Lalu sebuah artikel menarik di kolom Dunia justru menarik minat saya. Ternyata siswa di Korsel belajar ekstra keras hingga pemerintah turun tangan men-sweeping lokasi-lokasi untuk menemukan anak-anak yang masih belajar diatas jam 10.00 malam.

Hal ini mereka lakukan demi menembus skor nilai tinggi agar diterima masuk perguruan tinggi prestisius seperti Daesung Institute. Akhirnya metode bimbel atau disebut hagwons menjadi pilihan banyak pelajar. Merasa familiar dengan kondisi negeri kita?

Tapi saya kaget ketika terus membaca majalah dan meneruskan ke halaman belakang, saya benar-benar menemukan artikel tentang Indonesia di majalah publikasi khusus untuk kawasan Asia ini.

Halaman Budaya membahas tentang film horror Indonesia yang memasang artis xxx luar negeri sebagai daya tarik. Tujuannya untuk menghindari sensor dari Islam garis keras maupun lembaga sensor resmi.

Selain itu memasang  bintang BF yang memang profesinya ‘begitu’ lebih memudahkan dalam berpromosi. Ketika telanjang menjadi hal dilarang dan bakal kena gunting penyensoran, maka baju ketat dan bikini diperbolehkan asal berada di lokasi sesuai. Maka film-film semacam ini banyak memunculkan adegan berlokasi di klub malam dan kolam renang.

Saya melahap habis artikel sepanjang 2 halaman itu. Sedikit pusing –bukan karena bahasa Inggris ber-TOEFL ngepas- tapi jika diasumsikan dalam emotikon masam, pikiran saya lebih ke arah, “Beginilah Indonesia dalam sudut pandang negeri di luar sana….”.

Kolom kedua dari tulisan memuat pernyataan K.K. Dheeraj, produser film Rintihan Kuntilanak Perawan, membuat saya tersengat… “I’m in Indonesian movies just for business,” he admits. Bla..bla..bla..

Yap. Setiap bentuk bisnis bertujuan mencari laba. Tapi jangan lupa bahwa bisnis adalah amanah. Orientasi keuntungan (profit oriented) harus. Memuaskan konsumen wajib. Tapi juga ada konsekuensi menyodorkan produk berkualitas pada konsumen.

Dari artikel itu pula saya menjadi tahu kalau Vicky Vette sebelumnya berprofesi sebagai akuntan hingga di usia 30-an hijrah dari Norwegia ke AS untuk menjadi bintang film biru. Kini usianya 46 tahun. Artis lain, Tera Patrick, yang ada di film horror Indonesia usianya saat ini 35 tahun. Seandainya saya adalah produser, pasti memiliki posisi tawar kuat karena bernegosiasi dengan ‘barang lawas’ dan sudah melewati masa keemasan dalam profesinya.

Ohya di bagian akhir tulisan Dheeraj malah sesumbar sedang menyiapkan film berikutnya dengan artis yang lebih ‘wah’. Jika Vicky dan Tera masih seukuran melon, maka yang berikutnya adalah labu siam. Fiyuhhh…..

Saya bukan tiba-tiba jadi pemerhati budaya pop. Cuma saya benar-benar gemas. Film memang berfungsi menghibur. Akan tetapi film sebenarnya cerminan masyarakatnya -meskipun saya tidak merasa terwakili dalam pita seluloid itu- namun akhirnya beginilah potret kondisi masyarakat kita di mata luar. Jika yang punya kekuatan ekonomi dalam membuat film tidak mau beranjak dari pakem wanita berbusana seksi, alur cerita tanpa logika, judul bombastis,…. kapan kita menjadi lebih cerdas???? Sigh…